¾ jam di bawah pohon waru
pulanglah aku dari tanah kota
dari tempat jejak sajak dan nafasku
melagukan sedih
di bawah pohon waru
aku hitung daun-daun gugur
yang berlayar di atas muka sungai
sungai menuju jantung lautmu
ada para semut gembira
“paduka, ayo bermain lagi dengan kami!”
aku teringat mengail ikan
lumayan sebagai mata pencaharian
mengikuti arus sungai sampai batas rindu ibu
ibu bukan mimpi celaka bukan dansa
ibu ialah cahaya terang memanggil
hidupku kembali sebelum gelap bertahta
aku duduk di tepi di bawah rimbun waru
hati seakan dilindung teduh pandang indung
ada cengkir busuk di lumpur cubluk
tempat gelepar ikan-ikan kecil
ada batu cadas cemas lumutan
diganggu riak air yang ke hilir
di mana dadamu tabah menerima
setiap arus rindu: air mata turun
“paduka, apa kau mau menyelam di sungai dangkal
atau berenang lagi ke girang?” teriak para semut itu
terus mengayuh perahu daun ke pinggir hilir
akh, aku tak sudi lagi menentang arus waktu
aku menunggu dalam lubuk hingga tua
sungai terus ngalir menuju jantung lautmu
membawa perasaanku; tapi rindu dan tangisan
membuatku ingin berpaling dari nadir air
tak sanggup aku jadi batu di bawah rimbun waru
aku angkat kaki
lalu rebah dekat kandang si jantan
khianati kata-kata sendiri: pulangku ini
sampai tiba ibu dengan wajah kuyu memelukku
“kapan kau datang? ibu lama menanti
popokmu lama tak kau kencingi lagi, anak!”
(indonesia)
7.7.7
aku takut: sungguh aku tidak takut
setiap angin berhembus dari mana pun
bukanlah rasa salah. tapi tangan terasa terikat
aku sempoyongan karena batuk dan sajak
sementara waktu adalah seekor kijang berlari
memburu nyeri ujung kaki langitku
kau memacunya? aku tergadai rasa
segala sesal
aku takut: sungguh aku tidak takut
tetap kucari tubuh purnamu
antara sungai dan hembus angin
antara zaman dan tangan kuasa
perkasa membawa segala maut, nasib tiba
tapi kenapa jejak-jejak sajak
membuatku takut dalam mabuk-mu
dalam hari-harimu
dalam kutuk kiamatmu
aku ingin doa saja hidupku tak busuk
(sementara akan, tahtaku ini)
(indonesia)
aceh, quand le pleuvoir est deja arrete
kau mengasuh laut mengasuh gunung
menjaga anak-anak di barak pengungsi
mengaji perih di bebukitan
menolak sial di akar pohonan
sebab kau lelaki tua dalam si tukang khaba
pergi ke surau tuhan tanpa naga
kau menari
di hamparan kota, menghimpun duka
rumah-rumah dayang
syahbandar dan hulubalang
ngubur sedih di tanah dendam
puing dan hukum memang membayang
di atas kampung tinggal tunggul-tunggul
kau putri kabut
ajari kami
hutan bukan ibu tiri
laut bukan maut bagi ombak lepas
hidup memang akan tuntas seperti pagi
tapi cahaya siap bebas kembali
hujan duka reda. aceh cukup cakap lagi
lalu kau ketuk pintu meminta sorga pasti
(indonesia)
adalah cikal bakal sebuah puisi
dalam angan-angan pulau dan angkasa, dirimu yang jauh
adalah cikal-bakal sebuah puisi yang mengharap kekal. tentang negeri ini
setiap orang mengingatnya sebagai kecemasan:
kegembiraan telah dicuri cakar-cakar asing si burung besi
yang angkuh, yang maha kuasa dalam sistem hidup. nyawa kita
tanpa permisi bertempur dengan malaikat yang siap mencabuti rambut kemiskinan di setiap butir kepala penuh sengsara
aku ingin melintasi lautan luka. tapi mesti bagaimana
sandal dan kakiku yang sering berfilsafat kini kehilangan muslihat
untuk menipu laut jadi jalan bentang penuh dendam: mata kekuasaan
di akherat nanti, kubayangkan adalah sebuah negeri bangsa yang nyeri
kehilangan seribusatu kasih di mana seluruh penghuninya
adalah para gembala yang keras kepala
dibutakan mata para pemimpinnya ingin menyebrang ke sorga
tapi sorga tak berpintu baginya serempak berteriak: kembalikan kami
ke bumi untuk mengambil kitab lupa! ialah kitab puisi yang diukir
para penyair yang menyihir nama-nama jerit sebagai sholatku
dalam keraguanku untuk bisa hidup bertahan, batu-batu masih shahadat
dan kuburan para pahlawan disalami kabut tebal dari negeri sulawesi
tak mungkin aku sumerah menegaskan neraka lebih dekat
di keningku ketimbang harga sorga sebuah bangsa yang terkurung jawa
akan aku lekatkan nirwana sekalipun sebagai mimpi pulau sumatera
sebab diriku adalah kota yang dibangun di atas ketertindasan ibu
dan jikalah ibu merasa tertindas, sungguh ia akan serius meminta
pertolongan allah dan imajiku jadilah sajadah tangga azzahra
memanjang ke langit hakekat
adalah cikal bakal sebuah puisi, juga darahku ini!
(indonesia)
adalah mengenang masa
merindukan sawah dan lautan
adalah mengenang masa bercinta
hijau harap dan riak-riak nasib
seperti nyanyian tak putus-putusnya
abadi angin mengasihi diriku
merindukan sawah dan lautan
adalah mengenang masa kita
mengurai lamunan jadi sajian cimata
(doa) kita:kita pasti ke mana?
(indonesia)
ada sebaris hujan gerimis
malam terasa tiris (tak) kugubris;
sebaris hujan gerimis
penuh angin dan ingin
mungkin ada pula jejak si betina
membuat hidup
jadi penuh rasa harap
benar. aku pulang
membawa nung
anak yang kubuat di ranjang basah
airmata yang mewah
nung adalah boneka luka
dari belahan sejarah ibunda
cinta di malam pertama
adalah sebaris jejak juga
yang kini sajak di jalan-jalan
kebebasan, anak kita
(indonesia)
ada yang menderita bersama langit
ada yang menderita bersama langit. suara-suara
dalam batinku menuju fana. sungai mulai menggeliat
dalam pandangan kabutku menjadi mimpi tentang suatu jalan
ada yang hidup bersama derita. sukmaku dalam suara-suaramu
betapa nikmat derita ketika burung cahaya
hinggap di ubun-ubunku. apakah derita?
derita adalah dua bukit kekasih yang dijaga ratu sunyi
ada yang terus nafas dalam derita
segenap kata meronta mengigau tentang gelap memaksa
nadiku jadi khusuk mengikuti berahimu lembut menyapa
puncak keagungan yang seolah kepuasaan yang angkuh
dalam metamorfosa sebatas awan menjadi isyarah
gelisah berpencar.
e, ratu sunyi
kesendirianmu menjadi angin menangkap pohon hasratku
untuk berbuah, berbenah seperti kemerdekaan bagi sang cucu
yang kelak memetiknya sebagai dosa
ada yang menderita bersama langit
tapi ia tak sesakit rinduku yang tak sampai di purna tubuhmu
derita jadi punggung puan disergap aorta zaman
ada yang terbahak-bahak bersama derita
adalah jantungku yang terus berdetak menerima
seperti hidup memasrahkan deritanya padaku
(indonesia)
afternoon park: partere
sepasang burung murung
bersaksi di bangku panjang menanti hujan:
sebuah kolam tempat kuliah para ikan
penuh hidup riak-riak jenaka
apakah para malaikat cahaya di sini
adalah pegawai bhmn juga, jadi hamba tuan kuasa
yang terbebas dari kutuk kemiskinan angin kota
kenistaan hari depan?
tuan kuasa pemilik segala kebijakan, perjamuan
selalu memimpin sidang dengan penuh dusta
tuan bareti ingin ikut kuliah katanya
apabila cinta tak mengutuknya jadi patung menunggu tuan
sepasang burung murung
meninggalkan jiwa kita yang mendung
terbang ke dahan pohon ki hujan rindang
dan badan kita asyik bergesekkan
(indonesia)
air mata di dalam sunyi
-ka
aku telah kembali: dari musim kabar keriangan di jauh hati cahaya
ke dalam kuasa tangis. aku menjelma butiran air mata
menumpahkan diri di ayat suci dan seni sucimu
aku mengembara sebagai air akan menguap menyalami langit
mengerti hambalan dan kekuasaan milik sang takdir
ketahuilah, hidup manusia bersama kecemasan dan kecemasan itu
adik kandung air mata. adakalanya juga keriangan terindukan
berkelebat seolah memastikan senyummu abadi. benarkah
aku hanya sekedar air mata hanya akan membanjiri gerak-gerik
sendiri? tak layak duri-duri cemas menusuk mimpiku yang cinta
sebab wajah kekasih berkelebat ketika ibu kemanusiaan berkata:
anakku, kamu tidak akan sanggup menggantikan bintang dengan matamu. maka tataplah apa pun sebagaimana ketika kamu di rahimku!
aku adalah butiran air mata
dalam kuasa sunyi yang tak menampakan diri
aku adalah bayang-bayang rasa sedih
(indonesia)
akan kuletakan
-ka
masa lalu adalah matahari yang membenam
berkerudung kata-kata mendung yang hadir
tiap hari di ranah negeri pustaka ini.
maka kita tumbuh bersama huruf-huruf
kutuk suara bapak yang serak
maka aku rindu kalimat cinta yang ditulis ibu
di daun-daun padi diwiridkan cakrawala
masa lalu itu!
kecupannya akan kulekatkan di mataku
menjemput bayang-bayang ibu
(indonesia)
aku
aku khawatir sungai meluapkan air matanya berulangkali
membangunkan lumpur. sri pohaci kehilangan harapan lagi
tanam-tanaman hidup murung dalam genangan
bencana. semut-semut terlempar. rumah bibi eka nyeri
tinggal kenang terendam rasa sakit hati
aku pernah berguru pada pematang sawah tentram itu
yang membiarkan bapa jadi sebagai belut
juga antanan kesukaan ibu nanan; bertasbih merayakan udara
kini, sungguh aku jauh meninggalkan kampung indung
dihuni canda anak lisung. aku tenggelam dalam bau kekuasaan
kenyataan hutan-hutan tuhan menjelma kota-kota
memangsa anak-anak lapar gemetar tapi liar
(indonesia)
aku akan terus
aku tak mengingkari bahwa musim
sanggup membekukan urat cintaku
baru aku sebagai anjing salju menyusuri
pedalaman eksimo mencari kau
yang sembunyi sebagai barang bernilai
kau pun membeku tiada hasrat
bersetubuh dengan siapapun
bahkan dengan hidupku. kau hanya
menjelajahi rangkaku
aku tak mengingkari bahwa musim
dapat mengacaukan rencana-rencanaku
untuk tualang mencari sepotong tubuhmu
(indonesia)
aku belum kunjung merdeka
desember bersedekap menutup kisah
bagai kelelawar pasrah menggantung
menunggu ibu yang tangan cahaya malam
membangunkan
dalam gamang siang seribu cerita
telah kutuliskan, telah kausampaikan
kemurungan dan kehormatan sama-sama pahlawan
bagi sang hidup bagi sang pejalan. rindu dan luka
sama-sama doa bagi si sujud yang hamba
tangan-tangan januari memberi senyum
memberi arti bagi seribu rumah nyeri sunyi
di mana seorang lelaki musyafir di sajadah puisi
pada dahan-dahan harap itu, bulan nitip cahaya
dan remang jalan bagai kitab kuning yang terbuka
penuh isyarah. pasrahkan seribu tangan rabi’ah
kampung tahun baru. bilik-bilik yang memar
ditabuh hingar: cengkrik merayakan pekik:
aku belum kunjung merdeka!
(indonesia)
aku berlayar
aku berlayar di atas sajadah menujumu
laut adalah cintaku dan gelombang laut
adalah perasaanku yang luas tapi sederhana
aku memujamu dikala pasang dan surut
gairahku. perahu adalah ibu. nahkoda adalah bapa
ikan dan kerang serta lumut adalah sahabat
yang bercanda, bercerita tentang hujan
dan rindu yang dalam
aku berlayar di atas sajadah
memuas-muaskan doa. biar segalanya
tetap melaju. angin dan langit karib selalu
mengajakku bersyukur
(indonesia)
aku bertanya
aku bertanya kepadamu mengapa mentertawakan bulan tadi malam
yang bercinta dengan sunyi
sementara aku terus bercerita dan berkiblat kepada apa
yang menjadi cahaya sumber paling sejati
tidakkah kita bersama menyatu memakai topi yang sama
memasang benteng badan dan menyiapkan perasaan kita yang agung
untuk sebuah baptis dan pelaminan?
bulan tadi malam itu
belumlah melupakan awan yang berdesakkan di kerongkongan angkasa kehidupan kita itu. dan masih ingatkah engkau pada pertanyaanku
yang paling mungkin dijawab tanpa mesti mengundang sakit hati
marilah kita membakar kebosanan masa silam yang naas
marilah kita impikan hari depan yang beringas
memangsa menyatukan jalan kita yang cadas
dan adakah kau masih sebagai perempuan waras
ketika susuk kaumasukkan di sembarang kawasan landas
tempat mampus berahiku tumpas
aku bertanya padamu, mengapa engkau tidak mungkin mencintaiku
dengan segenap kecantikkanmu padahal aku butuh jiwa kecantikan
yang kehadirannya di tubuhku lebih cakar ketimbang kuku serigala liar
kalau begitu, bagaimana mungkin aku mengabdikan ragaku sepenuhnya
sementara cantiknya hidup sebatas bayang kepalsuan yang tak terjangkau sanggama. dan tinggalah mimpi sebagai cuaca buruk di ranjang jantung jiwaku
(indonesia)
aku bisa
bisa. siapa bilang aku tak bisa
itu hal mudah
coba saja kamu bayangkan
apabila segala sesuatu tak bisa dihentikan
seperti ombak laut
ya aku bisa membuatmu jadi gunung
yang terus menungguku
maka belajarlah aku meninggalkanmu
cinta tak bisa diukur dengan ada dan tiadanya
sang denai ini di sampingmu
nyatanya merah cintaku masih hidup di dadamu
sengaja aku ketikkan nafas huruf rinduku di sana
bahwa kelak aku kembali menangkap maknanya
dan mengucap ‘sayang” , tak lupa minta sekedar maaf
karena telah membiarkan tubuhmu ragu
(indonesia)
aku dan bunga-bunga itu
kusampaikan hasrat dan gelagat pada bunga-bunga tumbuh sunyi merindukan musim damai; cakrawala damai; tanah bumi
dalam mimpi damai. tapi angin sungguh tak bersahabat, bosan
pada kata cinta yang diucapkan dalam pengap. ternyata yang hidup
di taman-taman adalah kejengkelan rumput pada jiwa kemanusiaan
yang sengsara yakni ketika gemuruh dan ledakan-ledakan rasa benci menggetarkan sungai yang mengalir tenang membagi-bagikan cintanya
ke sawah-sawah yang tak pernah mengeluh. hasrat dan gelagatku
pada akhirnya sunyi seperti nabi melihat bunga
bunga kini menangis dalam gigil hidup yang terasa sia-sia ternyata
masih belum juga harum sukma-sukma itu dapat menjelaskan
keberadaan yang tentram, di mana orang-orang tak berebut nafkah
dalam tengkar. tapi apakah perlu kehidupan seutuhnya dalam tentram? pertanyaan yang sungguh membuat penghuni taman doa memekikkan tangisnya sebab merekalah yang menginginkan siapa pun menuju
tentram laut meski ada gelisah dan cemas; ombak dan batu karang
serta pantai adalah tempat maut berbagi rasa dan bertukar cerita.
o. apakah inti kehidupan ada di dalam bunga. bunga yang tumbuh di hatiku ketika langit telah sembab oleh duka. jalan-jalan menyimpangkan hasrat karena tahu di depan ada dewa. dewa kecil yang lebih ganas
ketimbang fira’un membuat kerusuhan sebagai ungkapan kekuasaan
yang pengecut. bunga-bunga dan syarafku tegang setelah seharian mengkhayalkan taman-taman bebas dari sulutan-sulutan dendam
justru aku menginginkan doa-doa adalah keikhlasan dan kepasrahan
menolak bencana. maka aku dan bunga-bunga mengharap musim mengajariku kesetiaan langit dan bumi sebagai hasrat yang tak dusta
bahwa ia, musim itu, ingin dalam damai. tak ada murka lagi
yang dilepaskan jiwa-jiwa manusia yang pecah karena gelagat
menjadi tabiat dosa. aku menjadi doa tatkala hidup yang bergemuruh
menyediakan kata-kata. sebagaimana malam tetap menyimpan cahaya bulan. aku pun terus bermain di bawah cahaya bulan menyaksikan bunga-bunga yang mulai tersenyum sebab masih ada harap yang setia bermimpi
dan mencintai segala kemekaran sebagai isyarat rasa damai telah tiba
sebagaimana dalam ayat-ayat yang tertera di istana cinta. bunga-bunga itu pun menyapa hatiku yang sendiri saja mengolah kata-kata, jadi huruf baik pada segala. bunga-bunga pun karib dengan perasaanku yang hampir beku dalam kebisuan tak bisa menyampaikan wirid-wirid rindu
hanyalah mencangkungi nasib kemanusiaanku menolak kebengisan
yang rakus dan kerakusan yang bengis. taman-taman di muka bumi harapku tak akan bisa ditaklukkan oleh dendam dan ancaman. mereka serempak menghimpun diri dalam doa: tuhanlah yang kuat dan perkasa membentuk kutuk jadi manusia hidup yang membawa setiap hasrat dan gelagat ke asal bayangan. amsal ada yang menjembatani hidup resah ke hidup damai
maka aku dan bunga-bunga itu bersepakat bertegur sapa
dalam duka dan cinta menolak amukan dan dendam. memahami hidup sebagaimana nafas hidup memahami jiwa. maka aku
dan bunga-bunga itu cukup mengeluh dalam dzikir untuk kemudian tumbuh di diam semesta yang mengetahui keberadaan
aku belajar teguh pada kemanusiaan milik illahi yang diisyaratkan bunga
pasrah pada kehendak cahaya. sambil mengukur jalan dengan nafas sendiri membagi-bagikan cinta sebagaimana sungai mengalir tak letih-letih
(indonesia)
aku datang ke kota ini bukan untuk bersaksi
-sukabumi: ka
aku datang ke kota ini bukan untuk bersaksi
atas air matamu yang menjadi monumen sakit
datangku, karena aku limbung di alam pusaran
angin puyuh peradaban. aku menolak kesibukan
sekaligus menolak mencintai tangis puisi
yang menyeretku berduka dengan masa lalumu
bukan karena kepergianmu aku hidup jadi seorang sunyi
tapi karena telah aku pahami:aku asyik mengaji
suara desismu
bergegas juga kau perempuan seperti mimpi
setelah mencuri sebait kata-kataku yang bernilai
sebagai sebaris jalan teduh yang tak mungkin khianat
pada segala makna ada
tapi mungkin aku harus menatap langit
sambil mendenguskan kedunguan. mengapa?
dan mengapa bangku panjang itu seolah mengharap
kita berdua lagi
(indonesia)
aku ingin berbaring
jangan. waktumu belum habis
usiamu masih panjang
apa yang kau sesalkan
semua sudah beres dan baik-baik saja
tinggal menunggu babak berikutnya
ya kau harus sedikit sabar memahami
hari hari. mungkin ada masalah
coba teliti, koreksi lagi doa-doamu
sudahkah menjadi gerak?
(indonesia)
aku ingin memperbaiki hidup
suami-istri
apabila belum juga paham, duhai perempuan luka
tentang impian-impianku yang cahaya
maka inilah saat kita baikan:
sebenarnya kapan awal kita salaman
bagai februari dengan november
sungguh kuasa waktu mengingatkan rindu kita
dan mencairkan soal-soal pelik hidup di negeri ini
dengan penuh kepayahan, ingatan hari-hari buruk
sementara nafas terus dalam cobaan dan godaan musim
baiklah akan aku jelaskan kepadamu, duhai perempuan luka
tentang kiblat yang mesti kita tuju
tentang arah yang mesti kita tundukkan
tentang cinta yang harus kita tunaikan
tentang ikatan bahasa yang tak perlu kita soalkan
baiklah sebuah rumah mesti kita bina tidak cukup dengan kata-kata
baiklah kita tak berdebat lagi tentang bagaimana hidup di negeri ini
tak perlu berpanjang kalam tentang kesedihan-kesedihan
mari kita tutup pintu dan segala jendela. kita sanggama menyatukan niat
segala tujuan. tidak cukup aku jadi bayang dan kau sekedar ranjang!
(indonesia)
aku jatuh cinta pada puisi
mengingat kunang-kunang di siang hari
tersesat di kaca jendela yang sunyi
lantas aku bertanya: mengapa engkau
belum pulang ke kuburan, sayang?
anak-anak berdiri dan mematung
menanti hujan sambil berangan
jadi nuh yang pandai bikin perahu
dari daun dan akar-akar
menolak menjadi mati sia-sia
apabila aku sudah pasrah pada segenap kisah
yang berseliweran di tubuhku. ilusi-ilusi
tampak berkah. kata-kata merekah
menawarkan senyum
aku kian jatuh cinta pada puisi
menanti hening yang tersusun dari mimpi-mimpi
betapa ini nyeri terus saja berdesir
padahal aku ini cuma daging basah oleh darah
maka aku buat puisi lagi
seperti aku buat perempuan dari kaleng-kaleng mineral
aku letakkan di mulutku dan lantas aku berteriak
sekeras-kerasnya, meskipun aku tahu suaraku
tak cukup cakap sampai pada penerimaanmu
aduhai, bibi eka yang masih ranum
aku benar-benar jatuh cinta pada puisi
juga pada pipimu di mana tanganku
pernah menitipkan huruf-huruf cahaya
bibirku dan hati yang penuh berahi
sekali saja aku sangsi pada kedatanganmu
puisi kian berjuntaian, jumpalitan minta dikekalkan
puisi-puisi berjalan dan bangkit menghadangku
menyergap bawah sadarku. aku sempat bimbang
mana puisi mana arah tuhan
maka aku dekap segala cerita dengan airmata tubuhku
bercucuran menciptakan sebuah puisi pertobatan
mengalir dan mengalir membawa kenangan
catatan dan buku-buku kemalangan
aku jatuh cinta pada puisi
aku jatuh cinta pada masa-masa penuh cahaya
di mana kau menulis namaku
mengecup mataku yang sedih. dan kau bilang:
aku juga jatuh cinta pada puisimu
yang memerah di dada daraku
(indonesia)
aku kenang wajahmu, aku kenang harapanmu
-neng saidah
neng, tahukah siapakah lelaki tukang syair
yang dalam kitab kuningmu itu
yang berkisah tentang sebuah sejarah ibu-bapaknya
aku melihat sebuah gunung dan lautan
aku melihat sebuah pucuk
dan harapan kerudungmu yang basah
dan langkahmu yang indah
aku kenang namamu. mungkin kau kenang namaku
seperti dua ingatan yang tertulis di batu-batu
kita sama-sama efitaf, berhadapan
sementara langit tak sungkan-sungkannya
membacakan sebuah kisah tentang kita
antara huruf-huruf sunyi dan impian cahaya
seribu makna yang dinarasikan semesta
neng, aku kenang harapanmu
dan aku akan pulang ke masa depan
seperti seorang peladang sudah tiba
di musim pesta panen dan sebuah pedati
mengantar senyummu. kau seorang bidadari
turun dari lengan tuhan, tahta yang kudus itu
neng, aku kenang bahasamu
sampai suaraku jadi doa
(indonesia)
aku lebih baik bersedih daripada tak sanggup
menyanyikan puisi
aku lebih baik bersedih daripada tak sanggup menyanyikan puisi
sebagai takdirku. takdir adalah dari kekuatan milik tuan tuhan
satu-satunya yang lebih angkuh sekaligus penuh kasih sekudus ibu
kekal
maka aku ingin menari bersama tuhan dalam rasa berdosa;
ibadah-ibadah seperti gelombang laut menemukan gairah
di tepi pantai. tapi tuhan di mana? seperti telunjuk di kegelapan?
kurasakan titah dan petuahnya yang panjang di jejak nabi
(indonesia)
aku masih mencintai tubuhmu
aku masih mencintai tubuhmu
sekalipun bencana terus bertahta
akh, derita bencana cuma cuka
penawar bagi kekuasaan liar
yang kerap menangkap gunung
hutan dan lautan
kekuasaan merampas kekayaan
memeras kemerdekaan
kemerdekaan untuk setia sunyi
di alam semestamu
aku masih asyik bercinta
saat malam-malam datang
membiarkan kutang itu
menggigil di pojok lembang
kita tak lupa dan selalu siaga
jangan-jangan gempa memaksa
kita semakin telanjang: mati menjelang
akh, derita bencana cuma cuka
pokoknya aku cinta alam hangat
yang jadi nafas indung bagi gunungmu
dan saat-saat terpaksa aku senggama
akulah shaklaton sang penakluk kabut
maka. mari kita bersulang sampai menghilang
segala derita menjelma surga di tubuh kita
(indonesia)
aku melihat dirimu
-ka
alkisah, ketika angin terasa sunyi
aku melihat dirimu sebagai kapas diterbangkan angin
dilarikan angan-angan dalam keluasan langit sakit
memayungi perempuan-perempuan durhaka
yang meninggalkan lelaki sepenuh puja
alkisah, ketika angin mendesir menutupkan pintu
aku melihat dirimu sebagai kapas tersesat
di kolam tinta yang hitam. ”celupkan ujung telunjukmu
agar kau sanggup mengangkat ia dari duka carita!”
teriak ibu ketika semut masih mengembara di kertasku
alkisah, ketika angin membukakan pintu
aku pernah bersama dirimu melangkah
ke halaman sebuah ruas buku
menyapukan huruf-huruf yang berserakan
(indonesia)
aku membayangkan lengkung langit
malam bertempur dengan rasa sepi dalam diriku
aku membayangkan lengkung langit senyummu
yang berayun penuh duka awan. arak-arakan semut
mengantarkan jenazah sang korban
berkelebat di keningmu. dan aku kian tersaruk
ke hutan masa silam yang lebat dan mencekam
ada serigala, ada juga gerak-gerakmu
sebagai jejak ular betina dengan ekor liar
malam bertempur dengan diriku ketika langit
yang tabah mengingatkanku pada kitab perjanjian
cinta yang kutulis sebagai puisi di nisan ibu
oi... anak-anakku kemarilah! lihatlah mata ayah
yang lama kemarau. hujan di mata ibu telah fana
dari segala sumber rindu yang ngalir
juga fana, tangisan seorang terkasih
ketika malam tiba: sungguh menakutkan rasa
aku membayangkan lengkung langit
adalah mata sepi mata beku mata kekal
ada bau perawan sampai di ubun-ubunku
(indonesia)
aku mendengar suara-suara
aku mendengar suara-suara di dalam batin;
gerak ruhani seperti kupu-kupu melintasi mimpi
malam-malamku. namun yang nampak
sayap-sayap penderitaan membawa dingin
aku pertanyakan taubat-taubatku
apakah telah sampai atau hanya harum
sajadah cinta yang kau terima. sementara
rinduku masih berlutut di dalam keluasan doa
ruhaniku telah menciptakan barikade kecemasan
yang membentengi setiap jalan ke akherat khianat
di mana tidak hanya aku luka-gembira. tapi kekasih
yang berdusta bahwa ia tidak lagi di sorga
malam pun menjadi begitu bangka
seperti nenek menyihir bulan jadi perawan tua
sedang cahaya tetap merupakan keintiman
memeluk dada ibunda