sajak Lukman Asya
roman: lumar
-act.1
aku lahir di bawah rumpun bambu
sebagai pribumi telapak kampung
bapakku langit cuaca
indungku tanah pusaka
apabila wajah bulan nampak
tepat tanganku menulis sajak:
ada garis-garis takdir terang
ada urat-urat spora
benang-benang hifa
jadi rumah iseng sunyiku
aku bagai suluh
dibawa anak-anak dusun ngaji seluruh
mengais dalam tenda tanda terpuja:
ada pelita minyaknya saja nyala
ada replika surau merestu 1000 bulan
jadi hukum cahya di luar jiwaku
bermimbar sesumbar
menolak sungai hidup kesasar
sesat dalam kering sang ilmu:
lumpur kering, sawah garing
petak petani retak hilang air
sebelum matahari menari
mabuk keringat para kuli
nyinyir keringat para keparat
god, seseorang ke belakang
keluar dari lingkar kyai
seseorang itu mencariku
yang sejumput sendiri
dekat batu nyeri
ia menayang menantang
suku-suku surau shalat
asalku dari lembah mbah
restu religi perigi
yang airnya suci mengarifi
sang bahasa sendiri sejati
aku lumar penerang ketika pulang
menating kanak-kanak riang
sepanjang jalan-jalan ingatan
ke rumah-rumah rindu
ke gubuk-gubuk ibu
aku tak ingin jatuh lurut luruh
ke lembah pekat rahasia
terjerembab ke dalam sebab
aku ada dari tiada
pertama aku berkembang
di akar-akar bercabang
ditinggal batang tunggul
dekat rawa sebuah desa
di mana sawah lurah payah
suara kodok serak parah
di ledok sawah sadrah
tempat cacing urat menyerah
dalam doa zat menolak rajah
si bayang dosa kaki yang antah
aku diurap-hidupi pospor
tanpa pasfor
angin tak sudi sampirkan aku
dalam kering ambigu
di negeri asing tanpa rindu
seperti kamu di laut kasur
butuhkan benang-benang sulur
rangkul atau berahi debur
sambil berbaur ngebor bujur
sumur sanggama bersangkur
roman: lumar
-act.2
sarapanku doa salawatan
salawasna kata-kata penuh bulan
berkah tuah alam, tuan kearifan
aku raja, aku pun hamba
jadilah hidupku
pengkuh kadang angkuh
berkawan anak-anak lucah
berkayuh kayu
melamar darah waktu
dalam sejarah yang sibuk
tapi akulah cendawan
menyiang harkat mayapada
munjung menjunjung martabat bahasa
cinta
cintaku ki semar di tanah air para dawala
cakap sahaja hidup ajrih menjulang juang
antara umur bangka penuh prasangka
umur muda penuh gelora
siang datang meruang
ditabrak gamang
siang bagai burung caladi ngetuk dahan
bikin rumah tambah kesepian
hurip pati berpasangan
tersihir matahari
siapa nendang tubuhku tanpa kaki cahaya?
siapa tentang mata malam yang hitam?
siapa yang terusir bagai sebutir pasir?
apa anak-anak temukan dunia ibu sendu?
dari dunia tanya itulah aku muncul
bertandang mencangkul hidup merdeka
terangi pinus-pinus yang renta
aku pikun terkurung siang
hadirku jadi mangkir dari makna mengukir
tapi biar tambah hidupku bersyukur
atas tiada laknat tiada jahat
aku urung murung
demi kelangsungan si cucu wulung
mimpiku penuh mimpi pantai sobek
meski ombak tangan laut merajutnya
dengan jarum rasa banal kebal berdebar
ya pulau-pulau robek lalu buncah pecah
tangan-tangan bandang menyatukannya
: konon hutan-hutan tak lagi lindung
sebab rakusnya kekuasaan para dewa
yang membangun kerajaan olimpus
ingatlah wahai peladang
pada puing aku hidup tak berpusing
maka mengabdilah
biar tumbuh sejarah baru bawa lampu
biar sebuah lorong penuh catatan ngaben
dimana akupun niscaya siap jadi abu
roman: lumar
-act.3
Aku makhluk tanpa kartu penduduk
sebab identitasku ada di dalam kelam
tubuh cahayaku bekerja
menolak tangan-tangan yang memaksa
lahan gambut jadi api
jadi uzur
ada perasaan ambigu
apa orang-orang yang datang ke aku
sepenuh rindu atau palsu
ketika segala lahan diniscayakan
siap jadi peradaban katanya maju
disulap jadi silap kota selir si jelita
akulah lumar kelas pekerja
segugus hidup mangkus
sebelum mampus ditumpas sepi
dirampas pati
aku lumar limar
supa sepa dalam cahaya tapa
dibawa kanak-kanak
ke pengungsian ke pengajian
menarilah aku
sampai tubuhku pati
sampai malam-malamku mati
sampai kupu-kupu purbalarang dengki
di punggungku
menarilah aku
sampai suara lisung juga mati
roman: lumar
-act.4
selalu aku dalam ruang siang
ditumbuk gamang kesepian
milik burung-burung bangkai terluka
di dahan-dahan ranting mata
melihat gurun pasir
anak-anak yang terusir
dari mataku
siapa memandang tubuhku
tanpa cahaya mata malam
yang menjelaskan aku ada
dalam mimpi dunia garang
di situlah anak-anak temukan
ibu yang sendiri mengaji
Dari dunia gelap aku muncul
sebagai cahaya
hidupku jadi merdeka
antara damar-damar yang siap renta
menusuk sejarah langit dan musimnya
Aku selalu terkurung dalam siang
hadirku seakan mangkir
dari hidupmu, panji wulung
mimpiku penuh pantai-pantai sobek
gemuruh laut menjahitnya
dengan rasa takut
pulau-pulau robek pecah
tangan-tangan payah menyusunnya
kembali dari kesetiaan yang sakit
seperti puing dalam ingatanku
Hutan yang jadi ibu terbakar
separuh dari catatanku terkubur
timbunan kayu menjadi debu
sebuah jalan ke kematian
Aku selalu dalam gamang siang
seolah tercatat sebagai tak berharga
sampah dari sebuah perkampungan
tanpa ktp
Selalu dalam perasaan ragu
apakah orang-orang memandangku
sambil menanti
tangan-tangan malam bekerja
menyusuri urat-urat tubuh
kelamin dalam sebuah roman
roman: lumar
-act.5
Romanku roman kisah
anak manusia yang mengembara
menegaskan sisa waktu uzur
dimana aku bagai sejarah
tak pernah tidur selalu ngukur umur
atapku langit dan tanahku tempat segala
tubuh ada bebetah memercaya arwah
sebagai lelaki yang baik
sebelum semesta kau atur
lacak di relung paling filsafat
seperti angin mencatat cahayaku
Hidupku tak pernah dengkur
berjangka-jangka tersulur
mengejar bayang-bayangnya
yang mengizinkanku mabuk malam;
bulan yang suntuk sibukkan tatap beradu
saling terantuk
Aduh adah! siapa bilang ini waktu terkutuk
Romanku roman seharkat manusia
kisah si pejalan malam di mimpimu di hidupmu
sang diriku cuma memberi arti
bagi tubuhku
sibukkan pekan manusia
sekutukan cinta dengan sungai
Aku lumar bimbang di suatu datang
bulan malam gamang di suatu siang
tercincang menjelang sinar matahari
jelaga sinar iri hati
Pada malam mengiba itu bintang biduk
menunduk
cahayaku berjalan laiknya hidup
lalu terhampar di buku-buku
lalu terdampar di ruas-ruas waktu
siapakah aku?
Aku tetap lumar
melamar allah akbar
di mana pun ke mana pun
pasrah-sadrah
Aku lumar tiba-tiba di ranjang
saku bajumu, panji wulung
tanah angkasa mendekap
mendekatlah, God
sebelum rawa-rawa itu pahatu
kehilangan air pohon ibu
hutan-hutan lindung pun piatu
kehilangan jaga, kehilangan bapa
tebing-tebing kian yatim saja
duafa tanpa tali akar-akar
kasih menjalar
tempat pemanjat merayap
merangkak lalu melompat
sebelum sekarat ini dusun jagat
Sanak famili sibuk di rumpun
bambu mengenang tubuh selalu cahaya
terlunta malam dalam bulan sendirian
lebih aku dari seluruh aku
lebih jagat dari sukma jagat
cahaya sibuk mengembara
Romanku roman kisah
si anak manusia yang kembara
tegaskan sisa uzur
dan nyawaku bagai sejarah
tak pernah tidur
selalu ngukur umur
Atap ubunku cukup langit
berkawan landak, tanah
tempat segala goa
dimana tubuh bebetah
percaya arwah
kebaikan bertuah
Aku ukur semesta teratur
dengan sekayuh tubuh
melacak tempat filsafat berkarat
mencatat daun cahayaku yang cacat pupur
disebabkan siang kesat tersulur
Hidup bagiku bukanlah dengkur
sebelum bayang mimpi benar-benar gugur
dipukau pukangNya
nya yang izinkan aku khusuk
lebih mabuk dari rama yang mabuk
bulan sekar kencana terenggut
oleh sinta yang suntuk
sibuk adu tatapan: siapa
paling sahaya di tanah lembur
siapa paling bersahaja di tanah dulur
Aduh Adah! siapa bilang ini waktu penuh kutuk
mungkin bagi si sesal yang kikuk
tidak bagi diriku
tidak bagi si pungguk
yang kekal rindukan tuhan
Aduh Adah! romanku roman yang nitih
si anak bunda yang merintih
di malam lirih
titahkan agar tidak tertatih
‘tuk rengkuh segala pemberianNya
seperti suara sungai ajrih
hidupkan manusia ‘tuk tambah samadi
roman: lumar
-act.6
Aku lumar segugus
sebelum mampus
sebelum mangkus
ditumpas pati
Cahayaku bulan pudar
terdampar di bawah langit timur
merangkak ke pepucuk sajak
sebuah menara dimana makna terpacak
Cahayaku bagai azan bersumpah
membentak haji rojak
yang masih mondok
di tubuh si nyai denok
Cahayaku lumar bawa kabar
ke negeri-negeri siar
ngarai jawa
pulau-pulau memar nanar terhampar
adalah telepon genggam yang bergetar
sebuah tahta meneleponnya
sebuah kekuasaan me-miscall-nya
Aku ke gulita lagi
roh ke galatia
saat paulus nyambar tangan bulan
begitu nasrani sang sunyi sendiri
ke gegap gempita
ke jaman kekerasan lagi
patilasan tubuh tumbuh menghampar
antara rebung-rebung bambu
antara rumpun-rumpun benalu
antara garing akar-akar dan basah batu-batu
antara gairah gelap di sadrah subuh
lumar ki panji wulung
selir milih tersisih
antara hidup dan lembah embah
mengenang sawah-sawah tadah
hujan basah
antara sirah nyai yang kesepian
antara buah jambu jatuh, jatah kelelawar
lapar mengganggu
Antara ular melingkar
dekat arang bambu, antara kisah-kasih menanam
kacang dan mentimun pada selangkang ladang subur
antara pohon karet pembatas baptis
Antara hak tanah pusaka hak waris
raden belanda
antara parit kecil kebun sawargaku
kebun nerakamu
roman: lumar
-act.7
Aku berkembang sebagai lumar di situ
seperti ular yang dewasa liar
kampung lahir
kota lahir
seja nyaba ngalalana ngitung tatu ngajajah
milangan kori
sinjang songket mulang ke minangka minang
Gajah bengali yang menawan maskumambang
bagai tarawangsa ngiris sembilu
bagai kelompok ketoprak berkeringat cahaya
di panggung lembah, ketika lebah-lebah
berkidung
tubuhku sadrah berbiak baik
di ketiak tunggul, dengkul ki hutan belantara
andayaningrat menjerat khawatir
Dengung anak-anak nyamuk sibuk
menyambar pundakku
Aduh Adah! aku tak punya darah amarah
cuma getah cahaya
Malam dan anak-anak ki moesa
mengganyang tubuhku sebelum mereka jadi menak
di mana-mana menguasai sunda
bersorak bagai si gila mengarak-ngarak sajak
ke pengajian ke perjudian
dimana janji dimain-mainkan
Aku lumar limar ki sunda
di ranah jawa, pecinta si inang inomayu
yang titisan hyang moyang pagaruyung
aku yang dibaringkan di kantong ki panji wulung
antara bulan dan kuasa malam
antara salat dan waktu jahat
lalu ki panji wulung tadabur ke kota-kota selir
bertabur getir mencari kamar bertabur mazmur
agar lagu agung munjung dari jiwa yang makmur
jiwa yang gembala
jiwa yang bagai isa siap tebuskan dosa
Ketika siang aku saksi di kantong ki panji wulung
dimana dia cari tempat nyai andayaningrat
dukun guna wisesa, panolih, patih sokadona
lembu jayeng pati, raja dewakeswari, prameswari
selir: tanjung sari, sekar kencana
andakasura si juru dusta
bayang-bayang malam kian jangkung
diasingkan tukang lukis orang
yang telah jadi batang bugang
hutan-hutan ibu bagi diriku
tanjung sari ibu tiri yang baik hati
kera darwin yang ngakak
burung merak
oak dan landak
adalah sahabat-sahabatku
yang tak lunak pada gulita
menjaga kisahku, semangatku
roman: lumar
-act.8
Neon-neon berjuang
menyilaukan hatiku yang miris
tak digubris
silang siasat kerjaku sebagai abdi sang raja
ketika berdekatan dua sukma
celakanya cuma malam di lurah hutan
menakar cempa ki panji
akhir jangkarkan tahta kuasa
sebijak getah nangka
maka di kota raja
luluhlah namaku
Jadi seolah huruf-huruf binasa
dimainkan ki giling wesi
tak diperdulikan si raksadona
si bengali di punggung gajah
yang menawan putri
Tanah bergaris
penuh petak-petak
kuasa raja; untung rugi
jadi trotoar bagi si pejalan
si pedagang
Aku risih di kantongmu, wulung
ingin nyisih saja ke sungai tepi sunyi
ibuku yang tak mangkir janji
sebab sunyi bukan pidato tuan panolih
mungkin penitih yang menusuk
kulit telunjukmu
jangan marentah!
Di sukadana, kini bebukit dilamar
traktor tangan sang kuasa
ya aku kembara
ke kota-kota penuh batuk
kota selir dari dusun lahir
sampah kabel sampah batu bebal
menumpuk
the bandung terkutuk
ke danau purba yang tinggal kenang
ke padalarang karang-karang
batu-batu kikuk
antara makhluk sibuk
cari harta setumpuk
aku bikin riwayat
pada semesta takhiat
semenjak bunyi kentrung
lodong aren
aren yang ditanam kaum musang
disayang sayang hyang gunung
aku terangkan jalan-jalan ke jurang
aku terangkan lubuk-lubuk curam
aku terangkan terjal-terjal karang
bagi siapa ingin ciptakan lampah
pikirkan polah
aku si zikir mencari
restu embun, restu cuaca
aku si pikir siap lekat
di tubir bibir tanpa tidur
bayangkan anggur-anggur kehidupan
berjatuhan sebagai wahyu dari mulutnya
idamkan rumah benderang
karena tubuhku, jiwaku
tanpa perang garang siap perang
Aku lumar sebelum jadi tawanan siang
sebelum dulur terdampar
kamu apa? hama? sebelum maut
bilang apa kabar dan nakir munkar
ketukkan palu: kau ingkar
Aku supa tapa di dusun lahir
kembara ke hilir-hilir kota selir
dibawa ki panji wulung yang mahir
aku lihat kalimat-kalimat awan di langit
mereka mangkir dari bulan
‘tuk sekilat saja biarkan diri
dibawa cahaya kiri
ke kremlin untuk berguru
ke stalin tumpahkan gerutu
tapi aku punya panca dasarku
sebelum pati nitih kanjeng nabi
ada kilat menggambar palu arit
di tanah allah dimana bulan membayang
aku hampir hakekat sesat
maka kuberikan terang kepada orang
yang bersinjang songket nyai tunjung sari
yang dirundung si prameswari
kupahami jaring lelaba
yang menghadang saat hidup terus rembang
lelaba manusia yang sibuk
tangkapi makhluk, tingkahi kutuk
yang kepincut
jejaring kasih, cinta, usaha, kuasa
roman: lumar
-act.9
Aku lumar lihat kejadian
titis tulis hutan malam putih cahaya
kucari titk-titik bintik-bintik bulan yang gambar
sunyi; kapuk randu terapung-apung
dibawa angin bingung
ke puncak gunung, mengambang bagai maskumambang
laksana layang-layang mulang
laksana semut-semut terberai
diceraikan badai
Cahayaku bagai bulan pudar yang hampar
di tanah timur
terdampar samar di barat sanur
bersitatap, bersiragap dengan dara gadis mandi
tanpa bikini
aku bimbang di kantung ki panji wulung
limbung punggungku mengarahkan cahayaku
jadi kidung kawisaya bagi si putri buyung
aku cuma supa yang tapa
dalam cahaya ketika hidup menjamur
di tapak-tapak, di setapak-setapak
air raya bunga bank kata
gedung menjulang lewang
jadi wawacan si kaum semula lutung
kasarung dari dangding pilemburan
dari peuting jemplang-jempling
dari hurung ngempur cianjuran
Siapa menakar lumar dengan yoga
menawar cahayaku dengan lampu
siapa mengusungku ke meja-meja judi
yang penuh keringat dan berahi
menukar pelirku dengan bola-bola bilyar
sambil mengukur pusar
si bahenol demplon seksi
duh, wulung hantar aku pulang
ke indung ke sokadona atawa cempa
aku bosan tandang ke kandang
si giling wesi
aku ingin keluar dari kantung ki wulung
lalu menampar asap-asap ganja
yang menyebar, dari tadi lampu
berdenyar-denyar
berahi gebyar gemebyar
menyilaukan cahayaku
jadi redup tanpa sinar yang menyambar
segala ragu segala lagu
anak-anak yang suka disko
ke resto-resto
Kapan ke kampung, wulung
lihat rebung-rebung iwung
menengok indung kandung
dapur penuh rangasu
samping sungai tempat batu-batu
sembilu ditabrak perahu laju
yang dari gebog cau
cuma perawan yang tak ragu
dengan sinjang setengah badan
membasuh pilu
mencuci rindu
popok-popok si madu
Tubuhku fana
seperti detik-detik
milyaran titik
tapi cahayaku
sukma yang mengembara
di sakumu
di sukabumi
teringat desi sakit
itanaya di asyifa
pernah berwisata
ke taman bunga yang fawzy
jadi catatan ingatan, danau
kenangan
sebelum matahari
enggan surupkan kisruh keluh
orang-orang berhutang
yang bayang-bayang
sebab menolak mangkir
dari takdir di tiap saban dzikir
Siapa melindungi habitatku?
aku cuma rakyat biasa
terinjak lalat-lalat
kau binasa
karena semerbak kuasa
Sebentar cahayaku bertukar rupa
dengan rupa purbasari
putri
sebelum si lutung
jadi guruminda
Aku sibuk dalam cerita
seperti babat dari sawah sri
sebelum dibuat, diruwat
sebelum purbalarang kian jorang
dibabat laknat
ah, aku cuma emban
aku cuma dayang
aku panji wulung
ah damar wulan
minggir saja aku
ke damar wulung
ke akar-akar kelapa
menatap cinta yang menjulang
pasrah lapis langit
cinta pada segala jaga payudara dara
roman: lumar
-act. 10
Akhwat-akhwat
sebelum kiamat
dalam jejak pesantren kilat
mencari hakekat
melanglang miang sebelum miang
ke kota selir anak si raja moksa
melancong ke lembah embah
tempat dulu aku lahir
diteriaki selokan gunung
yang airnya ngalir bening
memahami mata tuhan
kekuasaan yang menyeluruh
Akhwat-akhwat itu
mendamba sunyi di saung petani
mengenang nyi prameswari yang kumaki
menimba letih nyeri membasuh
dari sumur tua
hilang dahaga
sepotong tubuhku
jadi saksi
duhai ilahi
betapa ada orang
yang nyiksa diri
bagai lelaki di pohon bodhi
tanpa belati
cuma untuk mereguk sunyimu
atau membela diri
dari kesumpekkan, kepenatan
kota raya yang mampat doa
sehari semalam saja
tualang melihat bintang
yang tak terjamah
berbenah rasa lelah pasrah
Binatang malam apa
suaranya begitu syahdu
rumput basah
mata basah
karna sendu
tubuh-tubuh
penuh tatu, teluh
aku memahami mereka
ketika sunyi malam
menawarkan cahaya
mereka bersorak
mereka berebutan
penuh kasih sayang
memeluk tubuhku
mencium mulutku
Selama malam ada
hidupku ‘kan terus ada
pabila penguasa tak kelewat
bejat, mengusirku penuh kuasa
getah cahaya, getah petuah
bagi ki susah
pepeling dangding bagi ki dengki
sebab aku tidak tumpak di pundak
wawacan macan
perantara muasal ini tanah
terbelah dua: yang pro yang kontra
sama-sama terkutuk kuasa tahta
sungguh mayapada yang luar biasa
ucap mereka
lirih-lirih pada semesta
sebelum mereka renta
salah seorang berdiri
menjatuhkan tubuhku
cahaya bergerak
searah jarum waktu jatuh
selintasan seperti kilat carok
mereka serentak nulis sajak sama-sama
mereka lukis wajahku pula
mereka teriak bersekutu:
lumaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!
roman: lumar
-act. 11
Waktu gusmus pengajian
malam jum’ah berjamaah
aku ada di kopiahnya
aku ada di sarungnya
di tasbihnya
di senyumnya
di tangannya
di sajaknya
menggandeng jiwaku
Mengerti benar gusmus pada ini hidup
yang terus rembang
hujan datang
menghitung luka bayang
memahami benar gusmus
pada dagingku
pada nyaliku
pada cahayaku yang gairah
menyala
menjelaskan perkara
menakar sengketa
seperti memahami agama
Lumar ya aku lumar
cahaya yang membaca
datang dari dusun fakis haji
tempat ular tafakur
sepanjang kenyang
meradang ketika lapar
terinjak ketika ternak-ternak
kesasar
gusmus pulang ke asal
tiap jum’ah sambil jamaah
sama orang-orang sahaja
di desa biasa rembang mustafa
ya gusmus menerangkan kehidupanku
dalam sajak-sajak gusmus
tahta disingkirkan kehidupan diruhanikan
aku berkaca-kaca
bagai kitab kuning di mejanya
ya lumar ya lumar
ya aku lumar di matamu, gus
Seseorang salat di gereja
bernyanyi di surau tua
sama saja, wiridan di kuil budha
tafakur di borobudur
mengajakku berpuasa
membawaku
canda doa bercengkrama
candi-candi tersenyum
melihatku yang begadang
orang-orang ramai
orang-orang curiga
orang-orang penuh prasangka
dalam tahta dalam agama
ada jendela
ada lentera
ada aku asing dan sunyi
ada katak ada tokek
ada sajak ada baju robek
siapa menggertak
gerobak
orang-orang yang dagang daging
di pasar berahi
di riba rimba judi
di pabrik-pabrik si kuli
di barak-barak tki
Aku lumar berkawan landak
si cendawan cahaya
di semesta raya
tempat orang-orang wisata
kulihat bayangan neraka
seperti jakarta
kulihat bayangan sorga
seperti papua
seluruh penjuru rusuh
pemancang sibuk
menahan hantaman
orang-orang tahu
burung-burung ditembaki
sakit hati para sufi
di ruang gusmus
ikut tadarus
mengaji memahami
riza yang gagap bahasa cinta
ah walet saja seekor
di goa kelelawar
terkapar mampus
disengaki asap humpus
menggantung saja jadi bangkai
atau keluar
roman: lumar
-act. 12
Aku lumar sahabat yumar
sahabat ular ketika pinem
belajar syair mengukir
keparat
mengejar si tukang daging
sekerat hingga tersesat kesat
ke pasar-pasar perkelahian
ke pasar-pasar perdukunan
tabib dianggap cahaya
menggantikan jabatanku
sebagai penasehat
di saku baju
Tukang kayu tertidur
mendengkur seperti tekukur
dekat tub menindih tubuhku
gergajinya di pantatku
kamu tahu gergaji?
ya aku pernah ke kota
dengan si panji wulung
ke toko besi
sewaktu si panji ingin beli palu arit
tanpa idiologi
maghrib tiba
si tukang kayu kabur
pipiku mulai merona
aku ingin dandan dulu
berselendang cahaya
ingin kencan dengan ki sunda
dimana godi suwarna mirip drakula
memakan kata kata
ingin kencan dengan ki jawa
di mana para priyayi tumbuh sunyi
ingin kencan dengan si nona minang
dimana abak dan mande
izinkan riza tandang ke bandung utara
sebelum gadis samawa yang tai lalatnya dua
matanya bahagia
panjang rambutnya dikuncir
buntut kuda
susu kuda luar dari sumbawa
gairah gadis di kasur lembur
dago timur
ketika malam aku jadi ada
di sakumu kini terpelihara
bagai ikat rambut
Aku lumar
kamu apa sebelum bugang
tinggal bayang
sebelum kamu mati: ngik!
angkot tinggal rangka
angka tinggal jangka
mesin mati besi mati
Aku lumar metafor malam
kesedihan terus hambar
digambar digampar
Aku lumar
kelaminku rasa malu
jiwaku cahaya menyamar
dalam kabut duka cinta
ya aku lumar yang dilamar
munkar ingkar
akar-akar menjalar
mahpar
ha....ha...ha...
ukar!
roman: lumar
-act. 13
ada pegawai negeri berseragam
aku tak suka kamu terima gaji buta
kerja yang nyata, dong
Aku lumar cendawan cahaya
ingin tumbuh di ragamu
ingin sembuh di hatimu
melumat habis malam-malam
jahanam
mengikis diam-diam
gerimis di lebam batu
Aku lumar
penebus siksa ibu bapa
pulang dari ketiak haram
pulang dari dosa jadah
jadah-jadah jahiliyah
denyar sinar
kelekar sesumbar
ketuncar cacar
bocah belajar
di pantai anyer laut matamu
God, lumar bukan yumar
di kampung bambu
di rumpun ibu
begitu awal aku
memahami dunia
kegelapan dan kejauhan
sungai menangis siang hari
ia tahu kelak ‘kan tinggal kerak
batu-batu pasir
Mungkin di dusunmu aku damar
suluh, obor atau semacam lentera
ketika semesta butuhkan cahaya
atau cukup restu
matahari bakari daun kering
sampai sungai itu tak menangis lagi
melainkan menari sampai
mabuk senja: Inggit bahagia
God, waktu itu kamu ke kebun
mencari aku
sebelum pergi ngaji
di surau alit kyai
ngajari kamu shalat, silat
lumar penerang, penayang
ketika pulang
mencari yang lebih riang
sepanjang jalan ingatan
kanak-kanak
dari mana aku ya lumar
dariapa ya aku lumar
dari malam
dari ibu yang malang
dari pohon yang meradang
merajah bayang-bayang
menjarah petang
yang datang ketika sawah
menyerah ke dalam lumpur
payah
Pada malam aku bekerja
bagai penyair cahaya
mengukir malam dan bulan
pada siang aku cuma berdoa
cahayanya itu lho
sungguh lungguh
bagai aisya pakai kebaya
ke pematang
dan aku bahagia
sebab ia juga lumar
lumar si punya lubang nikmat
nan samar
Yang kuingat dari kampung
ya cuma aku
lumar di madrasah
ingat aku diri sendiri mengaji
di masjid aku ingat aku
jagat alit penuh lumar
maghrib tiba
mula aku lumar mula segar
malam ‘kan melamar
lumar rindu
damar lampu
lumar ragu
Menyibak waktu
berangkat kubawa doa
ke madrasah ke kuliah
ke bangku-bangku membaca semar
bahasa yang samar
di sejarah kaum dawala
bercakap dengan cahaya diriku
jadilah kekuatan
tumbuh di hatiku
roman: lumar
-act. 14
Hidupku jadi sejarah
dari kanak di batu-batu
dari remaja di rumpun bambu
dari dewasa di rindu ibu
sebelum aku kawin
maskawinnya lumar lumar
senyum tangis hambar
Aku sedih jadi lumar
terkatung di siang tanpa
kau sebut cahaya, wulung
terperosok jurang tercampak
perempuan malam
jubahku hancur
sajakku remuk
ingatanku lebur
dalam ombak berahi
yanga adalah trotoar
di masa depan
Aku marah
ingin pulang kampung
melihat anak jadah
anak sejarah
tuan tuhan paham
tak ada pembenar
semut hitam menegur:
lumar jangan begitu
semua ada jalan
dan ilmunya masing-masing
Dan pabila aku mati
aku lumar tak bisa apa-apa
tak ada cerita lagi
cukup puisi
di kening anakku
aduhai alangkah
baiknya ekor cahaya itu
mengembalikanku
ke rumputan bambu
membangun kuburan
sendiri dari sunyi ke sunyi
ke sunyi yang transmigrasi
beranak-pinak, air hujan
tumbuhkan lumar baru
lumar ibu: cahaya ini manusia
lumampah laku kesadaran rindu
Aku mendengar madah
si tukang gembala domba
di lembah di bawah
bukit gundukan merah tempat puyuh
bersarang; peladang pulang
dari seruling dangding
dalingding angin-angin
sayup-sayup
Di ngarai dusun abah
jendela rumah tertutup
jemari daun-daun
tangan-tangan ranting
melambai mengharap
bibir perawan tak terkatup
aku ingin mengecup bibir riza
bibir mira, bibir eka, bibir inggit, bibir lena
bibir iis, bibir awit, bibir ivon, bibir rukmi
bibir segala bibir setiap tubir getir
sebab aku lumar aku cahaya
Irama sasak gantung
irama kita bergoyang
aku menatap dari dalam kutangmu
aku rasakan hangat ya hangat
mendekap erat
aku lumar tumbuh di mana
saja, dimana ke mana saja
asal aku betah dan kau tak gundah
Keluarga aku tinggalkan
nun di negeri jauh yang teduh
rumpun cahaya bambu
sungai-sungai ambigu
mendua rindu
ke sawah atau terus melaju
menabrak batu-batu
roman: lumar
-act. 15
Aku beradu cahaya
dengan bulan
temaram
sebab bukan cuma aku
menatapnya bimbang
butiran ya zikir di tanah
memandang wajah bulan
penuh cinta
penuh tuah
penuh rajah
dari salat tengkurap
serupa lele
lelah malam
madu ingatan:
senggama para pengantin
dosa likat
dosa nikmat
di tubuhku
menggodaku
duh aku ingin pulang
saja ke mana angin
datang bawa kabar
aku takut menjelma
bukan lumar
tapi asap tebal
dari merapi bagai diriku
di lembah ibu
sebelum kembara
tinggal tunggul
sebelum bugang
sebelum meregang
Sendiri aku tengah malam
sunyi tumbuh cahaya mengabdi
terus menjadi
pada langit-langit ilahi
bulan menjatuhkan peristiwa
gamang bayang
telaga warna, goa-goa
jejakku, jejak cintaku
mencari tuhan
sebatang rokokmu
asap menegur kekosongan
genderang perang dengan setan
bertempur dengan laknat uzur
aku terus cahaya
mataku awas selama malam
bagimu, mata sembab
pada lembab, sebelum setiap
tumbuh bukan peluh keluh
lumutan, basah bahagia
air mata embun berbekas
lelah leleh cuaca
pasrah ditumbuk detik-detik waktu
Aku telanjang
kamu mandi telanjang
aku melihat selangkang
lumutan
indah bagai puisi
aha, puting memerah ati
megap berahi
tapi tunggul bambu
jadi penghalang merintang
aha amboi
aku suka mengerang
bawalah aku mengembara, wulung
roman: lumar
-act. 16
Allah akbar
ya selembar sekedar
suara bukan cahaya
seperti aku
pintu-pintu motif-motif lampu
hiasan kaligrafi bisu
bukan siapa-siapa
bukan apa-apa
sahabatku juga
ketika kamu wulung
ambil salat rakaat
dan aku ikut tergeletak
dalam takhiat
di batu-batu bata-bata
batu ukiran penuh jejak
Mereka pergi ke keramaian
siapa? mereka saja
menjelang hidupku pun pergi
ke kontrakan ini dunia
terbangun di saku bajumu
kamu butuh cahaya
di jalan-jalan raya
kesadaran kedua aha
Aku kisah berkah
pembawa cahaya
bukan petaka bagi dunia
lumar tak pernah bunuh
munir dan marsinah
lumar dari rumpun ibu
setia melamar
sebelum memar
ketika seseorang mencuci
pergi ke perigi
pakaian kotor, jiwa-jiwa kerdil
tubuh-tubuh dekil
watak-watak degil
aku tak berdaki
aku di saku bajumu
dan simpan dulu tuan hulubalang
seala hang atas restu tuhan buyung
aku tembok sumur
sebelum kau timba cahayanya
menghapus nyala, dahaga
di siang gamang
meradang meregang
sepatumu kotor ari
dan kau dibarat
jadi penghulu menjagaku
diriku menjaga aku
mengurapi cahaya
menyaingi bulan diam-diam
sebelum sedekap tersalib
sebab cinta, lestarikan yang bening
yang sepantasnya dari semesta
sepatutnya
Aku di saku buruh
dan tani
menjadi taji nyali
aku di ho chi minh city
roh nama besar
pejuang demokrasi sejati
sunyi bagai mao
lenin menggerutu
di kamarmu
ia lumar juga, bukan?
seperti aku
Silalatu di retak tembok itu
ada debu pada gambar
che, castro
membayang ingatan
demonstran
dan aku saksi
di slogan-slogan
di famflet-famflet puisi
di negeri ini
di panji-panji proletar
bersatu
kremlin seperti wajahku
bercahaya di malam-malam
tanpa tuhan
ranjang tanpa bikini
melamar mati
roman: lumar
-act. 17
Mahasiswa iba di trisakti
aku melihatnya
tertembak terjebak siang
rezim bangkit lagi
mencakar-cakar ya lumar
tubuhku
tubuh harga diriku
mendesak barisan tentara
barikade kekuasaan
aku berkeringat
mereka laknat
aku bersama
berkawan terangkan cahaya
warna-warni kehidupan
kelas-kelas pekerja
hilang batas
harapanku bagai harapan komunis
dugamu aku hina
aku melawan malam
kejahatan di istana
keberkahan manajemen
Aku lumar dari dusun
aku lalu memekik
bersama langit
bersama hujan
tanah
tumbuhan
nyawamu
mungkin semacam cinta
Di kampung lindung
di tebing dangding
fajar nyingsring nyingsing
dan aku mati
antara suling si tukang gembala
menyambut pagi
rambut
rumputan embun telaga
sempit
di ujung-ujung danau
cuma lumar yang hambar
membentak katak yang jongkok
di akar-akar
aku padam
aku diam
hidup mulai lagi sunyi
dan lebam
Namaku lumutan
bersama ganggang
menjadi silam
dimana putri-putri kepayang
di malam hari
aku berkacak pinggang
menggantikan dewa mati
sanghiyang yang tinggal bayang
aku betah tanpa rumah mewah
daun-daun gugur gering selimuti
aku di hujan datang
makananku angin
santapanku musim dan cuaca dan waktu
Aku seperti panu mungkin
di tanganmu siang hari
malam bercahaya
memantulkan semesta
seperti kumpulan bintang
musyawarah
Bagai rajah
sekilas mungkin tuah
menyerang tanahku
mengurus cakrawalaku
menggerus
kawat-kawat berduri menghadang
batang pohon merintang
jalan kura-kura pelan
di sungai, mengharap kekal
sebuah irama gerak pada
sebuah satwa, sebuah nama
hutan adam
sekarang khusuk sibuk
mesin-mesin tanpa kompromi
menuai pohon kecewa
di hatimu
Aku memang lumar
bersahabat ular
rayap, serangga
dan akar-akar
akan membacaku
ketika hari sudah malam
batu-batu api berkilatan
senapan siapa itu tertinggal
senapan pengasuh buruh
kuli hutan perambah
pemberontak, ataukah
dari bukit lain
dari kampung rawa-rawa
Terus aku ingin berkata
ketika malam mabuk bintang
sunyi bersama
bersatu musim-musim
bendera berkibar-kibar
kapal-kapal layar
di laut
mercusuar
memancar tumpahkan cahaya
seperti aku: saya
roman: lumar
-act. 18
Aku lumar
mata-mata di padang pasir
mobil-mobil tulang purba
kurma ingatan
manis keyakinan
tangan abrahah
gajah-gajah
berzikir
sebelum tandus
sebelum runtuh
gurun-gurunmu
menurun terang lagi
kuruksetra lagi
Tentang minyak berbarel-barel
badai amrik gadaikan neraka
prahara duh aku cuma lumar
menghiba-hiba
cemar tumpah gundah
luruh keluh menghujat
dangdutan kuburan kerap kurap
Subuh kurebut
dini hari sambil kau ngebut
sebelum padam cahayaku
kuluangkan ngomong dengan bintang
yang masih binar mars
gundah tumpah di dingin waktu
kerap kurap di tubuh hidup
cemar luruh, keluh menghujat
melihat kuburan masal
menggantikan sajadahku
tempat cahaya dangdutan
gebyar-gebyar pada hajat-hajat tuan
samenan pada munajat
apa yang aku bayangkan
ketika detik terus berjalan
ada alarm membangunkan tangan
dan cintaku
mengingat waisak namamu
5000 tahun silam
tuan dilahirkan
aku tahu
cahayaku mengendap mengertap
antara budha, hindu
antara patung-patung bisu
mengharap rindu ibu
Baiklah pabila aku menjelma
dewa apalagi aku tetap cahaya
di tangan malam
pohon-pohon jadi tampak membayang
jalan-jalan memungkinkan setapak dan jadi tujuanmu
kerbau-kerbau kau asuh
seperti seseorang yang kau suruh
terus menderu
mengabaikan jalan batu-batu
Aku pun salat
sebabagaimana kaupun salat
mengharap ketenangan
aku tak sempat
mencari apa pun
dari yang ditawarkan waktu
sebab aku tumbuh
dalam cahaya hidup yang tak rapuh
tak mengeluh
Kudengar ricik
musik air dan batu-batu
ganggang menari-nari
dan aku bercahaya
kecuali ketika siang yang gamang
redup bahkan temaram
tanaman tumbuh rimbun
liar menjalar ke segala
keluh ke segala kisah
ke segala arah
menjadi rumah
tempatku asyik becanda
sebelum kota raya
sebelum nama-nama
berganti besi
Kau tak jadi bunuh aku
wahai kekuasaan istana kota
wahai penjarah hati sedih
membawaku mungkin
di saku bajumu
saat sudi mampir di lembah
mbah begitulah demikianlah
tak habis-habisnya pikiran perasaanku
sunyi dalam bentangan berdialog
nyeri sakit hati
Tidurku mungkin merenung
kadang-kadang sambil ngelindur
mimpi, cita-cita bagai cika-cika
kunang-kunang datang dari
kuku kuburan
mengenang mayat
mengingat
pembantaian
di pulau-pulau di halmahera cinta
tulang belulang dan jiwaku hancur
kesedihan menjadi burung yang kabar
murung ke seantero raya
aku cuma lumar membawa cahaya
menerangi diriku sendiri
khidmat ulat dalam sunyi
di lembah embah
mendengarkan ricik cikaracak ninggang nidih
di batu-batu sebelum mimpi embun jatuh
aku terkenang hutan larang
tempatmu melamunkan pesanmu
firmanmu: bertasbihlah
sampai angin berkesiur
ke timur dalam irama
yang damai
Anak-anak tak sempat
tergadai luka di akar-akar
luka-luka bangsa yang membangun
negara
katak di rawa-rawa
satukan suara tanpa bendera
diserang serbuk baja
sebelum pembangunan
sebelum hutang
sebelum untung
aku menyaksikan itu
dan bersaksi bisu
roman: lumar
-act. 19
Sahabat-sahabatku
yang di ladang yang malang
terus begadang memeras kerja
menanam palawija
jangan usir singkir aku
menyingkir biarkan aku ada
di lumut-lumut, tunggul rumpun
bambu yang kau tebang yang kau
jungkalkan jadi ajal
Ke mana perginya pengetahuan
tentangku tentang cahaya
bawa hifa bawa spora
yang ngempur di hutan-hutan
dari sumur waktu
ke laboratorium
kepemelihan aku bukan
si sakit jiwa
laboratorium
cairan penuh teluh
dan serangga
pasfor renta penjaga sorga?
penjaga pintu ilmu bagai ali
si pedang fikar itu
membelah rancak kegelapan acak
meremukkan jahilia
atas nama fatima yang ranum
bagai maryam kesabaran seperti aku
sang lumar hijrah ke tv
ditonton saksikan banyak orang
orang tualang baca-baca telantar
sasar rasa-rasa, benar aku
lumar yang menjelang malang
mulai hilang dari ingatan
digantikan neon-neon sama-sama
cahaya dari zaman yang berbeda
aku lumar bukan lumur
bukan hina bukan motel
tempat menginap segala bayang
bukan tumang, aku cahaya
di rimba-rimba, tak terjamah amarah
tersentuh kasih penuh seluruh
rahmatan lilalamin
penuh anwar penuh puisi
aku lumar ular-ular uwar
ubar malam hambar
seperti utar-utar perisai ular
luar kacar-kacar ijbar
terlantar terdengar kelenjar
kelenjar mimbar-mimbar
seminar lembar ghaffar
nanar putar sangkar
munkar munkar munkar
belajar gelepar lapar benar
pengantar umur jenar
getar lebar puyar kabar
siar itibar kuncar
agar-agar
Semoga tidak putus uterusmu
mendengar kabar lumar
aku yang hambar
memahami dunia memahami perkara
membaca koran-koran kemarin
melihat buaya-buaya hari ini
kekejamannya digantikan manusia
dan aku ada di situ berbaris penuh
cahaya, penuh warna di malam hari
pemimpin massa mencatat apa saja
sampah bandung sampah bandung
situ lembang hilang ditelan kabut
aku ke dalam kematian cahaya
ini dunia
seseorang datang lalu keluar
membawa aku cahaya
menggandeng, terbang
kelelawar-kelelawar
dari pohon-pohon
dari goa-goa
aku meruntuk
orang-orang terkutuk
orang-orang biduk
didapuk
jadi kera corengmoreng
berekor memarahi
ular terus mengejar
bianglala menyingkap
tabir aku cahaya
datang sebagai lumar
dari hutan damar
ujung semak-semak belukar
roman: lumar
-act. 20
Seseorang datang lalu keluar
membawa obor di tangan
mencari aku ke rumpun
bambu, keluarga biasa
antara binasa dan bahagia
layar tancep korsel
dari manakah mereka
peradaban apakah
di rambutnya
sejarah dari kampung
dari buku-buku novel
afrizal yang teduh bebas
dari pitutur tekukur
dan cakap-cakap melulu
menilis melukis lumar
di rambutmu sebagai
mahkota menyiangi bunga
aku lumar bukan yumar
mungkin senyuman mawar
aku cendawan cinta di musim
hujan, tidak menolak matahari
pesan, juga malam akrab
kyai ki hujan aku dengan
kelembaban kian akrab
aku seperti asap-asap hutang
indonesia, menyibak belukar
tembikar padahal aku sibuk
di akar-akar kayu ibu
tubuhku mengandung hifa
asal muasal dari spora
aku supa suka alfa
padahal aku punya karya cahaya
ya bagi anak-anak yang pulang
mengungsi bermain lagi
di kaki bukit merapi
Ya aku supa lumar
tak butuh klorofa
aku parasit sebelum
negeri ini benar-benar sakit
palu arit
aku ‘kan tetap bersama
merayu saku bajumu
suku katamu
agar tetap merdeka
dari segala aku
dari segala gincu
aku tak perlu
pledoi cinta
berilah hambamu
uang upah buruh
aku lumar bukan
terdampar di gigir kehidupan
jubahku musim
sorbanku angin
meramal perjalanan
racun cahaya
jika anak-anak bertanya
dan menanamkan tubuhku
yang cuaca
kuberikan cahaya
sepuas-puasnya, anak-anak
sepulang mengasuh teranak
ambil tubuhku
dibawa pulang lalu
sebelum datang mengantuk
pulas mengaji cerita
di surau-surau guru ngaji
anak-anak melempar-lempar
tubuhku ke angkasa ketawa
penuh canda udara dalam malam
yang riuh, pelataran surau
dimana kohkol dan bedug
ditalu dan tiang-tiang penyangga
mungkin hayatku yang hidup
penuh terlalu tetalu
dikandung kandang badan
dunia alam diam
anak-anak mincrak
Aku lumar yang penuh suka
tan masa malaka musim
berikut kan mencincang
tau masa angin yang ribut
ribet, ‘kan menjengkang
tubuhku, berputar-putar
dibawa pusaran keimanan
yakinkan ini bumi berkah
tuhan
Aku pencari
di sudut bumi, anak-anak
sepulang ngaji mencariku
ke rumpun pakis haji
lumut di bambu, lumut
di kayu mati
“horee...aing memang lumar!”
Dari malam aku cantik
tampak urat-uratku penuh hasrat
gelegak berahi cahaya
seperti cuping cintamu saat kemping
mendengar orang keparat
dalam bir menggeliat mabuk
roman: lumar
-act. 21
Aku lumar si kampungan
datang dari rumpun bambu
dibawa kau si wulung
di saku baju sebelum kau jadi
khatib demplon, tukang khatbah pengganti embah
kau katakan pada jamaah jagalah kehidupan
agar kau dapat berderma, agar kau dapat wisata
membolak-balik cahaya hilir mudik dalam cinta
seperti orang-orang menjaga pohon kelapa
air yang turun
di bukit batu-batu menjelang matahari surup
kau katupkan pintu gubuk
menjaga keindahan bintang
kau biarkan aku begadang memahami nafas bulan
saksi bagi lagu-lagu sangsi bagi sunyi-sunyi
sebab selalu suara kudengar atau orang-orang siar
mencari kabar rumahku kobar mencari rahasia hayatku
Aku lumar yang pemaaf pada mereka yang
insyaf, menjaga anak-anak menjaga diriku
penuh lestari seperti dewi padi ciawi tali
Aduh adah! adah mengaduh menadah cahaya
bulan serupa aku
aku di tangan melumar
menyebar keasyikan memerah malam
aku bukan jamur merang yang terlarang
untuk dihidangkan makan di meja tuan
sebab lelah kumainkan beta punya cahaya beta punya
irama di sungai-sungai cakrawala yang airnya yang batunya
asyik bercengkrama sebelum lembah memangsa
Aku lumar dalam dingin kehujanan di pintu-pintu cahaya
beranak pinak seperti sajak di tanganmu, kasih
aku lumar cacah berburu mijah bikin ulah
tubuhku menipu kaum pemuja ini dunia seolah aku
permata mereka tersaruk sibuk ke bukit bukit air
mangkak merangkak sibuk ke lembah-lembah angin
mencari kabarku, padahal aku tumbuh sembuh
sembab pula di hati mereka, cuma mereka kehilangan
sangka; aku lumar bercakap dengan semesta yang samar
angin mengigaukan kicau si burung kedasih
si burung cacing di aren-aren di emper-emper jurang
aku berteduh di saku baju muntahkan terik siang
membakarmu yang tak terbakar
pada batang dan daun singkong
pada batang dan daun pisang
pada batang dan daun laja lada tanah subur masih
cerita, tak ada rumpun bambu di sini, tapi aku menggerutu
merindukan burung cacing kunang-kunang dan kuku si mati
aku melayat duka yang gamang doa yang terhalang tiang
tembok rumah pagar petuah warna-warna putih
lautan dan angkasa
kamu berwudu barangkali
mana tempat ikhwan? katamu
dan sepatumu tersimpan
di rak indonesia raya dekat gerbang bendera
wadah-wadah celaka seorang nelfon dengan suara nyaring
marah bising adik rungsing
roman: lumar
-act. 22
Aku cuma lumar
bersyukur dikhidmati siang
bagai bulan seniman kemarin senin
daun-daun rontok
cuping kuping rontok
kecemasan warna kuning
pupur dilamar matahari
meraja hitam jadi raja
tapi aku bertahta
di saku baju dengan jadi
bayang jadikan dirimu
pula cahaya bagi jalan-jalan
wisata bagi setapak-setapak agama
seperti diriku bagi lembah waktu
bagi sungai gadang panjang
yang ngalir ke alamat laut zikir
laut pikir, sebelum lalat menginjak
nginjak wajahmu dalam diam
dalam dengkur, rangka kerangka duh!
orang sibuk lalu lalang mengungkap
belukar mencari diriku yang lumar
bukan ular aku ingin menjalar
pula membangun kubah, candi mekar
ditingkap kilat cahayanya
pada kebun-kebun pak tani
pada ladang-ladang penghuni
pada padang-padang sejati
pada tikar-tikar pengungsi
pada tenda-tenda merapi yang sunyi
aku bagikan tubuhku
aku bagai panu di tubuhmu
kadang menjadi ayah
ibu
anak
kadang mengganggu
sajak selalu aku berbiak
cahaya cahaya pesona
di malam hari semerbak
menyibak wangi nyeri
wangi luka semesta
kehilangan hulu sunyi
dimana buah-buah manggis
pernah jatuh mengduh
ke kali mati ke jejak hujan
yang garing cekungannya ada
mengandung irama
Aku kadang hilang bentuk
dalam makna tapi menjadi ada
di saku bajumu kan bawa aku
sebagai luka nyaris bulan tadi
malam yang tiris, aku tak menggubris
tirus bayang samar tapi lumar
sejati juangku sejati kesadaran
kesederhanaan mengabdi
pada ini negeri yang tak habis-habisnya
meluaskan tanah untuk ditumbuhi
tanaman baik tabungan tak baik
duh, aku tak sesali jadi lumar
ngga apa-apa sorga cahaya jadi
hidupku selama siang di dalam
hutan menjadi lain menjadi orang lain
yang bukan tentara
mungkin bala tentara
di padang pasir
yang tabah menghiba
nama-nama nuklir
jangan berperang!
aku bersama ceracau
kicau tanpa sepatumu
tanpa alasmu
aku hidup di panca roba
lumar kesayangan sang waktu
lumar keinginan sang saka
duh, terus duh terus
mabuk kata-kata ilahi...
roman: lumar
-act. 23
Tarawangsa lumarku
sarat umur sarat uzur
dimana lembur singkur
bagai tekukur
tubuhku dari hifa dunia
spora pesta pora
di suatu kesibukan biasa
antara jangkrik imitasi
dan jangkrik sejati
cuma beda dalam gerak
antara supa yang bercahaya
dan yang tak bercahaya
aku suka begadang
tengah malam
dan kau seolah bugang
di tengah malam membatang
keasyikan bayang dan mimpi
orang-orang kembali ke lupa
ke larva
ke supa
ah, siapa?
Kau bilang aku jamur
bercahaya wisata anjangsana
aku ingin jadi diriku
penerang sekitarku
jadi berkah bagimu
pada pencari suaka jalan
suka-suka mengembara
aku cahaya ya aku cahaya
aku jamur cahaya
di malam gulita
surat-surat ke galatia
galasiksa
Aku lumar yang sembahyang
sepanjang malam
bergumpal-gumpal airmata
menjadi cahaya penerang jalan
pengasuh bianglala
kancah lembah aku lumar
punya cerita sejak aku lahir
sebagai penghuni sunyi
sampai aku mati tersingkirkan
dari kehidupan
aku lumar dari egeri-negeri
dedemit menjaga adat istiadat
hutan, tatakrama cuaca
jangan ganggu sembahyangku
jangan ganggu rumahku
silahkan ambil cahayaku
roman: lumar
-act. 24
Aku lumar dari pedalaman
si jamur cahaya mengintip pulau-pulau
yang ditaburkan seperti sahabat-
sahabat yang berceceran
dimana-mana dari halmahera
merauke sampai nias
aku melihat
wajah wajah lusuh naas si penebang
kayu kurus membawa kampak
aku dibawa anak-anak mengaji di surau
dekat perigi anak-anak bersorak
padaku yang merdeka bercahaya
awas! jangan ganggu cintaku pada ini
semesta, nanti sporaku marah padamu
dan mendoakanmu jadi batu jantungmu
Aku ki lumar yang berabad-abad melamar
bintang dan malam; cahayaku menolak
matahari, sebab siang bagiku musabab
samadi memperdalam rasa menanamkan
tauhid di dalam jantung puntung bumi
Aku tak takut binatang liar karena
mereka bukan kekejaman ketimbang kuasa
istanamu yang bercakar seribu
aku cuma takut kekuasaan dari jakarta
dari penguasa yang menghiba harta hutan
pada pengusaha
demikian juga sebaliknya
di musim kampanye
aku paham akal busuk bagaimana aku
paham cuma buruk
sebab aku lumar yang bercahaya
merekam apa saja yang serupa getah getih
aku lumar dari pedalaman jiwamu
ketika kau asyik memandang
sisa-sisa bencana
Aku ingin selalu tumbuh di jiwa
orang-orang besar yang meluksi kesepian
dari balik jeruji penjara menuliskan
kemanusiaannya yang merintih
seperti cendawan salawat di gunung api
ceruk cawan menjadi cahaya di negeri
hujan. kawan yang ikut jejak, ikuti
derap langkah sajak-sajak tegap
ke pangkuannya
aku ingin selalu rindu membuka sayap-sayap
cahaya dikala gelap kau kira dusta
bukan dusta, ia cuma merahasiakan
beberapa alamat yang kau kirimi sepi
seperti bulan itu menggantung
bukanlah kekelawar
aku ingin selalu cinta, indah rosnita
di hati kaum pemimpin yang pengasih
yang membangun jalan perdamaian
tanpa memacetkan hak-hak kemanusiaan
Aku ingin selalu ada
di hati kaum penyampai
yang memilih sunyi dari amuk
dan ribut amarah
sang kabar yang tak memihak siar terik
Aku ingin selalu tumbuh
mendulang cahaya
membagi-bagikan keriangan
menghibur anak-anak nelangsa
yang tak bahagia mainan kata
membiarkan para peneliti
pahatu. mengkaji tubuhku
darahku dan gundukan
muasalku sampai habis
segala debat segala siksa
yang menusuk pikir dan zikir
Aku ingin selalu cahaya
yang mengabdi pada kebenaran
hatiku pulau-pulau yang tercecer
terlampaui
kau ikut dengan sebuah nama
dan alamat
tapi mengapa kau selalu bawa
aku ke dalam duka
pada laut yang jadi bencana
pada tanah yang tumbuhkan gempa
kau tak sanggup mengukur
menjangkau hari kelak
pada sebab musabab itu datang
ilmu-ilmu tak sampai mencukupi
cuma setitik di sibgoh lautannya
yang menyimpan berjuta-juta
riak dan gelombang
Tapi mengapa aku selalu
menggerutu pada ini zaman
pohon kalatida tumbuh
di mana-mana
kemanusiaan terkotak-kotak
terpecah belah, tercerai
berai ke dalam amuk
keinginan amarah kepentingan
roman: lumar
-act. 25
Tapi mengapa aku selalu
menggugatmu
wahai orang orang yang mempermainkan
cahaya di rumah-rumah tauhid
yang mengelabui cahaya
kian samar
seolah perbuatan sasarmu
tak membahayakan hutan
dimana aku terus ngaji
di situ, seumpama ibu
yang rindu rindangnya dunia
oleh daun-daun kedamaian
bukan peristiwa tengkar
curiga tapi kenapa
selalu aku terseret
ke dalam keasingan yang panjang
ke mana arah dunia
kiblat cahayaku tak sanggup
mengikuti
Selalu aku temukan
kitab-kitab kebencian
kitab-kitab dendam
babbab sakit hati
di buku-buku
di ruas-ruas waktu
wulung, kau bawa aku
mampir dan tak sanggup
mampir dari sejarah gugup
ke bangku-bangku sekolah
ke kursi-kursi kuliah
tapi selalu aku tiba jadi merana
depan papan tulis
ilmu pengetahuan yang kudapati
cuma cahaya bagi hidupku
untuk memahami ini umurku
teruskan menjamur mazmur
dosa-dosa pun dijemur
apa itu dosa di dalam kitab-kitab
mazmur
bayang-bayang tak cukup
hidup dan mati yang kuukir
ada airmata
ada puing-puing reruntuhan
punya cerita tenda-tenda pengungsi
gedung-gedung bekas kompeni
bikin tai dan strategi
mengapa selalu dada
yang menderita mengapa selalu
ada yang suka-suka jikalah
gempa tiba semua orang
pastikan berkata ibu
menakar harga mati
bagi dirinya sebab cinta
memang memberi
Mengapa di senjamu
aku selalu gelisah
padahal cahaya
kan tiba bagi diriku
bersahabat terang bulan
menyibak tabir takbir
malaikat berzikir
Jika engkau percaya cahaya
tolong hentikan tanganmu
untuk menuliskan sampah-sampah
membuatkan rajah-rajah
sebelum mayat
adalah dirimu wulung
Aku memang lumar
seakan sendiri payung sepi
langit selalu nangis
membuat hidupku
menjamur
ingin nangkap gelap
dan semua makhluk tau
pengharapanku itu: aku ingin
tumbuh di hati-Nya
di mata-Nya dalam senda gurau
pencaharian
ilmu pengetahuan
ulurkan tanganmu, wulung
kubalurkan cahayaku
kuulurkan gairahku ke sekujur tubuhmu
sebelum kau benar-benar uzur
mundur dari jagat tempur
roman: lumar
-act. 26
akulah lumar yang percaya takdir
ini hidup berakhir
berkembang lalu mengambang bak bugang di sungai batang
si penulis syair itu pun kian renta manja di balik titik nadir
sepi di pesisir menyisihkan sebagian waktu tuk berzikir
dari sejarah purba pun aku umur mengukir
berkembang biak bersama para biawak
para kecoak
nisan tahta nisan harta
tapi aku percaya cahaya ‘kan kekal menjangkau
semesta akal
dimana tumbuhlah mahluk adam tempat aku
mempercayakan benang-benang hidup di hatinya
usai matahari tergelincir
dan aku kembali pada pikir awal
dimana manusia ada bukan untuk si buah khuldi
bagi si sulbi
Aku jamur cahaya selalu jadi sabda
bagi anak-anak suka
sepulang ngaji tak pernah sepi selalu bercanda selalu
menarilah wahai wulung janganlah murung
bayangan seolah hidup tak pernah kan susah bersamaku
menarilah ikutilah tarian cahayaku
randai rantau cahayaku
yang gerak-gerak riak biak
mari jangan kau rungsing, wulung
singkirkan pusing menapis cinta di dulang
suara kecipak keciprat sungguh
menampar mukaku
harimau galak mati tinggalkan sesalnya
aku mati tinggalkan kesan:
sebuah pasal ketentraman
pamit mundur
ke mana aku asalnya bagai pungguk rindukan tuhan
terus bernyanyi sepanjang bulan
aku terus mengukur camar umur yang pulang
melihat kunang-kunang ke kuburan pakai celana
pak guru menjelaskan ada diriku
depan siswa-siswa sekolah
padahal aku sembunyi di anu pak gurru
asyik bersedekap jadi selir pelir