Kamis, 10 Februari 2011

esai

Alam Kita, Antara Das Sein dan Das Sollen
(rasa rindu penyair pada keindahan,
mengajak kita seksama melestarikan alam)
Oleh Lukman A Sya*


Rasa: Keindahan Alam

Mari kita simak dua buah puisi Sitor Situmorang berikut ini!

Alam Dalam Alam
(ekologi)

Kutempuh hutan negeriku
melalui titi pohon berlumut,
Seluruh sadar hanyut
ditelan arus napas alam

Di kiri kanan ngarai,
Di dasarnya desah air,
Hening seluruh margasatwa,
menyatu dalam kelima indera
terbalut arus jagatraya.

Tujuan jauh di balik sana,
Tapi selama jantung berdegup,
Pedang syair harus kusandang,
Menembus Zen di balik pandang.

(halaman 208. dikutip dari buku BUNGA DI ATAS BATU
(SI ANAK HILANG) Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1989)


Dan,

DANAU TOBA

Aku rindu pada bahagia anak,
Yang menunggu bapaknya datang,
Dari gunung membawa puput,
Sepotong bambu tumbuh di paya-paya.

Pada perahu tiba-tiba muncul sore,
Dari balik tanjung di teluk danau,
Membawa ibu dari pekan,
Dengan oleh-oleh kue beras
bergula merah.

Aku rindu pada malam berbulan,
Kala si tua dan si anak mandi
sinar purnama,
Berkaca di permukaan danau biru ---
Sebelum air mengelucak di musim kemarau.

Aku rindu pada bunyi seruling gembala,
Bergema di bukit memenuhi lembah,
Pada permainan di gua-gua batu
penuh lebah,
Kala api panen mengusik hewan
di tengah sawah.

Aku rindu. Aku rindu pada tebing
hijau,
Tempat ikan emas bercengkrama,
Di antara lumut menggeliat bening,
Seperti taman zamrud dalam impian.

Aku rindu pada batu-batu besar dan hitam,
Muntahan lahar dari perut bumi,
Pada pemandangan tua ribuan tahun,
Si gembala domba, termenung
di atas batu.

Aku rindu bau-bau di musim panen,
Gelak si tani purba membakar jerami,
Rindu pada si nelayan pulang daridanau,
Menyandang pukat dan ikan di sore hari.

Aku rindu pada suara kakak,
Memanggil aku pulang makan,
Rindu pada resah bambu di benteng kampung,

Melambaikan daunnya pada angin gunung.

Aku rindu pada adikku, yang rindu padaku,
Aku rindu bunyi palu tukang perahu,
Aku rindu lenguh sapi, pada bau kerbau,
Aku rindu, rindu suara ibu,
terkubur di pinggir danau.

Aku rindu lonceng gereja bertalu-talu,
Rindu gemanya merayap-rayap di udara,
Menyongsong malam, mengumumkan satu-satu
kematian,
Merayakan Perkawinan – serta Kelahiran,
Pada malam Natal, kisah tiga Raja
dari Timur,
Datang menghormati Anak manusia,
di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku.

(halaman 233-234. dikutip dari buku BUNGA DI ATAS BATU
(SI ANAK HILANG) Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1989)



Sungguh terasa merdu dua buah puisi yang ditulis oleh sastrawan senior Sitor Situmorang. Tata bahasa atau ungkapan-ungkapannya begitu indah. Sanggup memainkan rasa dan daya imaji. Ya, paling tidak dua buah puisi itu membawa dan mengajak pembaca pada sebuah spektrum penyadaran dan keinsyafan akan pentingnya memuliakan alam lewat perbuatan-perbuatan yang paling terpuji.

Untuk membangun dan membangkitkan perasaan cinta lingkungan, tak ada salahnya melalui puisi. Puisi-puisi yang lahir sebagai penanda kehadiran si penyair dengan alam lingkungannya secara dialektis. Betapa banyak penyair-penyair yang mengunduh diksi-diksi yang berhubungan dengan alam secara isotopis. Sungai, laut, batu, hutan, angin, hujan, ombak, langit, rumputan, dan lain-lain diakrabi penyair sebagai upaya wujud kedekatan dirinya dengan alam. Ada motif secara estetik akan eksistensi alam yang hayati lestari dan manusia yang unggul pekerti berbudi. Alam sebagai kado terindah dari Tuhan yang mahakuasa bagi umat manusia yang sadar dan punya makna. Alam telah begitu nyata memberikan rasa kedamaian dan ketentraman bagi jiwa kemanusiaan.

Betapa begitu bagus puisi-puisi realis karya Sitor Situmorang itu di mana si aku lirik puisi menyuarakan suara alam dan lingkungan hidup seolah menegaskan adanya keindahan yang maknawi mengandungi kesenangan dan kebaikan bagi kemanusiaan. Suatu pengucapan rasa estetik Sitor terhadap alam lingkungan merepresentasikan motif dan keinginan akan eksistensi alam yang sebenarnya alam. Yakni alam yang tanpa “pencemaran”.

Sebuah pandangan positif penyair Sitor yang jauh-jauh hari menekankan pada mula-mula yakni rasa dan pikiran untuk mencintai alam, kemudian diikuti oleh sebuah tindakan. Maka alam terekam dengan begitu jernih dan tanpa kompromi si penyair mengurai rasa keindahan itu dengan melibatkan dirinya sebagai si aku lirik, ekstase dengan alam. Menikmati pesona dan suasana yang ditawarkan alam sebagai ibu yang hangat memberikan rasa cinta-kasihnya yang kudus. Paling tidak ada sebuah keinsyafan yang dibangun si penyair bahwa alam ini telah memberikan manfaat secara lahiriah maupun batiniah. Dan itulah yang harus dilestarikan dengan mula-mula menguatkan “keimanan” akan penting dan bergunanya alam yang indah itu, yang lestari itu buat kehidupan dan penghidupan umat manusia.

Puisi Sitor di atas sebenarnya juga sebagai penanda kenyataan-kenyataan lain yang akan serta-merta sebagai sebuah perubahan terencana oleh kuasa manusia maupun tak terencana sesuai kehendak hukum alam. Kenyataan-kenyataan apa saja yang tak bisa ditolak itu? Adalah perubahan kenyataan alam yang berbeda dengan apa yang digambarkan Sitor itu dengan begitu puitis. Peristiwa-pristiwa sebagai ulah aktivitas kemanusiaan sebagai sebuah perubahan yang diniscayakan.

Sitor memulai dengan sebuah rekaman atas penggambaran keindahan alam yang nyata di depan matanya kala itu, kala puisi tercipta sebagai sebuah rekaman kesekarangan. Alam yang memberikan sejuta arti dan makna bagi kelangsungan ekosistem kehidupan dan peradaban manusia. Kepekaan dan mata batin para penyair dalam merekam keindahan alam yang eksotis merupakan sebentuk kesadaran yang mengilhami kemanusiaan. Betapa manusai memperoleh berkah dari alam berupa kesenangan ruhani dimana keperawanan alam laiknya kesucian yang teragungkan.

Sitor pun berusaha mencipta dan melibatkan diri dengan alam. Alam seperti hal dirinya mengandungi lirik-lirik kehidupan yang terejawantahkan. Alam adalah sumber inspirasi. Daya khayali penyair secara intuisi adalah kekuatan lain, pesona yang mengajak umat manusia untuk menghormati alam sebagai makhluk hidup yang nyata-nyata telah memberi keberkahan dan kebaikan. Alam adalah teluh jiwa bagi para pecinta keindahan. Gerak batiniah penyair tentu menginspirasi kita untuk senantiasa menjaga alam dari keserakahan dan perbuatan tercela. Artinya buat si manusia hidup, perlu adanya keseimbangan hayati dalam memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan.

Kesadaran puitik Sitor yang membawakan tema tentang alam dan lingkungan, merupakan fitrah-naluriah sebagai sebentuk kepedulian yang paling bermakna bukan semata sebagai warning melainkan penghayatan akan sublimasi perasaan terhadap objek alam yang memengaruhi pikiran jiwanya untuk kemudian berbuat bekerja lewat nalurinya untuk mencintai alam sesungguh-sungguhnya sebagai sebentuk bukan semata penyadaran melainkan keinsyafan akan lingkungan hidup yang lestari dan terbina sangat maha perlu demi kelangsungan dan harmoninya ekosistem kehidupan secara lahiriah maupun batiniah.

Tapi sesungguhnya Sitor sadar betul pada realitas kehidupan yang akan dan selalu tak berdaya diterjang iklim perubahan dan cuaca kekuasaan. Alam yang semula indah dalam pandangan penyair itu tentu akan menjadi berbeda ketika sudah diterjang nafsu keserakahan dan digoda hasrat dunia.

Das Sein: Kenyataan

Dalam konteks perubahan, banyak disinyalir para pecinta alam bahwa sains dan teknologi –selain kemanfaatgunaannya—merupakan salah satu faktor yang juga serta-merta memberikan andil besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Demi pendapatan perekonomian pabrik-pabrik didirikan lahan-lahan dan hutan dibabat dijadikan tempat pabrik sebagai suatu bentuk keserakahan. Sampah dan limbah industri menjadi liar ke mana-mana. Iklim dan cuaca tak lagi menentu. Dirasakan sebagai efek “rumah kaca” yang dapat mengganggu konsentrasi lapisan ozon. Akibat perbuatan manusia yang semena-mena. Para petani pun mengeluh karena kegagalan demi kegagalan seringkali diakibatkan iklim dan cuaca. Akibat industrialisasi, polusi udara di kota-kota besar juga sangat mengganggu pola sehat dan tata kehidupan, merubah adat-istiadat dan perilaku umat manusia.

Kondisi lingkungan hidup sedemikian parah tercemar oleh berbagai kepentingan dan nafsu kekuasaan dan keserakahan sebagai suatu kenyataan hari-hari yang acapkali disinyalir berbagai media dan para pemerhati lingkungan sebagai sebentuk ketololan manusia itu sendiri. Kemacetan dan polusi akibat industrialisasi yang tak lagi mengindahkan lingkungan tak terelakan sebagai fakta yang menjadi persoalan serius sang pembangunan. Banjir di perkotaan yang doyan datang bertandang akibat drainase yang bermasalah dan akibat minimnya daerah tanah resapan. Sampah-sampah industri pun merecoki kenyataan pencemaran sungai-sungai, baik sampah dari rumah tangga, maupun dari individu lainnya yang sungguh-sungguh tak mau peduli.

Bunga-bunga kini lebih banyak ditemukan di pasar-pasar bunga yang diperuntukan sekedar untuk hiasan atau semacam buat kado ucapan belasungkawa bagi keluarga si mati. Pohon-pohon dibonsai dikerdilkan dan dijungkirbalikkan dan kemudian akar-akarnya yang diberi daun sebagai sebuah pesudo keindahan. Sebuah logika yang jungkir balik mengubah gaya hidup pandangan masyarakat industri menjadi begitu pragmatis. Hanya memikirkan kebutuhan-kebutuhan sesaat bukan jangka panjang. Terbuktikan lumpur lapindo pun menjadi isu internasional sebagai kenyataan sebentuk keserakahan manusia yang eksploitatif. Dan menangkap ikan pun dengan cara dibom demi keuntungan seuntung-untungnya.

Perubahan pola hidup dan cara pandang dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri, menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam menyikapi lingkungan hidup. Si kuasa cenderung bersikap apatis terhadap alam akibat perkembangan industrialisasi sains dan teknologi yang menuntut untuk diujicobamaterikan. Padahal kegiatan industri, sains dan teknologi pun sejatinya mesti memiliki daya potensi yang bukan berwatak murni ekspoitatif tetapi sejatinya adalah sains dan teknologi yang ramah lingkungan.

Gara-gara watak individu manusia yang serakah, burung-burung pun kini banyak yang sudah kehilangan kebebasannya. Mereka hidup dalam kurungan sangkar, bahkan suaranya sengaja dipersaingkan dalam ajang “judi”. Sebuah kenyataan seiring nasib hutan digunduli, dibabati atau dibakar api demi dalih pengolahan dan cita-cita industri. Burung-burung indah sebagai pengendali mutu alam semesta sebagai matarantai dari suatu ekosistem kehidupan sebagai “kuncen” hutan-hutan lindung, kini kenyataannya memang sudah mampir ke pasar-pasar burung ke ajang-ajang judi, diperjualbelikan atau dipersaingkan demi sebuah kesenangan dan keisengan yang melampaui batas.

Pertanyaannya sekarang adalah beranikah kita melepaskan burung-burung itu, membiarkan mereka bebas mengembara dan “bertasbih”? Atau burung-burung itu sendiri justru apakah merasa mesra dan betah disangkarkan, diberi makan yang enak-enak tanpa mesti susah mencari, ya katakanlah ketimbang hidup di luar sangkar yang serasa susah dan terancam ditembaki atau dibakar api? Hanya sang pencipta dan nabi Sulaiman yang tahu bagaimana perasaan burung-burung itu. Yang jelas dengan disangkarkannya burung-burung itu, mereka nampaknya kehilangan kebebasannya, serasa nyanyian-nyanyiannya adalah jeritan kaum burung yang terluka. Burung-burung itu merupakan bagian hukum alam sebuah ekosistem lingkungan kehidupan yang mesti lestari.

Das Sollen: Harapan

Alam semesta telah memberikan banyak makna dan arti bagi kehidupan dan penghidupan kita. Tapi mungkin kita seringkali memalingkan mata batin dari rasa-rumasa: insyaf akan kebaikan alam kepada kita. Bagaimana alam telah begitu rupa memberikan segala kemudahan dan manfaat bagi penghidupan. Lantas, ungkapan macam bagaimana sebagai rasa syukur kita atas karunia Tuhan itu?

Sebagai makhluk religius, kita patut merenung atas kebaikan Tuhan yang menganugrahkan alam untuk kita maknai dan manfaatkan sebaik-baiknya berdasarkan pertimbangan madarat dan maslahatnya. Maka, kita patut melestarikan alam. Hati kita bersihkan. Pikiran kita jernihkan untuk menghayati dan mengamalkan gairah kerja bagaimana dan mesti apa sebaik-baiknya terhadap alam. Betapa alam semesta yang hijau bersemestakan kedamaian adalah sebuah angan-angan yang layak diwujudupayakan. Jadikan alam ini sebagai ibu yang pantas sejatinya kita cintai karena dengan segenap kasih-kudusnya telah membuat kita berada dalam kedamaian dan rasa manfaat serta tumbuh dan hidup kita berkat dukungannya jua. Alam adalah ibu yang telah mewarisi nilai-nilai luhur di mana kita dapat mengemban hidup sebagai sebuah pilihan yang berdayamanfaat.

Ya mula-mula kita membersihkan pikiran dan menjernihkan kembali kehendak pikiran dan perasaan terhadap alam untuk kemudian kita membangun jiwa solider terhadap alam. Dengan kata lain, memulai langkah dengan menginstal pikiran dan perasaan serta menyimpan file-file kepedulian terhadap lestarinya alam lingkungan. Bukan tangan yang kuasa menjaga alam melainkan sejatinya adalah pikiran dan perasaan yang padu dalam kesadaran.

Alangkah indahnya kita yang mengaku sebagai makhluk religius, berpulang pada pemahaman dalil-dalil agama (anti kekacauan) di mana semua agama tak menghendaki akan kegiatan kuasa tangan untuk mengeksploitasi bumi secara rakus berlebih-lebihan tanpa memperhitungkan untung dan rugi bagi kelangsungan kehidupan itu sendiri.

Sarvo vai tatra jivati, gaur-asvah purusah pasuh
Yatredam brahma kriyate, paridhir jivanaya kam.
(Atharvaveda.2.25).


Artinya, siapa saja, manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan akan hidup dengan selamat, kalau kebersihan atmosfir dipelihara dengan segala cara untuk tujuan hidup.

Semua agama (anti kekacauan) selalu menyarankan akan pentingnya kita menjadi pembina dan pelestari lingkungan hidup. Namun yang menjadi persoalan sekarang sebagai renungan lebih tepatnya sebagai gugatan adalah seberapa tertanam dalil-dalil, perintah-perintah agama itu dalam sanubari kita bukan semata sebatas pengingatan atau peringatan melainkan sebagai sebentuk hal ‘kegiatan aksi” yang segera dibuktinyatakan.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [QS. Ar-Ruum (30) : 41]

Para kiyai seringkali mengutip ayat itu. Pertanyaannya sekarang sebagai sebuah renungan. Seberapa peduli para kyai merealisasikan konsep itu untuk melestarikan alam? Apakah mereka hanya sebatas teks wacana saja sebagai anjuran basa-basi? Seberapa munafik mereka? Dan seberapa jujur mereka? Apakah mereka para kyai yang mendakwahkan dalil itu tidak berbuat yang menguatkan akan sebuah tindakan pengrusakan lingkungan dengan misal melakukan praktek kongkalikong dengan perusahaan-perusahaan besar yang anti lingkungan (termasuk perusahaan minuman keras)? Apakah para kyai menjadikan dalil itu sebagai dalih untuk yang padahal mereka mencari keuntungan materi kekayaan baik langsung maupun tidak langsung dari kegiatan mendukung perusahaan besar yang doyan merusak lingkungan itu? Ini sebagai renungan saja, bukan fitnah.

Maka jika para kyai yang demikian yang sudah bertindak gugup dan kacau secara tak langsung telah merendahlemahkan posisi Tuhan dan nabi sebagai pembawa kedamaian. Dalil agama itu sejatinya dijadikan sandaran kekokohan sikap kita (siapa pun kita) untuk benar-benar peduli lingkungan. Peringatan dalil itu perlu diimani dengan sikap penuh kesadaran dan keinsyafan.

Kegiatan yang bersifat sains dan teknologi penting diselaraskan dengan kehendak dalil-dalil agama. Sains dan teknologi tak perlu merasa berdosa, tapi sains dan teknologi perlu disepadankan dengan masa depan umat manusia. Semua agama tentu menentang segala bentuk pengrusakan lingkungan dan pencemaran alias polusi.

Simpulan

Yang harus kita perbuat dalam rangka menjaga lingkungan hidup kita agar tetap terpelihara secara bijaksana dan terberdayakan secara maslahat, adalah kita perlu mengubah pola pandangan kita terlebih dahulu atau menguatkan pemahaman yang sudah ada tentang pentingnya melestarikan lingkungan. Bahwa betapa pentingnya kita berbuat melestarikan lingkungan hidup terutama pada sikap kita terhadap alam semesta di mana kita hidup dan dihidupi. Artinya adalah pembenahan dan penataan ruang pikiran dan perasaan kita semacam katakanlah sebuah “restorasi” untuk salawasna mengukuhkan rasa cinta terhadap lingkungan.

Mari kita memulai dari diri kita sendiri. Mari kita insyaf dan bijaksana terhadap lingkungan sendiri! Bermula dari kesadaran itu untuk kemudian bagaimana menciptakan generasi-generasi yang memahami betapa pentingnya alam bagi masa depan. Generasi yang penuh harga, yang sadar lingkungan. Contoh kecil, seberapa banyak orang yang benar-benar sadar membuang sampah pada tempatnya? Marilah memulai dari hal kecil, melakukan konservasi kecil-kecilan. Memberi bimbingan kepada anak-anak agar selalu sadar mesti solider terhadap alam di mana alam pun secara simbiosis-mutualisme akan berbuat baik juga demi kelangsungan masa depan bersama.


Tak ada yang sulit untuk mengubah kebiasaan jelek seperti kurang peduli pada kebersihan lingkungan, selama ada kemauan menjadikan diri sendiri kokoh sebagai pelaksana sekaligus pembina. Seterusnya, mendidik anak-anak kita untuk ramah terhadap lingkungan. Lalu aktif menyebarkan sikap positif terhadap lingkungan baik secara person to person maupun melalui komunitas-komunitas. Suara-suara ramah lingkungan, corong-corong kepedulian sejatinya terus digemakan dan dijayakan sebagai “dakwah” kemanusiaan.

Memang untuk mengembalikan lingkungan hidup dan alam pada keberdayamanfaatan yang perlu dengan rasa solider yang kuat dan tak saling mencedrai, menodai dan mencemari -- yang justru saling menguntungkan-- diperlukan pembenahan berbagai sektor: budaya, ekonomi, sosial, pemerintahan, sains dan teknologi serta kebijakan pemerintah menyangkut regulasi dan sanksi bagi si perusak alam dan lingkungan. Namun upaya melestarikan alam lingkungan melalui berbagai sektor itu akan sia-sia kalau mula-mula tak tumbuh dari itikad diri sendiri. Kalau mula-mula tak tumbuh dari sendiri, nantinya ditakutkan hanya akan menjadi sebatas basa-basi belaka atau seperti para kyai yang sekedar menjual dalil berkedok mencari keuntungan.

Kita sebagai makhluk janganlah menjadi makhluk yang egois yang mementingkan kepentingan “kesekarangan” dan nafsu belaka. Kita perlu memikirkan generasi yang akan datang jangan sampai alam sebagai bagian dari lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan energinya kita habiskan. Lingkungan kita camarkotorkan. Generasi yang akan datang adalah generasi penerus dan pewaris yang mesti beroleh selamat dan manfaat.

Ada pepatah dari si anonim. “Tanamlah pohon hari ini, meskipun kau tau esok adalah hari kiamatmu!” Artinya pepatah tersebut mengandungi spirit untuk “hidup sebenarnya hidup” dan sebagai inspirasi kuat untuk menghormati hari depan. Bahwa apa yang ditanam hari ini sangat berguna bagi hari esok sebagai tanaman keberkahan. Tak peduli sebagai si penanam mati secara “jasad” tetapi jasa kebaikannya bermanfaat mengkonservasi kehidupan dan kemanusiaan. Ya, adagium itu merupakan mindset bahwa dalam hidup kita sejatinya adalah untuk bermanfaat bagi apa, siapa dan bagaimana pun hari-hari selanjutnya.

Kerja belum selesai belum apa-apa, kata sastrawan Chairil Anwar.

######

*) pemerhati sastra dan lingkungan hidup