Rabu, 18 Januari 2012

sajak Lukman A Sya

Kegiatan Penting Mencabuti Bulu Hidung

Ini penting paling tidak buat kang Midun
si pedagang nasi uduk di emperan gedung parlemen
Mencabuti bulu hidung
Midun tak ingin pelanggan kecewa
gara-gara bulu hidung yang ranghok keluar
mengganggu selera rasa lapar orang-orang gedung itu

Bulu hidung di hidung kang Midun
seperti para anggota wakil rakyat
tengah rapat
menyoal uang anggaran
membuat bi Enih jijik
tak jadi mesan nasi sepincuk

kang Midun sadar
pengalaman adalah tuhan yang paling baik
maka esok hari di subuh tiba dalam terang lampu
kang Midun bercermin
mula-mula mencabuti bulu hidung
dengan ibu jari dan telunjuknya
lalu sia-sia. Cuma sakit sampai berurai air mata
terus mencoba dan terus mencoba
kang Midun ingin membuang bulu-bulu dalam hidungnya
Dan berhasil.
Banyak pelajaran dapat diambil hikmahnya
kegiatan penting mencabuti bulu hidung
sebelum berangkat kerja
berangkat sia-sia
10 persen dari APBN bisa dianggarkan
untuk kegiatan mencabuti bulu hidung para dewan
Ini penting, kata kang Midun
sambil berbisik di telinga saya:
jangan bilang-bilang nasi uduk ini pakai bulu hidung istri saya
biar enak rasanya, biar enak empotnya

2011



Sajak Lukmanasya
Pernel

aku rela engkau beri aku tahi
aku engkau kencingi
aku kan setia menjadi selimut bagi sunyimu,
ucap pernel pada si bayi

aku tubuh dalam tubuhmu
aku kehangatan dalam bening cintamu
jangan hianati aku
aku rela. Aku rela demi hidupmu
kelak jika kau dewasa
jadi anggota dewan atau jadi sopir metromini
sama saja
kenanglah aku
si lampau yang membuatmu sukses
dalam kehangatan bumi

2011

cerpen Lukman A Sya

Kecoa-Kecoa di Kantor Sekolah Kami

Hari selasa. Semester Genap. Pukul 13.00 WIB dijadwalkan ada rapat. Nampak seperti biasa ada kesibukan kecil di kantor. Pak Jaja Fisika yang juga menjabat bendahara rutin sedang khusuk depan laptopnya. Keningnya berkeringat. Ia cuma punya tenggat waktu sampai hari ini untuk menyelesaikan pekerjaan membuat laporan akhir semester. Besok Irjen akan datang menyambangi sekolah kami, memeriksa tentunya. Yang diperiksa tentu bukan masalah KBM semata, biasanya yang lebih urgen masalah keuangan atau pendanaan. Dan hal itu tentu menyangkut kebendaharaan. Maka Pak Jaja sebagai bendahara rutin sungguh sangat sibuk menyiapkan berkas laporan yang pastinya akan ditanyakan. Ketar-ketirlah pak Jaja yang sepertinya akan lebih rileks jika ditanya dua malaikat penjaga kubur, Munkar dan Nakir. Toh pak Jaja termasuk guru yang rajin ibadatnya, kelihatan dari keningnya yang ada bekas hitamnya. Nah kalau ditanya ini itu oleh Irjen, wah kata pak Jaja ribetnya minta ampun, harus rinci.
Pak Rohman bendahara BP3 juga di mejanya nampak sibuk menghadapi laptopnya. Ia mendapat teguran dari pak kepala tentang laporan BSM yang melewati tengat yang semestinya sudah diserahkan ke Diknas hari ini. Wajahnya agak kusam dan kuyu. Ditambah lagi juga ia mesti menyiapkan gaji untuk guru honor yang ditekankan pak kepala agar sedapat mungkin diprioritaskan bayarnya di awal bulan jangan dipertengahan. Pak Windha juga duduk di mejanya. Sebagai Wakil Kepala Bidang Kesiswaan ia juga dituntut mematangkan persiapan anak-anak OSIS yang akan menyelenggarakan PEKAN KRETIVITAS SISWA yang tiga mingguan lagi akan diselenggarakan. Ia, seperti mengetik sesuatu. Entah apa yang ditulisnya.
Pak Bagus duduk santai menghadap laptop. Ia senyum-senyum sebentar. Kemudian menghisap rokoknya. Ia seperti sedang asyik surfing ke alam maya. Mungkin ia lagi nge-net. Pak Ade guru komputer yang tampan terlihat sedang terlibat percakapan dengan pak Dadan, rupanya menyangkut laptop Pak Dadan yang sedikit ada trouble.
Sementara Bu Dian, Bu Deti, dan Pak Karwandi, Pak Mursyid, pak Yuyus lagi duduk santai di sofa depan tv tepatnya dipinggir pak Winaja yang sedang khusuk bekerja.
“Ayo ah ke kelas yang ada jam, istirahat sudah tuh . Sekarang sudah masuk jam pelajaran. Lihat tuh Jam!” Sambil berlalu menuju ruang kelas pak Uloh guru Matematika yang juga menjabat wakil kepala bagian Kurikulum menunjuk jam mengingatkan waktu istirahat sudah habis.
Pak Maman Badruzzaman alias kepala sekolah belum menampakkan dirinya. Katanya ia tengah menjemput tamu Irjen yang ke kota S. Tapi pastinya pak Maman juga datang hari ini setelah dzuhur katanya. Ya tamu Irjen itu menginap di kota kabupaten yakni di kota S, soalnya jarak ke sekolah kami dari kota kabupaten lumayan jauh sekitar 93 kilometer berada tepat di kecamatan yang sebenarnya masih alamnya alam pedesaan.
Pak Haji Eman segera menyusul pak Uloh. Yang duduk di sofa masih asyik bercengkrama seolah tak hirau, padahal yang aku tahu mereka ada jam pelajaran, sekarang. Sementara, aku duduk di barisan meja tengah. Sesekali melirik ke meja bu Desti. Bu Desti tak ada jam hari ini sebenarnya. Cuma ia biasa ngambil gaji honor dari pak Rahmat yang hari ini diberikannya. Jadi ia datang ke sekolah dan mungkin ada urusan lain saja termasuk menyelesaikan RPP yang belum ia serahkan. Ya, kadang-kadang aku sering saling mencuri pandang dengan Bu Desti. Dan aku tahu bu Desti juga demikian. Tapi sungguh di antara aku dan bu Desti tidak ada apa-apa. Aku tahu anak-anak sudah kadung tahu gosipku. Ada guru bahasa Indonesia pacaran dengan guru sosiologi. Hmmm, ada-ada saja anak-anak. Mentang-mentang aku dan bu Desti belum menikah.Ya, gara-garanya juga aku pernah membaca puisi berdua dengan bu Desti ketika mengadakan acara tribute to Rendra saat wafatnya Rendra tanggal 06 Agustus 2009. Dan itu awal kedatanganku di sekolah sebagai pengajar sastra Indonesia dan ditunjuk menjadi pembina sanggar sastra. Tapi ya apresiasi anak-anak dan juga sebenarnya guru-guru yang sering kali menggoda aku dengan bu Desti bisa saja menjadi doa. Ya kalau aku sih amin-amin saja. Entah kalau bu Desti. Tapi kelihatannya bu Desti juga paling-paling senyum-senyum saja apabila digoda guru-guru yang lain. Mudah-mudahan senyumnya itu juga doa. Entah doa apa.
Tapi percayalah, yang ingin aku ceritakan sungguh bukan tentang “kegiatan” guru-guru termasuk bu Sosiologi yang senyumnya indah itu. Bukan itu.Percayalah demi kebersamaan dan keutuhan sekolah, aku tak akan membuka aib sendiri. Aku percaya semuanya dalam proses pembelajaran dalam segala hal. Yang ingin aku kisahkan dan hal ini yang sedang aku teliti adalah tentang kecoa-kecoa yang selalu datang di malam hari dan khusus ke kantor saja datangnya, ke ruangan lain semisal ruang kelas dan LAB, mereka tak datang. Dan celakanya selalu mengganggu tidurku. Mencoba masuk ke selimutku, bahkan pernah masuk ke celana panjangku waktu tidur. Sontak saja aku berjingkrak-jingkrak tengah malam seperti sedang bermain basket saja.
Aku percaya kecoa-kecoa itu bukan tamu semacam Irjen yang punya kapasitas untuk memeriksa. Kecoa ya kecoa saja. Sejenis binatang yang paling aku merasa jijik dengan mereka. Terutama baunya. Ah, pokonya aku tak suka dengan kecoa.
Mungkin bagi guru-guru yang lain kecoa-kecoa tersebut bukan masalah. Tapi buatku sungguh masalah. Terutama aku yang sering ngerek di kantor alias jadi rektor. Tentang kecoa-kecoa itu bahkan guru-guru yang lain menanggapinya santai saja ketika aku ceritakan kepada mereka di waktu senggang. Mereka juga bilang kecoa-kecoa itu dari dulu juga selalu banyak di kantor, tapi kalau sudah terbiasa bukan masalah lagi. Biasa saja. Jangan terlalu memikirkan hal yang tak penting. Demikian kata mereka.

***

Malam. Aku berhasil membunuh enam ekor kecoa malam itu. Aku masukan semuanya ke keranjang sampah. Yang seekor lagi masih nampak sekarat seperti tengah merapalkan puisi mantra minta tambahan nyawa yang lebih nyawa lagi.Sebenarnya ada perasaan lain di dalam hatiku.Perasaan atas kesadaran yang sesungguhnya bukan pembunuh. Ada perasaan menyesal. Kenapa aku tak memaafkan kecoa-kecoa itu? Tapi kemudian teringat pepatah ibu tentang kecoa yang apabila mengencingi bibir, bibir akan bengkak dan bicara pun jadi tidak enak, malu dilihat, apalagi dilihat bu Desti sementara si kecoa akan berlalu dengan perasaan tak berdosa.
Dua helai kumis lebih tepatnya radar di kepala si kecoa yang seekor itu, yang masih meregang nyawa itu bergerak-gerak, sepertinya tengah menarikan lagu kematiannya. Apakah aku guru bahasa dan sastra Indonesia yang kejam? Aku bertanya pada diriku sendiri. Jika benar aku ini seorang pembunuh yang kejam, betapa teganya diriku. Kepala-kepala dan tubuh-tubu kecoa-kecoa itu pada pengsret kena gebuk gagang sapu. Tapi ibu benar tentang kencing kecoa yang beracun dan berbahaya. Aku tak ingin bibirku bengkak. Sementara besok aku ada jam pelajaran. Apa kata murid-muridku tentang bibirku. Pasti mereka menggodaku katanya mungkin bekas mencium bibir bu Desti. Maklum anak-anak sekolah jaman sekarang terkadang berani-berani mencandai guru-gurunya demi keakraban yang tentu bukan pembangkangan atau ejekan. Begitulah pembelaanku atas perbuatanku yang biadab setidak-tidaknya biadab menurut bangsa kecoa. Pastinya juga kecoa-kecoa ingin mendemoku, melakukan balas dendam kemudian memenjarakanku dalam ketakutan dan gangguan yang menggelisahkan.
“ Begitulah, Pak, di kantor sekolah kita banyak kecoanya. Apalagi Bapak guru baru kan di sini. Pasti para kecoa itu mengganggu Bapak. Tapi anggap sajalah perkenalan mereka dengan Bapak.” Pak Entik, satpam sekolah suatu malam pernah mengatakan begitu saat aku mengeluhkan padanya tentang balatentara kecoa di sekolah yang datang tiap malam.
“ Bisa jadi, Pak. Tapi semalam aku telah membunuh enam ekor kecoa, Pak. Tidurku tak begitu nyenyak makanya. Diganggu terus. Bahkan kecoa-kecoa bertambah banyak saja berkeliaran.”
“ Lebih baik Bapak menghindari kecoa-kecoa itu daripada membunuhnya. Semakin banyak yang jadi korban pembunuhan, akan semakin banyak kecoa-kecoa berdatangan. Mati satu tumbuh seribu, ibaratnya, Pak.”
Kemudian pak Entik bercerita atas kegagalannya mengusir kecoa-kecoa dari kantor sekolah. Yang katanya kecoa-kecoa itu hanya banyak berkerumun di kantor sekolah dan tidak di ruang kelas. Menurut pengakuan pak Entik, ia tidak berahasil mengusir kecoa-kecoa itu dengan kapur barus, atau pembasmi kecoa. Kecoa-kecoa itu tanpa permisi selalu datang tiap malam hari, baik di musim kemarau maupun hujan. Maka anjuran pak Entik katanya lebih baik lampu jangan dimatikan. Katanya kecoa-kecoa kalau terang lampu agak malu-malu dan mudah saja mengusirnya soalnya kelihatan. Logis juga. Sebaiknya kata pak Entik memakai sleeping bag untuk tidur biar aman dari gangguan kecoa yang tiba-tiba akan menyusup. Kalau pakai sleeping bag paling merayap-rayap di luar tak mengapa.
Pak Entik katanya memang pernah semacam melakukan penelitian kecil-kecilan untuk mencari sumber datangnya dari mana kecoa-kecoa itu. Masih menurut dugaan pak Entik bahwa kecoa-kecoa itu dari lubang-lubang pembuangan air di toilet. Tapi setelah ia buktikan, kecoa-kecoa itu tidak datang dari lubang-lubang itu seolah datang dari alam kegaiban saja, tiba-tiba ada.
Memang banyak hal yang diobrolkan dengan pak Entik ketika itu menyangkut kecoa-kecoa di sekolah, sampai tentang hal-hal yang juga menyangkut masalah lainnya seperti gajinya yang dua ratus ribu perbulan perbulan yang untuk mencukupi kebutuhannya ia dan keluarganya diberikan keleluasaan untuk membuka kantin sekolah. Banyak hal yang kami bicarakan, juga tentang kepala sekolah.
Berkat Pak Windha aku diterima mengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Pajampingan. Meski statusku masih sebagai guru honor, tentu aku bangga paling tidak keputusanku untuk pulang tidaklah sia-sia.Pak Windha yang menjabat wakil kepala bidang kesiswaan merupakan teman semasa kuliah di Bandung dulu. Pak Windha sudah PNS, dan semangat kemudaannya dapat diandalkan untuk mengembangkan sekolah. Aku tahu, tanpa pak Windha tak mungkin sekolah tempatku mengajar tersebut mendapat nilai akreditasi A dan tentu saja kekompakan guru-guru lainnya yang dengan sungguh-sungguh bekerja. Itu pula aku tak malu berteman dengan pak Windha. Dan pak Windha bukan tipe orang yang apabila sudah sukses kemudian melupakan teman seperjuangannya. Pak Windha masih ingat masa-masa dimana kami sering turun ke jalan menentang rezim yang berkuasa kala kuliah dulu. Hal yang membedakan pak Windha denganku adalah selain tentu nasib ya juga keputusan pak Windha yang memutuskan segera pulang ke tanah kelahiran yang kebetulan pak Windha sekampung kelahiran denganku. Jadi sewaktu aku kuliah dia ya kuanggap sebagai saudara. Sementara aku memang belum pulang kala itu masih sibuk dengan urusan-urusan hobi dan pengembaraanku, katakanlah.
Atas desakan orang tua kemudian aku memutuskan untuk pulang, selain tak ada yang menjadi tumpuan yang dituakan di rumah, mungkin juga aku sudah merasa saatnya pulang.
Adapun sekolah tempatku mengajar memang tidak begitu jauh dari rumahku tapi ya aku memang sebagai bujangan ingin tidur di sekolah seseringnya. Biar memudahkan segala sesuatunya.
“ Bagaimana tidurnya semalam, diganggu kecoa-kecoa,tak?” Pak Windha menyapaku saat dia datang pagi-pagi benar ke sekolah sebelum anak-anak dan guru-guru lain datang.
Aku tersenyum saja menanggapi sapaan hangat pak Windha. Pak Windha datang pagi-pagi mungkin ingin memastikan aku memang benar-benar menginap di kantor sekolah untuk yang pertama kalinya. Tadi malam sebenarnya aku sms pak Windha, mengadukan perihal kecoa-kecoa yang mengganggu kenyamananku tidur di sofa, kecoa-kecoa itu seperti ingin merebut impian-impianku.
“ Di sekolah ini memang banyak kecoa. Pendatang baru seperti kau yang baru tandang pasti diganggunya. Ya anggap saja perkenalan lah, hehehe…”
“Aku membunuh enam ekor kecoa tadi malam.” kataku.
“ Wahh, sebaiknya kau tak usah membunuh kecoa-kecoa itu. Kau tidur di atas meja saja terus pakai sleeping bag.” lalu pak Windha mengatakan apa yang sebagaimana pak Entik satpam ceritakan. Pak Windha juga mengatakan apabila kecoa-kecoa itu dibunuh bukannya berkurang tetapi malah bertambah banyak.Seterusnya pak Windha semacam memberikan nasehat kecil padaku agar bisa membiasakan diri dengan hadir-hadirnya kecoa-kecoa itu dan bisa menjadi sebagai sahabat dikala kesepian setidak-tidaknya ada kegiatan tambahan selain mempersiapkan RPP dan KBM untuk mengajar esok hari yakni kerja diselingi has-hus has huscrussscrasssss…suara mulut mengusir kecoa. Jangan dibunuh sebab kecoa makhluk tuhan yang dicintainya juga, kata pak Windha diiringi tawa.
Begitulah pak Windha berkata paling tidak yang dapat aku resapi adalah agar aku tabah menjadi guru.
“ Ya pokoknya bersabarlah. Kau banyak kemampuan dan potensi untuk memajukan sekolah ini terutama menjadikan anak-anak termotivasi menulis. Jadikan saja kecoa-kecoa itu sebagai inspirasimu! Hahaha…”
Selanjutnya pak Windha menceritakan akan datangnya kepala sekolah baru alias pimpinan baru yang sebelumnya di jabat PJS selama enam bulan selama kekosongan jabatan karena kepala sekolah yang dulu pensiun.
Benar saja besoknya muncul seorang lelaki kira-kira berusia 50 tahunan turun dari bis umum. Aku mengira dia bukan kepala sekolah baru melainkan tamu biasa saja atau wali murid yang datang ke sekolah karena dilihat dari cara berpakaiannya juga tidak menampakan ia sebagai seorang kepala sekolah yang katakanlah legeg. Bajunya juga sederhana bahkan aku lihat ada bekas tinta pulfen di sudut saku bajunya. Kepalanya tak berambut. Tapi wajahnya bersih.Baru setelah aku tahu itu kepala sekolah baru, aku menyalaminya dan memperkenalkan diri sebagai guru baru.
Ternyata dia nginap di kantor. Dan di kantor cuma kami berdoa yang nginap malam itu, biasanya pak Rendi dan pak Abdullah suka menginap.Tapi kebetulan malam itu tak. Saat aku masih nonton televisi, tiba-tiba ia menyelonong menghampiriku, lalu duduk di sampingku.
“Belum istirahat, Pak?” aku membuka percakapan.
“ Belum.” Jawabnya pendek.
“ Kenapa? Diganggu kecoa, Pak??” Tiba-tiba aku bertanya sekenanya saja.
Dia tertawa.
“Wah, ia banyak kecoa.”
“Hmmm…rapat dinas pertama besok, bagaimana kalau tentang kecoa-kecoa saja ya, Pak?”
“Hahaha... Bisa saja kita rapatkan besok! Hahaha… Ya, kecoa-kecoa di sekolah mana pun akan selalu ada.”
Aku senang dia ternyata bisa diajak bercanda meskipun sebenarnya pertanyaan tadi, semacam pertanyaan nekat saja alias spontan.
Ia ternyata kepala sekolah yang akrab yang coba tak mengambil jarak dengan bawahan.
Malam itu kami banyak ngobrol ke-sana ke mari bahkan sampai jam 12 malam kami masih belum tidur. Dari obrolan aku jadi tahu kebetulan ia juga selain sebagai yang diberi kepercayaan sebagai kepala sekolah, ia merupakan guru bahasa dan sastra Indonesia. Bahkan ia penyuka sastra. Malam itu kami kemudian terlibat percakapan mengenai buku-buku sastra mulai dari karya-karya Pramudya Ananta Toer sampai film “Perempuan Berkalung Surban” dan “Laskar Pelangi”, tak lupa kami bahas. Entah dia sambil ingin ingin mengukur kemampuanku atau berdialektika saja tukar wacana sastra. Yang jelas dia penuh simpati. Itu kesanku. Pokoknya yang jelas kami banyak ngobrol kesana kemari termasuk pengalaman dia waktu jadi seniman di Taman Ismail Marzuki Jakarta ketika ia masih menempuh studi di UIN Jakarta. Katanya ia sempat berguru sastra pada Syu’bah Asya. Dan ia juga tahu siapa diriku.
“Jadi begini, Pak ,tentang kecoa-kecoa itu ada beberapa kemungkinan datang dan perginya itu. Pertama, mereka selalu datang di malam hari secara ajaib tiba-tiba sudah berkeliaran saja dan perginya juga secara gaib sudah tiba-tiba tak ada entah pada ke mana.Maka yang harus kita teliti dan telusuri di mana barak mereka sebenarnya? Apakah mereka ingin menjadikan kantor sekolah ini sebagai ladang mendapatkan keuntungan bagi mereka? Paling tidak mereka bisa mendapatkan remah-remah basi yang mungkin ada, bekas makanan misalnya. Jadi, kecoa-kecoa harus diteliti baik secara mistis maupun ilmiah. Kedua Pak, di sebelah sekolah ini ada sebuah bangunan yang sudah lama belum selesai-selesai juga pengerjaannya. Yaitu sebuah bangunan masjid kecamatan. Katanya meskipun kucuran dana terus-menerus digelontorkan tapi itu pengerjaannya tak rampung-rampung. Nah, jadi diasumsikan kecoa-kecoa itu datang dari bangunan yang sudah hampir “busuk” itu akibat pengerjaan yang terkatung-katung. Artinya para kecoa ingin mengabarkan kepada sekolah kita ini bahwa ada dan telah terjadi penyimpangan aliran dana untuk pembangunan masjid itu. Kita sebagai kaum akademisi dituntut untuk peduli dan kritis! Ya semacam kecoa-kecoa itu ingin menggugah rasa empati kita dengan terus-menerus mengganggu jam tidur kita. Kita untuk terjaga!
Ketiga,…”
“ Ah, seperti sedang demo nih! Hahaha..” Pak kepala memotong pidatoku.
“Begini sajalah…” Sambungnya.” Anda buat sekarang sebuah cerita pendek tentang kecoa-kecoa itu Tuliskan semua itu dalam bentuk fiksi, coba! Terus ikutkan di lomba menulis cerpen, kalau cerpen Anda masuk juara, akan saya berikan hadiah menarik dan saya berjanji akan mengadakan rapat dinas khusus membahas kecoa-kecoa di sekolah kita sambil membahas cerpenmu itu! Saya tunggu karyanya!Hahaha…”
Lalu pak kepala beranjak ke ruang tidurnya. Dan sementara aku masih juga terkekeh-kekeh.
Malam pun seperti ibu yang kesepian.
****
Kamis. Aktivitas seperti biasa. Pak kepala ada. Terdiam seperti biasa. Ia duduk sambil menggerak-gerakan tangannya. Ia termasuk kepala sekolah yang tak punya mobil pribadi. Dari rumahnya yang berada di kota kabupaten S dia naik Bis saja. Dia lelaki bersih katanya. Kini, wajahnya nampak cerah tidak seperti waktu rapat kemarin. Guru-guru yang ada jam pelajaran sudah memasuki ruang kelas. Sementara aku masih duduk meski ada jam pelajaran. Dan, Irjen dari Jakarta sudah kembali tentu saja diberi bawaan seperti gula merah dan beras ketan sebagai oleh-oleh. Hampir penuh mobilnya. Hasil pemeriksaan Irjen, alhamdulilah sekolah kami cuma diwajibkan membayar denda pajak guru-guru PNS yang tahun lalu tak disetorkan yakni sekitar Rp. 18.560.075,.
Ada sekolah lain di kecamatan lain katanya harus mengembalikan uang negara sampai seratus juta rupiah dan ada yang hampir 500 jutaan. Wow! Yang jadi pertanyaanku pada Irjen sebenarnya apakah kecoa-kecoa di sekolah kami juga wajib dibayarkan pajak hidupnya perekor? Berapakah pajak kecoa perekor? Masyaallah! Bayangkan kalau kecoa-kecoa itu mesti dibayarkan pajak juga. Wah, bisa tak terbayar tuh gaji guru-guru honor!
###
*lukman a sya adalah guru madrasah aliyah negeri jampangtengah sukabumi Jawa Barat