Kamis, 27 September 2012

Puisi



Puisi Lukman Asya
Upacara:Para Puisi

Juga para puisi berupacara 
seperti awan-awan itu berbaris mengandungi hujan 
menghormati angin dan cakrawala
para puisi menghormati siapa merayakan apa 
berbaris menghadapi berbagai arah dipenuhi ingatan dan perasaan
dan kata-kata penuh pesan atau nonsens 
seperti pucuk-pucuk pohon itu yang penuh kembang yang penuh keindahan
merayakan kebebasan sambil menghirup chlorofil-chlorofil 
yang disediakan semesta.
Begitulah para puisi seperti manusia juga yang terpesona 
mendengar kulik elang atau hembus angin atau hujan
dalam jiwanya bersedekap segala rasa segala ketakjuban 
pada keanehan dan keajaiban yang tak terduga-duga
mengandungi berkah doa-doa dari dupa atau kemenyan 
atau dari sesaji bumi yang lain seperti kecemasan dan ketakutan
dan lagu-lagu parodi untuk sebuah kekuasaan 
yang tak semestinya mengajarkan hipokrasi.
Ada tangan-tangan pada puisi, juga hidung dan telinga 
dan mata yang terpasang tanpa ragu menangkap segala senandung
menyaksikan sahadat awan-awan yang disisir angin 
dalam upacara khusuk menjalani sebuah pementasan
pada ini dunia, pada ini ibu bumi yang bersedih hati mengapa 
pesan-pesan tak pernah merdeka
seperti ada kelelawar para walet dan burung-burung 
yang mulai merasuki pikiran kata-kata
menjadi puisi juga yang terbuka pada segala 
kemungkinan gelap atau cahaya

Juga para puisi berupacara seperti ujung jari-jemariku 
mengetikkan cinta yang sebagai si kakek tua



Puisi Lukman Asya
Lima Rangkai Puisi tentang Abdan

-          mata
Angin yang besar membawa awan-awan
entah mau dibawa ke mana atau mau dikumpulkan di pojok mana
pucuk-pucuk daun dan bunga randu melambai-lambai
dibelai angin dengan penuh perasaan ibu
langit yang luas berairmata juga atau dengan kata lain hujan
ya hujan menggenang di sudut-sudut matanya yang lebar
menangisi kegembiraan dan rasa kesakitan.
Begitulah mata Abdan memandang mungkin penuh sangka
mungkin penuh tanda tanya. Berarti segala keheranan melandanya
terbata-bata membaca isi dunia tapi mungkin gagal menerka sebenarnya

-          telinga
Kira-kira yang tertangkap selain deru itu apa
yang membuat Abdan terperanjat dengan mata terbelalak
mungkin suara bentak ibunya, atau canda suara si bocah Sabik
boleh jadi ada suara yang membimbingnya
semacam bisikan malaikat atau tuhan yang mahaperencana
tengah menghitung-hitung kemungkinan takdir di kalbu Abdan yang teduh
sepasang telinga Abdan yang damai mendengar apa saja
juga alam yang rusak dan tangan-tangan yang sibuk mengukir
waktu dan keculasan.Telinga yang mendengar segala rasa
segala sesuatunya terbawa kelak seperti adzan
yang diperdengarkan si bibik saat lahir mengucap tabik

-          mulut
Mulut Abdan membawa gambar senyum dan gambar tangis
dua bibirnya yang merah seperti kuas dan elak-elakkannya
adalah perasaan. Tahukah Abdan,hanya senyum dan tangis
bahasa ia meminta pada ibunya, juga ketika ada burung terbang
ingin ia menangkapnya tapi tak kausa ia kelojotan
bergerak-gerak badan dan jiwanya
Mulut Abdan yang pandai bilang oak,mengerut melebar
begitu megah seperti sebuah istana yang tak akan lagi
terjamah kita—para kaum dewasa
Dalam kantuknya,mulut Abdan mengatup menyimpan suara
suara yang kelak akan diledakkannya
sebagai bukti atau bakti kecintaannya membiarkan badannya
lindap selindap kehidupan nanti

-          hidung
Dua lubang hidung Abdan tidaklah menghadap ke atas langit
semacam tempayan penampung air ketika hujan
hidung Abdan biasa-biasa saja, tidak pesek tidak mancung
hidung Abdan menciumi segala harum, harum sorga
dan bau tubuh ibu-bapaknya dan lain-lain
juga mungkin menciumi bau dunia yang akan meledak
atau bau matahari dalam duka-duka badai dalam prediksi
Aku tak tahu segala bau-bauan yang diambung Abdan
mungkin juga Abdan menciumi bau hari depan
seperti yang termaktub dalam kitab luhmahfuz itu
Seyakin-yakinnya Abdan membawa harum cahaya kesturi
harum kesucian yang muasal dalam nadirnya
yang belum terjamah atau dibentuk tangan ibu-bapaknya
yang acapkali nista atau dihinakan kesepian bunga-bunga

-          kemaluan
Ujug-ujug basah celana Abdan, ujug-ujug hujan di kasur Abdan
begitulah kemaluan Abdan bekerja. Kadang seperti ngaceng
ingin menusuk para perawan. Tapi nanti saja
jika Abdan dewasa, jika Abdan benar-benar bisa kerja
bikinlah Abdan-Abdan kecil atau Siti-Siti kecil yang imut
berkah pedang Abdan yang kuasa atas segala hujan
dan bersandar pada kepayang
Ujug-ujug Abdan merengek minta digantikan celananya
yang basah, biar menjadi sejarah
ibunya terus mencuci dan Abdan tetaplah suci
Ujug-ujug hujan di luar membesar. kemaluan langit
menyaingi Abdan. Abdan tertawa menantang dunia
kemaluannya ngaceng menantang para perawan mungil
yang lewat. Abdan menjadi kodratnya kaum lelaki

20 Maret 2012

Lukman Asya
Hujan

Apakah hujan juga akan melahirkan generasi-generasi lemah
yang bagai kecambah di tanah
titisan langit yang angkuh
ujug-ujug hujan terus membesar
ada yang tumbuh serupa barah
menggenang dan kemudian membusuk
seperti jasad si laki-laki yang bunuh diri itu
siapa bapaknya? apakah matahari?
mengapa ia tak mewariskan kekuatan?
ya barangkali pilihansejak persalinan
ia telah dititistuliskan
Apakah hujan juga akan mewariskan generasi-generasi lemah
pohon-pohon yang disangka kuat merindang itu pun
nyatanya tumbang diterjang kenyataan
nenek moyangku tak mewariskan secuil tanah, kecuali tanda tangan
aku bagian dari kelemahan yang diperlakukan cuaca
tak kuasa dibanting-banting kekuasaan
senantiasa digonjang-ganjing bagai sebiji gabah dalam karung goni
ditampar kebijakan dan harga-harga. Seekor ayam pun menghina diriku
ia mencari pakan di mana saja, aku kepikiran jadi pencuri bank-bank negeri
siapakah bapakku? bapakku adalah si jasad yang terbujur kaku di jalanan
ibuku penguasa kolong jembatan casabalanca

Apakah hujan juga akan mewariskan generasi-generasi lemah
membiarkan tanah ditanami batu-batu, dihidupkan sunyi-sepi
lalu menggenang dan yang terkenang betapa ini segala jadi tak punya harga
Mengapa langit senantiasa membiarkan keangkuhan di sisi lain
mengurung niat baik bagi si yang ingin maju
betapa sentimentalia ini nyawa bagai si nenek tua menjelang uzur tiba
seperti hujan juga adalah kelemahan yang ujug-ujug saat keberangkatan
ke ingin memuncak bersama raga ragumu, duhai Sitti kekasihku

2012

Selasa, 25 September 2012

Apresiasi Puisi



Puisi, Kritik untuk Para Politisi
Oleh Lukman Asya*

Sejatinya kita hari ini membutuhkan puisi-puisi yang mengkritisi kelakuan para politisi atau para pejabat. Cenderung langka memang. Oleh karena itu kita mencoba melakukan pembacaan terhadap puisi Acep Zamzam Noor paling tidak untuk mengobati rasa rindu kita terhadap puisi-puisi yang sarat kritik sosial yang belakangan ini kita sulit menjumpainya.

Sebagai makhluk sosial yang kritis dan peduli kemanusiaan, mata batin kesastrawanan Acep tidak hanya dalam konteks bagaimana menghadirpandangkan suasana si aku lirik dalam rasa sensual religius yang individual semata. Acep juga terlibat dan melibatkan diri dalam praktek-praktek kritik sosial sebagai bentuk rasa kepedulian individu yang tak tertahankan lagi merasakan keadaan dan kenyataan sosial politik kekuasaan. Sebagai salah satu contoh Acep misalnya pernah menulis puisi dengan judul “Kasidah Nurul Sembako” atau membuat Partai Nurul Sembako sebagai sindiran dan kesaksian Acep atas ketimpangan dan kemunafikan yang terjadi di negeri tercinta ini.

Nuansa kritik sosial karya Acep Zamzam Noor kali ini saya coba periksa melalui representasi si aku lirik dalam dua buah puisi yang berjudul “Kau Pun Tahu”                                                                (www.selukbeluksastra.blogspot.com) dan “Sajak Seorang Pengungsi” (www.jendelasastra.com). Sebagai sastrawan, Acep cukup peka dan kritis membaca kondisi kekinian dalam konteks sosial, politik dan kekuasaan. Acep tidak menampakan kemarahan secara pamfletis atau anarkis melainkan ia melakukan upaya intensifikasi melalui puisi-puisi lirik kritiknya sehingga kesan puitikal tetap terjaga sebagai warna pengucapan yang khas. Begitulah kesan awal saya ketika membaca dua buah puisi Acep tersebut.

Puisi “Kau Pun Tahu” terdiri dari enam bait yang tiap baitnya terdiri dari tujuh larik. Termasuk puisi yang tertib secara bentuk alias terpola dengan bersih. Dan, dibalik semua itu ada lapis makna yang meresonansikan ‘batin yang awas” untuk kemudian mengafirmasi pernyataan puitik yang menggugah rasa.

Pada dua bait berikut: Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Juga tak ada lagi kerinduan/ Bintang-bintang yang kuburu/ Semua meninggalkanku/ Lampu-lampu sepanjang jalan/ Padam.Semua rambu seakan/ Menunjuk ke arah jurang// Kau pun tahu, tak ada lagi lagu/ Juga tak ada lagi nyanyian/ Suara yang masih terdengar/ Berasal dari kegelapan/ Kata-kata yang kusemburkan/ Menjadi asing dan mengancam/ Seperti bunyi senapan//...Aku lirik hadir membawakan suasana “gelap” secara metaforik.Aku dalam gambaran krisis eksistensi akibat keadaan yang frustatif. Aku tanpa harapan, hilang kendali. Yang tinggal keadaan jiwa yang nyeri dalam iklim yang tak pasti.

Selanjutnya dalam ketidakpastian itu yang seolah-olah “jurang gelap” siap menangkap langkah-langkahnya, sang aku dengan sisa-sisa kesadarannya berjuang mempersaksikan keadaan yang impase dari segala keruwetan modernitas kehidupan antara tahayul pemimpin dan kekuasaan yang menawarkan daya mistisnya. Sang aku kemudian mengalami keterpencilan jiwa bagaimana seharusnya melakoni hidup dan menyikapi keadaan dan kenyataan sosial. Maka...Kau pun tahu, tak ada lagi puisi/ Juga tak ada lagi basa-basi/ Kota telah dipenuhi papan-papan iklan/ Pamplet-pamplet disemprotkan/ Dengan kasar dan tergesa-gesa/ Mereka yang berteriak lantang/ Tak jelas maunya apa//  Kau pun tahu, tak ada lagi pemimpin/ Juga tak ada lagi yang bersedia dipimpin/ Hidup sekedar menunggu jemputan/ Atau sibuk memungut kotoran dari selokan/ Gunung-gunung sudah diratakan, sawah-sawah/ Dijadikan perumahan. Tak ada lagi tanaman padi/ Partai-partai politik hanya sarang para pencuri//

Justifikasi si aku lirik terhadap kenyataan adalah hal yang dapat dibenarkan oleh rasa peka yang merasakan keadaan sekarang ini. Berbagai simulasi kekuasaan, akrobat kaum birokrat, politik citra para pemimpin, kamuflase kata-kata adalah kenyataan sehari-hari sebagai berita sekaligus sebagai derita bagi sosial-kemanusiaan.Ya, justifikasi si aku lirik memang tak mungkin dibenarkan oleh pembenaran dan dalih para mulut yang punya kuasa. Tapi, paling tidak masalah yang diungkapkan si aku lirik menjadi nyata adanya menggambarkan situasi dan kondisi yang menyebabkan rasa individual si aku lirik sungguh-sungguh berada dalam suasana yang apatis, bahkan frustatif. Lebih jauhnya keadaan semacam itu akan menyeret masyarakat pada sebuah kondisi kerumunan manusia-manusia si aku lirik yang skizoprenik. Sekali lagi sang aku mempersaksikan: Kau pun tahu, tak ada lagi iman/ Juga tak ada lagi keyakinan/ Aku sembahyang di atas comberan/ Menghabiskan sisa umur tanpa keyakinan/ Ulama-ulama yang dulu pernah kupuja/ Seperti juga para pejabat yang brengsek itu-/ Hampir semuanya tak bisa dipercaya// Kau pun tahu, tak ada lagi kata-kata/ Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan/ pidato dan kentut sulit dibedakan/ begitu juga mengangguk dan mengutuk/ Wakil-wakil rakyat yang tidurnya lelap/ Bangunnya selalu kesiangan/ Padahal ingin disebut pahlawan/

Begitu pun dalam puisi “Sajak Seorang Pengungsi Buat Frans Nadjira”, rasa apatis dan ungkapan frustasi si aku lirik itu bergema. Sang aku malah seperti manusia pengungsi di negeri sendiri yang tak memiliki ransum apa-apa baik untuk kini maupun untuk masa depan karena telah dikorup para pemimpin, cuma borok-borok. Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun/ Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan/ Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku/ Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat/ Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari/ Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini/ Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus/ Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang/ Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera//

Rasa frustasi si aku lirik akibat keadaan sosial yang memaksa yang barangkali hanya bisa dijawab dengan kegilaan, keliaran dan hiperbola laku tanpa aturan, terasa menohok batin kemanusiaan di dalam bait terakhir puisi “Sajak Seorang Pengungsi” berikut: Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun/ Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan/ Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku/ Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kasmaran/ Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu/ Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak/ Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:/ Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh/ Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi//

Dua buah puisi Acep zamzam Noor itu dalam konteks kritik sosial mengamanatkan betapa perilaku para pemimpin, para ulama dan para birokrat serta para pemegang kendali hukum dan kebijakan bukannya membimbing masyarakat kemanusiaan yang direpresentasikan melalui sosok sang aku lirik puisi (dalam terminologi pars pro toto) ke alam pencerahan berkeadilan sejahtera dan keadilan hukum. Justru sebaliknya hanya menawarkan sengkarut keruwetan politik-kekuasaan. Yang pada akhirnya menjadikan si aku lirik-si aku lirik marjinal sebagai manusia sosial terfrustasikan oleh keadaan; kehilangan acuan dan panutan tata laku moral kemanusiaan.
***
*)penulis adalah penghayat sastra dan pelaksana sastra masuk desa