lukman asya
roman
lumar
aku
lahir dari rumpun ibu
jadi telapak
kampung pribumi
bapakku
langit cuaca
rabbiku
tanah pusaka
saat
wajah bulan nampak
tanganku
layak menulis sajak:
ada
garisgaris takdir terang
ada
uraturat spora
benangbenang
hifa
jadi iseng
sunyi badanku
kata
bibik yang doyan haji
aku
bagai suluh
dibawa
anakanak surau ngaji seluruh
ke tenda
tanda terpuja:
ada
pelita minyaknya saja nyala
ada
replika surau restui 1000 bulan bucat
jadi
hukum cahaya luar jiwaku
yang bermimbar
sesumbar
menolak
sungai hidup kesasar
atawa
sesat dalam kering si ilmu:
lumpur
kering, sawah garing
petak
petani retak hilang air
matahari
menari nyeri
mabuk
keringat kulikuli
nyinyir
keringat pejabat keparat
God,
seseorang ke belakang
keluar
dari lingkaran kyai
seseorang
itu mencariku
yang
sejumput sendiri
dekat
batu sepi
ia
menayang menantang
sukusuku
surau shalat
asalku
dari lembah mbah
restu
religi perigi
yang
airnya suci mengarifi
si
bahasa sendiri sejati
aku
lumar penerang ketika pulang
menating
kanakkanak riang
sepanjang
jalanjalan ingatan
ke
rumahrumah rindu
ke rumpun
gubuk ibu
inginku
tak jatuh lurut luruh
ke
lembah pekat rahasia
terjerembab
dalam sebab
aku
ada dari tiada ada
pertama
aku berkembang
di
akarakar cabang
tinggal
di batang tunggul
dekat
rawa sebangsa desa
di
mana sawah lurah payah
suara
kodok serak parah
di
ledok sawah sadrah
tempat
cacing urat menyerah
dalam
doa zat menolak rajah
si
bayang dosa kaki yang antah
aku
diuraphidupi pospor
tanpa
paspor tanpa pastor
angin
tak sampirkan aku
di
gantar kering ambigu
di
negeri asing rindu
seperti
kamu di laut kasur
butuhkan
benangbenang sulur
rangkul
atau berahi debur
sambil
berbaur ngebor inul bujur
sumur
sanggama sangkur
sarapanku
doa shalawatan
salawasna
kata-kata penuh bulan
berkah
tuah alam, tuan kearifan
aku
raja, aku pun hamba
jadilah
hidupku
pengkuh
kadang angkuh
berkawan
anak-anak lucah
berkayuh
kayu galah
melamar
darah waktu
dalam
sejarah yang sibuk
akulah
cendawan
menyiang
harkat mayapada
munjung
menjunjung martabat bahasa
cintaku
ki semar di tanah para dawala
cakap
sahaja hidup perih menjulang juang
antara
umur tua bangka penuh prasangka
umur
muda penuh gelora
siang
datang meruang
ditabrak
gamang
siang
bagai burung caladi toktok ngetuk dahan
bikin
rumah meriapkan rasa honcewang
kata
God, hurippati papasangan
disihir
matahari
siapa
nendang tubuhku tanpa kaki cahaya?
siapa
tantang mata malam yang hitam?
siapa
yang terusir jadi sebutir pasir?
apa
anakanak temukan dunia ibu sendu?
dari
dunia tanya itulah aku muncul
bertandang
mencangkul hidup merdeka
terangi
pinuspinus yang renta
aku
pikun terkurung siang
hadirku
jadi mangkir dari makna ngukir
tapi
biar tambah hidupku syukur
atas
tiada laknat tiada jahat
aku
urung murung
demi
kelangsungan si cucu wulung
mimpiku
penuh pantai sobek
penuh
ombak, tapi tangan karang merajutnya
dengan
jarum binal banal kebal berdebar
ya
pulaupulau robek lalu buncah pecah
tangantangan
hujan menyatukannya
:
konon hutanhutan tak lagi lindung
sebab
rakusnya kuasa si anak dewa
yang
bangun kerajaan olimphus
ingatlah
wahai peladang
pada
puing aku hidup tak pusing
maka
mengabdilah
agar
tumbuh sejarah baru bawa lampu
agar
sebuah lorong penuh ngaben
di mana
aku pun niscaya siap abu
dihangusrindukan
aku
makhluk tanpa kartu penduduk
sebab
identitasku ada dalam kelam
tubuh
cahayaku bekerja
menolak
tangan memaksa paksa
lahan
gambut jadi api
jadi
uzur
ada
perasaan ambigu
apa
orang yang datang ke aku
sepenuh
rindu atau palsu
ketika
segala lahan dinisbatkan
siap
jadi peradaban katanya maju
disulap
jadi silap kota selir si jelita
akulah
lumar kelas pekerja
segugus
hidup mangkus
sebelum
mampus ditumpas sepi
dirampas
pati
aku
lumar limar
supa
sepa dalam cahaya tapa
dibawa
kanakkanak
ke
pengungsian ke pengajian
menarilah
aku
sampai
malammalamku mati
sampai
kupu purbalarang dengki
di
punggungku
menarilah
aku
sampai
suara lisung sunyi
selalu
aku dalam ruang siang
ditumbuk
gamang kesepian
menyahut
burungburung luka
di
dahan ranting air mata
lihat
gurun pasir
anakanak
yang terusir
dari negeri
takbir
siapa
pandang tubuhku
tanpa
cahaya mata malam
yang jelaskan
aku ada
di
mimpi dunia garang,
di
situlah anakanak temukan
ibu
sendiri mengaji
perih
dadaku
dari
kamar gelap aku muncul
sebagai
cahaya
hidupku
jadi merdeka
antara
damardamar siap renta
menusuk
langit dan musimnya
aku
terkurung dalam kisah siang
hadirku
seakan mangkir
dari
hidupmu, duh panji wulung
mimpiku
penuh pantaipantai sobek
meski
gemuruh laut menjahitnya
dengan
jarum rasa takut
pulaupulau
robek pecah
tangantangan
payah
menyusunnya
kembali
jadi setia yang sakit
seperti
beling dalam ingatan
ketika
hutan ibu terbakar
separuh
catatanku terkubur
timbunan
kayu yang jadi debu
sebuah
jalan ke abadi mengabdi
aku
selalu dalam gamang siang
seolah
tercatat tak berharga
sebagai
tak terduga
sampah
kampung
tanpa
kartu keluarga
selalu
dalam rasa ragu
apakah
orang memandangku
sambil
menanti
tangantangan
malam bekerja
menyusuri
uraturat tubuh
kelaminku
dalam sejarah roman
romanku
roman kisah
anak
manusia yang kembara
tegaskan
waktu uzur tersisa
di mana
aku bagai hamparan
tidur
pun ngukur umur
atapku
langit dan tanahku segala
tempat
tubuh bebetah memercaya arwah
lelaki
yang baik
yang
mengatur segala tabik
segala
lacak relung semesta
dan
angin mencatat cahaya
hidupku
tak pernah dengkur
berjangkajangka
tersulur
mengejar
bayangbayangnya
yang
izinkan aku mabuk malam;
bulan
suntuk sibuk tatap beradu
saling
mengangguk
aduh
adah! siapa bilang ini waktu terkutuk
romanku
roman seharkat (manusia)
kisah
pejalan malam dalam kehidupan
sang
diri cuma beri arti
bagi tiap
tubuh
menyibukan
pekan liburan nyawa
terkutuk
cinta sungaisungai sunda
aku
lumar bimbang di suatu datang
bulan
malam gamang di suatu siang
tercincang
menjelang sinar matahari
jelaga
sinar iri hati
pada
malam mengiba itu bintang biduk
menunduk
cahayaku
berjalan menunduk laiknya hidup si kantuk
lalu
terhampar di ruasruas waktu
lalu
terdampar di bukubuku
siapakah
aku?
aku
tetap lumar
melamar
allah akbar
di
mana pun ke mana pun
pasrah
sadrah
aku
lumar tiba di ranjang
raga
ragu bajumu, panji wulung
tanah
angkasa mendekap
mendekatlah,
God
sebelum
rawarawa itu pahatu
kehilangan
air pohon ibu
hutanhutan
lindung pun piatu
hilang
jaga, hilang bapa
tebingtebing
kian yatim saja
duafa
tanpa tali akarakar
kasih
menjalar
tempat
pemanjat merayap
merangkak
lalu melompat
sebelum
sekarat di ini dusun jagat
sanak
famili sibuk di rumpun bambu
mengoprek
tubuh seakan cahaya
padahal
terlunta malam bulan sendirian
lebih
aku dari seluruh aku
yang jangat
dari gegat sukma ngengat
di
mana cahaya sibuk embara
romanku
roman kisah
si
anak manusia yang hendak pinak
tegaskan
sisa silsilah
di
mana nyawa bagai sejarah
tak
pernah tidur
ngukur
umur
atap
ubunku cukup langit
berkawan
landak, tanah
tempat
segala goa
tubuh
betah
percaya
arwah
kebaikan
tuah
aku
ukur semesta teratur
dengan
sekayuh tubuh
melacak
filsafat berkarat
mencatat
daun cahaya pupur cacat
disebabkan
siang julai kesat
hidup
bagiku bukan dengkur
sebelum
bayang mimpi benarbenar gugur
dipukau
pukangNya
“nya”
yang izinkan aku khusuk
lebih
mabuk dari rama yang mabuk
bulan
sekar kencana terenggut
oleh
sinta yang suntuk
sibuk
beradu adu tatap: siapa
paling
sahaya di tanah lembur pitaloka
siapa
sahaja di tanah sedulur kamboja
aduh
adah! siapa bilang ini waktu penuh kutuk
mungkin
bagi si sesal yang kikuk
tidak
bagi diriku
tidak
bagi si pungguk
yang
kekal rindukan tuhan
aduh
adah! romanku roman yang nitih
si
anak bunda yang merintih
di
malam lirih
titahkan
agar tidak tertatih
‘tuk
rengkuh segala ‘berianNya
seperti
jerih sungai suara ajrih
pusatkan
manusia tambah semadi rasa
aku
lumar segugus
sebelum
mampus
sebelum
mangkus
ditumpas
pati
cahayaku
bulan pudar
terdampar
di bawah langit timur
merangkak
ke pepucuk sajak
sebuah
menara di mana makna terpacak
cahayaku
bagai azan bersumpah
membentak
haji rojak
yang
masih mondok
di
tubuh si nyai denok
cahayaku
lumar bawa kabar
ke
negerinegeri siar
ngarai
sepanjang jawa
pulau
memar nanar terhampar
adalah
telepon genggam yang bergetar
sebuah
tahta meneleponnya
sebuah
kuasa me-misscall-nya
aku
ke gulita lagi
roh
ke galatia
saat
paulus nyambar tangan bulan
begitu
nasrani sang sunyi sendiri
ke
gegap gempita
ke
jaman keras kerasan lagi
patilasan
tubuh tumbuh menghampar
antara
rebungrebung bambu
antara
rumpunrumpun benalu
antara
garing akarakar, basah batubatu
antara
gairah gelap dalam subuh sadrah
lumar
ki panji wulung
selir
milih tersisih
antara
hidup dan lembah mbah
mengenang
sawahsawah tadah
hujan
darah
antara
sirah nyai yang mungkin syiah
antara
buah jambu jatuh, jatah kelelawar
lapar
mengganggu
antara
ular melingkar
dekat
arang bambu, antara kisahkasih menanam
kacang,
mentimun di selangkang ladang subur
antara
pohon karet pembatas baptis
antara
hak tanah pusaka, hak waris
raden
belanda
antara
parit kecil kebun sawarga
kebun
naraka
aku
berkembang sebagai lumar
seperti
ular dewasa liar
kampung
lahir
kota
lahir
seja
nyaba ngalalana ngitung tatu ngajajah
milangan
kori
sinjang
songket mulang ka minangka minang
gajah
bengali menawan maskumambang
bagai
tarawangsa ngiris sembilu
bagai
kelompok ketoprak keringat cahaya
di
panggung lembah, ketika lebah-lebah
berkerudung
berkidung
tubuhku
sadrah berbiak baik
di
ketiak tunggul, dengkul ki hutan belantara
andayaningrat
menjerat khawatir
dengung
anakanak nyamuk sibuk
menyambar
pundakku
aduh
adah! aku tak punya darah amarah
cuma
getah cahaya
malam
dan anakanak ki moesa
ganyang
tubuhku sebelum mereka
jadi
menak di manamana kuasa sunda
bersorak
bagai si gila mengarak arak sajak
ke
pengajian ke perjudian ke pergunjingan
di mana
janji dimainitilkan
aku
lumar limar ki sunda
di
ranah jawa, merindu si inang inomayu
yang
titisan hyang moyang pagaruyung
aku
dibaringkan di kantong ki panji wulung
antara
bulan dan kuasa malam
antara
shalat sebelum waktu kiamat
lalu
ki panji wulung tadabur ke kotakota selir
bertabur
getir mencari kamar bertabur mazmur
agar
lagu agung munjung dari jiwa yang makmur
jiwa
yang gembala
jiwa
yang bagai isa siap tebuskan dosa
ketika
siang aku saksi di kantong ki panji wulung
di mana
dia cari tempat nyai andayaningrat
dukun
guna wisesa, panolih, patih sokadona
lembu
jayeng pati, raja dewakeswari, prameswari
selir:
tanjung sari, sekar kencana
andakasura
si juru dusta
bayangbayang
malam kian jangkung
diasingkan
tukang lukis orang murung
yang kini
jadi batang bugang agung
hutanhutan
ibu bagi diriku
tanjung
sari ibu tiri yang baik hati
kera
darwin yang ngakak
burung
merak
oak, landak
adalah
sohib sahabatku
yang
tak lunak pada gulita
menjaga
kisahku, gairah nyali nyalaku
neonneon
berjuang
silaukan
hatiku yang miris
tapi tak
digubris
silang
siasat kerjaku jadi abdi sang raja
ketika
berdekatan dua sukma
celakanya
cuma malam, lurah hutan
menakar
cempa panji
akhir
jangkarkan jeruji tahta
sebijak
getah nangka
maka
di kota raja
luluhlah
namaku
jadi
biasa hurufhuruf pasti binasa
dimainkan
ki giling wesi
tak
diperdulikan si raksadona
si
bengali di punggung gajah
yang
menawan putri
tanah
bergaris
penuh
petakpetak
kuasa
raja; untung rugi
jadi
trotoar bagi si pejalan
si
pedagang
aku
risih di kantongmu, wulung
ingin
nyisih saja ke sungai tepi sunyi
ibuku
yang tak mangkir janji
sebab
sunyi bukan pidato tuan panolih
mungkin
penitih yang menusuk
kulit
telunjukmu
jangan
marentah!
di
sukadana, kini bukit dilamar
traktor
tangan sang kuasa naga
ya
aku embara
ke
kota-kota penuh batuk
kota
selir dari dusun lahir
sampah
kabel sampah batu bebal
menumpuk
di the
bandung terkutuk
ke
danau purba yang tinggal jagal
ke
padalarang karangkarang
batubatu
kikuk
antara
makhluk sibuk
cari
harta setumpuk
aku
bikin riwayat
pada
semesta takhiat
semenjak
bunyi kentrung
lodong
lahang
aren
yang ditanam rakyat musang
disayang
sayang hyang gunung
aku
terangkan jalanjalan ke jurang
aku
terangkan lubuklubuk curam
aku
terangkan terjalterjal karang
bagi
siapa ingin ciptakan lampah
pikirkan
polah
aku
si zikir mencari
restu
embun, restu cuaca
aku
si pikir siap lekat
di
tubir bibir tanpa tidur
bayangkan
angguranggur kehidupan
berjatuhan
sebagai ciduh wahyu dari mulut
idamkan
rumah benderang
karena
tubuhku, jiwaku
tanpa
kujang garang siap perang
aku
lumar sebelum jadi tawanan siang
sebelum
dulur terdampar
kamu
apa? hama? sebelum maut
bilang
apa kabar di mana nakir munkar
ketuk
palu: kau ingkar
aku
supa tapa di dusun lahir
embara
ke hilirhilir kota selir
dibawa
ki panji wulung yang mahir
aku
lihat kalimatkalimat awan di langit
mereka
mangkir dari bulan
‘tuk
sekilat saja biarkan diri
dibawa
cahaya kiri
ke
kremlin untuk berguru
ke
stalin tumpahkan gerutu
tapi
aku punya panca dasarku
sebelum
pati nitih kanjeng nabi
ada
kilat menggambar palu arit
di
tanah allah di mana bulan bayang
aku
hampir hakekat sesat
maka
kuberikan terang kepada orang
yang
bersinjang songket nyai tanjung sari
yang
dirundung si prameswari
kupahami
jaring lelaba
yang
menghadang saat hidup terus rembang
lelaba
manusia yang sibuk dunia
tangkapi
makhluk, tingkahi kutuk
yang
kepincut
jejaring
kasih, cinta, usaha, kuasa
aku
lumar dari kitab kejadian
titis
tulis hutan malam putih cahaya
kucari
titktitik bintikbintik bulan menggambar
sunyi;
kapuk randu terapung terdampar
dibawa
angin tak bingung cara menggampar
ke
puncak gunung, mengambang bagai maskumambang
laksana
layanglayang mulang
laksana
semutsemut tepermanai
dibadaikan
amboi
cahayaku
bagai bulan pudar hampar
di tahta
timur
samar
di barat sanur
bersitatap,
bersiragap payudara gadis bali
tanpa
bikini
aku
bimbang di kantung ki panji wulung
limbung
punggungku arahkan cahaya
jadi
kidung kawisaya bagi si putri buyung
aku
cuma supa yang tapa
dalam
cahaya ketika hidup menjamur
di
tapak setapaksetapak
air
raya bunga bank kata
gedung
julang lewang
jadi
wawacan kaum segala lutung
kasarung
di dangding pilemburan
peuting
jemplangjempling
saat hurung
ngempur cianjuran
siapa
menakar lumar dengan yoga
menawar
cahaya dengan lampu
siapa
menakarku di mejameja judi
yang
penuh keringat, berahi
menukar
pelir dengan bola biliar liar
sambil
ngukur pusar
si
bahenol demplon seksi asoy
duh,
wulung hantar aku pulang
ke
indung ke sokadona atawa cempa
aku
bosan tandang ke kandang
si
giling wesi
aku
ingin keluar dari kantung ki wulung
lalu
menampar asapasap ganja
yang nyebar
berdenyardenyar
setan
gebyar gemebyar
menyilaukan
hatiku yang memar
redup
tanpa sinar yang menyambar
segala
ragu segala lagu
anakanak
yang suka disko
ke
restoresto
kapan
ke kampung, wulung
lihat
rebungrebung iwung
menengok
indung kandung
dapur
penuh rangasu
samping
sungai tempat batubatu
sembilu
ditabrak perahu laju
yang
dari gebog cau
cuma
perawan yang tak ragu
dengan
sinjang setengah badan
membasuh
pilu
mencuci
rindu
popokpopok
si madu
tubuhku
fana
seperti
detikdetik masa
milyaran
titik
tapi
cahayaku
sukma
yang embara
di
sakusaku suku
di
sukasuka bumi
teringat
desi sakit
itanaya
di asyifa
pernah
berwisata
ke
taman bunga fawzy
jadi
catatan ingatan
salabintana
dalam kenangan
sebelum
matahari
enggan
surupkan kisruh patah hati
orangorang
berhutang
yang
bayangbayang
sebab
menolak mangkir
dari
takdir di tiap saban sabun dzikir
siapa
lindungi habitatku?
aku
cuma rakyat biasa
terinjak
gajah tengkulak, lalatlalat
‘kan
binasa
sebab
semerbak kuasa
sebentar
cahayaku bertukar rupa
dengan
rupa purbasari putri
sebelum
si lutung
jadi
guruminda
aku
sibuk dalam cerita
seperti
babat dari sawah sri
sebelum
dibuat (panen) , diruwat nubuwat
sebelum
purbalarang kian jorang
dibabat
seks likat
ah,
aku cuma emban
aku
cuma dayang
abdi
ki panji wulung
ah
damar wulan
minggir
saja aku
ke
damar wulung
ke
akarakar kelapa
memandang
yang menjulang
pasrah
lapis langit
cinta
jaga pada segala daradara
akhwatakhwat
sebelum
kiamat
dalam
jejak pesantren kilat
mencari
hakekat
melanglang
miang sebelum miang
ke
kota selir anak si raja moksa
melancong
ke lembah embah
tempat
dulu aku lahir
diteriaki
selokan gunung
yang airnya
ngalir bening
memahami
mata tuhan
kekuasaan
yang menyeluruh
akhwatakhwat
itu
mendamba
sunyi di saung petani
mengenang
nyi prameswari yang kumaki
menimba
letih nyeri membasuh
dari
sumur tua
hilang
dahaga
sepotong
tubuhku
jadi
saksi
duhai
ilahi
betapa
ada orang
yang
nyiksa diri
bagai
lelaki di pohon bodhi
tanpa
belati
cuma mereguk
sunyi
atau
membela diri
dari
kesumpekkan, kepenatan
kota
raya yang mampat doa
sehari
semalam saja
tualang
melihat bintang
yang
tak terjamah
berbenah
rasa lelah pasrah
binatang
malam apa
suaranya
begitu syahdu
rumput
basah
mata
basah
karma
sendu
tubuhtubuh
penuh
tatu, teluh
aku pahami
mereka
ketika
sunyi malam
tawarkan
cahaya
mereka
bersorak
mereka
rebutan
kasih
sayang
memeluk
tubuhku
mencium
mulutku
selama
malam ada
hidupku
‘kan terus ada
pabila
penguasa tak kelewat
bejat,
mengusirku penuh kuasa
getah
cahaya, getah petuah
bagi
ki susah
pepeling
dangding bagi ki dengki
sebab
aku tidak tumpak di pundak
wawacan
macan
perantara
muasal ini tanah
terbelah
dua: yang pro yang kontra
samasama
terkutuk kuasa tahta
sungguh
mayapada yang luar biasa
lirihlirih
pada semesta
sebelum
mereka renta
salah
seorang berdiri
menjatuhkan
tubuhku
cahaya
bergerak
searah
jarum waktu jatuh
selintasan
seperti kilat carok
serentak
nulis sajak samasama
mereka
lukis wajahku pula
mereka
teriak bersekutu:
lumar!
waktu
gusmus pengajian
malam
jum’ah berjamaah
aku
ada di kopiahnya
aku
ada di sarungnya
di
tasbihnya
di
senyumnya
di
tangannya
di
sajaknya
menggandeng
jiwaku
mengerti
benar gusmus pada ini hidup
yang
terus rembang
hujan
datang
menghitung
luka bayang
memahami
benar gusmus
pada
dagingku
pada
nyaliku
pada
cahayaku yang gairah
menyala
menjelaskan
perkara
menakar
sengketa
seperti
memahami agama
lumar
ya aku lumar
cahaya
yang membaca
datang
dari dusun fakis haji
tempat
ular tafakur
sepanjang
kenyang
meradang
ketika lapar
terinjak
ketika ternak-ternak
kesasar
gusmus
pulang ke asal
tiap
jum’ah sambil jamaah
sama
orang-orang sahaja
di
desa biasa rembang mustafa
ya
gusmus menerangkan negeri dagingku
dalam
sajaksajak gusmus
tahta
disingkirkan kehidupan diruhanikan
aku berkacakaca
bagai
kitab kuning di meja
ya
lumar ya lumar
ya
aku lumar di mata gusmus
seseorang
salat di gereja
bernyanyi
di surau tua
sama
saja, wiridan di kuil budha
tafakur
di borobudur
mengajakku
berpuasa
membawaku
canda
doa bercengkrama
candicandi
tersenyum
melihatku
yang begadang
orangorang
ramai
orangorang
curiga
orangorang
penuh prasangka
dalam
tahta dalam agama
ada
jendela
ada
lentera
ada
aku asing dan sunyi
ada
katak ada tokek
ada sajak
ada baju robek
siapa
menggertak
gerobak
orangorang
yang dagang daging
di
pasar berahi
di
riba rimba judi
di
pabrikpabrik si kuli
di
barakbarak tki
aku
lumar berkawan landak
si
cendawan ngaku cahaya
di
semesta raya
tempat
orangorang wisata
kulihat
bayangan neraka
seperti
jakarta
kulihat
bayangan sorga
seperti
papua
seluruh
penjuru rusuh
pemancang
sibuk
menahan
hantaman
orangorang
tahu
burungburung
ditembaki
sakit
hati para sufi
di
ruang gusmus
ikut
tadarus
mengaji
memahami
riza
yang gagap bahasa cinta
ah
walet saja seekor
di
goa kelelawar
terkapar
mampus
disengaki
asap humpus
menggantung
saja jadi bangkai
atau
keluar
aku
lumar sahabat yumar
sahabat
ular ketika pinem
belajar
syair mengukir
keparat
mengejar
si tukang daging
sekerat
hingga tersesat kesat
ke
pasarpasar perkelahian
ke
pasarpasar perdukunan
tabib
dianggap cahaya
menggantikan
jabatanku
sebagai
penasehat
di
saku baju
tukang
kayu tertidur
mendengkur
seperti tekukur
dekat
tub menindih tubuhku
gergajinya
di pantatku
kamu
tahu gergaji?
ya
aku pernah ke kota
dengan
si panji wulung
ke
toko besi
sewaktu
si panji ingin beli palu arit
tanpa
idiologi
maghrib
tiba
si
tukang kayu kabur
pipiku
mulai merona
aku
ingin dandan dulu
berselendang
cahaya
ingin
kencan dengan ki sunda
dimana
godi suwarna mirip drakula
memakan
kata kata
ingin
kencan dengan ki jawa
di
mana para priyayi tumbuh sunyi
ingin
kencan dengan si nona minang
dimana
abak dan mande
izinkan
riza tandang ke bandung utara
sebelum
gadis samawa yang tai lalatnya dua
matanya
bahagia
panjang
rambutnya dikuncir
buntut
kuda
susu
kuda luar dari sumbawa
gairah
gadis di kasur lembur
dago
timur
ketika
malam aku jadi ada
di
sakumu kini terpelihara
bagai
ikat rambut
aku
lumar
kamu
apa sebelum bugang
tinggal
bayang
sebelum
kamu mati: ngik!
angkot
tinggal rangka
angka
tinggal jangka
mesin
mati besi mati
aku
lumar metafor malam
kesedihan
terus hambar
digambar
digampar
aku
lumar
kelaminku
rasa malu
jiwaku
cahaya menyamar
dalam
kabut duka cinta
ya
aku lumar yang dilamar
munkar
ingkar
akar-akar
menjalar
mahpar
har
ukar!
ada
pegawai negeri berseragam
aku
tak suka kamu terima gaji buta
kerja
yang nyata, dong
aku
lumar cendawan cahaya
ingin
tumbuh di ragamu
ingin
sembuh di hatimu
melumat
habis malammalam
jahanam
mengikis
diamdiam
gerimis
di lebam batu
aku
lumar
penebus
siksa ibu bapa
pulang
dari ketiak haram
pulang
dari dosa jadah
jadahjadah
jahiliyah
denyar
sinar
kelekar
sesumbar
ketuncar
cacar
bocah
belajar
di
pantai anyer laut matamata dulu
God,
lumar bukan yumar
di
kampung bambu
di
rumpun ibu
begitu
awal aku
memahami
dunia
kegelapan
dan kejauhan
sungai
menangis siang hari
kau
tahu kelak ‘kan tinggal kerak
batubatu
pasir
di
dusun aku damar
suluh,
obor atau semacam lentera
ketika
semesta butuhkan cahaya
atau
cukup restu
matahari
bakari daun kering
sampai
sungai itu tak menangis lagi
melainkan
menari sampai
mabuk
senja: inggit bahagia
God,
waktu itu kamu ke kebun
mencari
aku
sebelum
pergi ngaji
di
surau alit kyai
ngajari
kamu shalat, silat
lumar
penerang, penayang
ketika
pulang
mencari
yang lebih riang
sepanjang
jalan ingatan
kanakkanak
dari
mana aku ya lumar
dari apa
ya aku lumar
dari
malam
dari
ibu yang malang
dari
pohon yang meradang
merajah
bayang-bayang
menjarah
petang
yang
datang ketika sawah
menyerah
ke dalam lumpur
payah
pada
malam aku bekerja
bagai
penyair cahaya
mengukir
malam dan bulan
pada
siang aku cuma doa
cahayanya
itu lho
sungguh
lungguh
bagai
aisya pakai kebaya
ke
pematang
amboi
aku bahagia
sebab
ia juga lumar
lumar
si punya lubang nikmat
nan
samar
yang
kuingat dari kampung
ya
cuma aku
lumar
di madrasah
ingat
aku diri sendiri mengaji
di
masjid aku ingat aku
jagat
alit penuh lumar
maghrib
tiba
mula
aku lumar mula segar
malam
‘kan melamar
lumar
rindu
damar
lampu
lumar
ragu
menyibak
waktu
berangkat
kubawa doa
ke
madrasah ke kuliah
ke
bangkubangku membaca semar
bahasa
yang samar
di
sejarah kaum dawala
bercakap
dengan cahaya diriku
jadilah
kekuatan
tumbuh
di hatiku
hidupku
jadi sejarah
dari
kanak di batubatu
dari
remaja di rumpun bambu
dari
dewasa di rindu ibu
sebelum
aku kawin
maskawinnya
lumar ya lumar
senyum
tawa hambar
aku
sedih jadi lumar
terkatung
di siang tanpa
kau
sebut cahaya, wulung
terperosok
jurang tercampak
perempuan
malam
jubahku
hancur
sajakku
remuk
ingatanku
lebur
dalam
ombak berahi
yanga
adalah trotoar
di
masa depan
aku
marah
ingin
pulang kampung
melihat
anak jadah
anak
sejarah
tuan
tuhan paham
tak
ada pembenar
semut
hitam menegur:
lumar
jangan begitu
semua
ada jalan
dan
ilmunya masing-masing
dan
pabila aku mati
aku
lumar tak bisa apaapa
tak
ada cerita lagi
cukup
puisi
di
kening anakku
aduhai
alangkah
baiknya
ekor cahaya itu
mengembalikanku
ke
rumputan bambu
membangun
kuburan
sendiri
dari sunyi ke sunyi
ke
sunyi yang transmigrasi
beranakpinak,
air hujan
tumbuhkan
lumar baru
lumar
ibu: cahaya ini manusia
lumampah
laku kesadaran rindu
aku
mendengar madah
si
tukang gembala domba
di
lembah di bawah
bukit
gundukan merah tempat puyuh
bersarang;
peladang pulang
dari
seruling dangding
dalingding
anginanginan
sayupsayup
di
ngarai dusun abah
jendela
rumah tertutup
jemari
daundaun
tangantangan
ranting
melambai
mengharap
bibir
perawan tak terkatup
aku
ingin mengecup bibir riza
bibir
mira, bibir eka, bibir inggit, bibir lena
bibir
iis, bibir awit, bibir ivon, bibir rukmi
bibir
segala bibir setiap tubir getir
sebab
aku lumar aku cahaya
irama
sasak gantung
irama
kita bergoyang
aku
terperanjat dalam kutang
aku
rasakan hangat ya hangat
mendekap
erat
aku
lumar tumbuh di mana
saja,
di mana ke mana saja
asal
aku betah dan kau tak gundah
keluarga
aku tinggalkan
nun
di negeri jauh yang teduh
rumpun
cahaya bambu
sungaisungai
ambigu
mendua
rindu
ke
sawah atau terus melaju
menabrak
batu-batu
aku
beradu cahaya
dengan
bulan
temaram
sebab
bukan cuma aku
menatapnya
bimbang
butiran
ya zikir di tanah
memandang
wajah bulan
penuh
cinta
penuh
tuah
penuh
rajah
dari
shalat tengkurap
serupa
lele
lelah
malam mengerjapngerjap
madu
ingatan:
senggama
para pengantin
dosa
likat
dosa
nikmat
di
tubuhku
menggodaku
duh
aku ingin pulang
saja
ke mana angin
datang
bawa kabar
aku
takut menjelma
bukan
lumar
tapi
asap tebal
dari merapi
bagai diriku
di
lembah ibu
sebelum
kembara
tinggal
tunggul
sebelum
bugang
sebelum
meregang
sendiri
aku tengah malam
sunyi
tumbuh cahaya mengabdi
terus
menjadi
pada
langitlangit ilahi
bulan
menjatuhkan peristiwa
gamang
bayang
telaga
warna, goagoa
jejakku,
jejak cintaku
mencari
tuhan
sebatang
rokokmu
asap
menegur kekosongan
genderang
perang dengan setan
bertempur
dengan laknat uzur
aku
terus cahaya
mataku
awas selama malam
bagimu,
mata sembab
pada
lembab, sebelum setiap
tumbuh
bukan peluh keluh
lumutan,
basah bahagia
air
mata embun berbekas
lelah
leleh cuaca
pasrah
ditumbuk detikdetik waktu
aku
telanjang
kamu
mandi telanjang
aku
melihat selangkang
lumutan
indah
bagai puisi
aha,
puting memerah ati
megap
berahi
tapi
tunggul bambu
jadi
penghalang merintang
aha
amboi
aku
suka mengerang
bawalah
aku mengembara, wulung
allah
akbar
ya
selembar sekadar
suara
bukan cahaya
seperti
aku
pintupintu
motifmotif lampu
hiasan
kaligrafi bisu
bukan
siapasiapa
bukan
apaapa
sahabatku
juga
ketika
kamu wulung
ambil
shalat rakaat
dan
aku ikut tergeletak
dalam
takhiat
di
batubatu batabata
batu
ukiran penuh jejak
mereka
pergi ke alam ramai
siapa?
mereka saja
menjelang
hidupku pun pergi
ke
kontrakan ini dunia
terbangun
di saku bajumu
kamu
butuh cahaya
di
jalan-jalan raya
kesadaran
kedua aha
aku
kisah berkah
pembawa
cahaya
bukan
petaka bagi dunia
lumar
tak pernah bunuh
udin,
munir dan marsinah
lumar
dari rumpun ibu
setia
melamar
sebelum
memar
ketika
seseorang mencuci
pergi
ke perigi
pakaian
kotor, jiwajiwa kerdil
tubuhtubuh
dekil
watakwatak
degil
aku
tak berdaki
aku
di saku bajumu
dan
simpan dulu tuan hulubalang
segala
hyang atas restu tuhan buyung
aku
di tembok sumur
sebelum
kau timba cahaya
menghapus
nyala, dahaga
di
siang gamang
meradang
meregang
sepatumu
kotor, taftazani
dan
kau di barat
jadi
penghulu menjagaku
diriku
menjaga aku
mengurapi
cahaya
menyaingi
bulan diamdiam
sebelum
sedekap tersalib
sebab
cinta, lestarikan yang bening
yang
sepantasnya dari semesta
sepatutnya
aku
di saku buruh
dan
tani
menjadi
taji nyali
aku
di ho chi minh city
roh
nama besar
pejuang
demokrasi sejati katanya
sunyi
bagai mao
lenin
menggerutu
di
kamarmu
ia
lumar juga, bukan?
seperti
aku
silalatu
di retak tembok itu
ada
debu pada gambar
che,
castro, capez, dinejad
membayang
ingatan
demonstran
dan
aku saksi
di
sloganslogan
di
famfletfamflet puisi
di
negeri ini
di
panjipanji proletar
bersatu
kremlin
seperti wajahku
bercahaya
di malammalam
tanpa
tuhan
ranjang
tanpa bikini
melamar
mati
mahasiswa
iba di trisakti
aku
melihatnya
tertembak
terjebak siang
rezim
bangkit lagi
mencakarcakar
ya lumar
tubuhku
tubuh
harga diriku
mendesak
barisan tentara
barikade
kekuasaan
aku
keringat
mereka
laknat, katanya
aku
bersama
berkawan
terangkan cahaya
warnawarni
kehidupan
kelas-kelas
pekerja
hilang
batas
harapanku
bagai harapan komunis
dugamu
aku hina
aku
melawan malam
kejahatan
di istana
keberkahan
manajemen
aku
lumar dari dusun
aku
lalu memekik
bersama
langit
bersama
hujan
tanah
tumbuhan
nyawamu
mungkin
semacam cinta
di
kampung lindung
di
tebing dangding
fajar
nyingsring nyingsing
dan aha
ngising
antara
si tukang gembala suling
menyambut
pagi
rambut
rumputan
embun telaga
sempit
di
ujungujung danau
cuma
lumar yang hambar
membentak
katak yang jongkok
di
akarakar
aku
padam
aku
diam
hidup
mulai lagi sunyi
dan
lebam
namaku
lumutan
bersama
ganggang
menjadi
silam
di
mana putriputri kepayang
di
malam hari
aku
berkacak pinggang
menggantikan
dewa mati
sanghiyang
yang tinggal bayang
aku
betah tanpa rumah mewah
daundaun
gugur gering selimuti
aku
di hujan datang
makananku
angin
santapanku
musim dan cuaca, waktu
aku
seperti panu mungkin
di
tanganmu siang hari
malam
bercahaya
memantulkan
semesta
seperti
kumpulan bintang
musyawarah
bagai
rajah
sekilas
mungkin tuah
menyerang
tanahku
mengurus
cakrawalaku
menggerus
kawat-kawat
berduri menghadang
batang
pohon merintang
jalan
kura-kura pelan
di
sungai, mengharap kekal
sebuah
irama gerak pada
sebuah
satwa, sebuah nama
hutan
adam
sekarang
khusuk sibuk
mesinmesin
tanpa kompromi
menuai
pohon kecewa
di
hatimu
aku
memang lumar
bersahabat
ular
rayap,
serangga
dan
akarakar
akan
membacaku
ketika
hari sudah malam
batubatu
api berkilatan
senapan
siapa itu tertinggal
senapan
pengasuh buruh
kuli
hutan perambah
pemberontak,
ataukah
dari
bukit lain
dari
kampung rawarawa
terus
aku ingin berkata
ketika
malam mabuk bintang
sunyi
bersama
bersatu
musimmusim
bendera
berkibarkibar
kapalkapal
layar
di
laut
mercusuar
memancar
tumpahkan cahaya
seperti
aku: saya
aku
lumar
matamata
di padang pasir
mobilmobil
tulang purba
kurma
ingatan
manis
keyakinan
tangan
abrahah
gajahgajah
berzikir
sebelum
tandus
sebelum
runtuh
gurungurunmu
menurun
terang lagi
kuruksetra
lagi
tentang
minyak berbarelbarel
badai
amrik gadaikan neraka
prahara
duh aku cuma lumar
menghiba-hiba
cemar
tumpah gundah
luruh
keluh menghujat
buang
hajat di kuburan kerap kumat
subuh
kurebut
dini
hari sambil kau ngebut
sebelum
padam cahayaku
kuluangkan
ngomong kosong dengan bintang
yang
masih binar mars
gundah
tumpah di dingin waktu
kerap
kurap di tubuh hidup
cemar
luruh, keluh menghujat
melihat
kuburan masal
menggantikan
sajadahku
tempat
cahaya dangdutan
gebyargebyar
pada hajathajat tuan
samenan
pada munajat
apa
yang aku bayangkan
ketika
detik terus berjalan
ada
alarm membangunkan tangan
dan
cintaku
mengingat
waisak namamu
5000
tahun silam
tuan
dilahirkan
aku tahu
cahayaku
mengendap mengertap
antara
budha, hindu
antara
patung-patung bisu
mengharap
rindu ibu
baiklah
pabila aku menjelma
dewa
apalagi aku tetap cahaya
di
tangan malam
pohonpohon
jadi tampak membayang
jalanjalan
memungkinkan setapak dan jadi tujuanmu
kerbaukerbau
kau asuh menjelang tiwah
seperti
seseorang yang kau suruh ke sandung
terus
menderu
mengabaikan
jalan batubatu dayak kaharingan
aku
pun shalat
sebabagaimana
kaupun tirakat
mengharap
ketenangan
aku
tak sempat
mencari
apa pun
dari
yang ditawarkan waktu
sebab
aku tumbuh
dalam
cahaya hidup yang tak rapuh
tak
mengeluh
kudengar
ricik
musik
air dan batubatu
ganggang
menarinari
dan
aku bercahaya
kecuali
ketika siang gamang
redup
bahkan temaram
tanaman
tumbuh rimbun
liar
menjalar ke segala
keluh
ke segala kisah
ke
segala arah
menjadi
rumah
tempatku
asyik becanda
sebelum
kota raya
sebelum
nama-nama
berganti
besi
kau
tak jadi bunuh aku
wahai
kekuasaan istana kota
wahai
penjarah hati sedih
membawaku
mungkin
di
saku bajumu
saat
sudi mampir di lembah
mbah
begitulah demikianlah
tak
habishabisnya pikiran perasaanku
sunyi
dalam bentangan berdialog
nyeri
sakit hati
tidurku
mungkin merenung
kadangkadang
ngelindur
mimpi,
citacita bagai cika-cika
kunangkunang
datang kuku kuburan
mengenang
mayat
mengingat
pembantaian
di
pulaupulau di ambon manise cinta
tulang
belulang dan jiwaku hancur
kesedihan
menjadi burung yang kabar
murung
ke seantero raya
aku
cuma lumar membawa cahaya
menerangi
diriku sendiri
khidmat
ulat dalam sunyi
di
lembah embah
mendengarkan
ricik cikaracak ninggang nidih
di
batubatu sebelum mimpi embun jatuh
aku
terkenang hutan larang
tempatmu
melamunkan pesanmu
firmanmu:
bertasbihlah
sampai
angin berkesiur
ke
timur dalam irama
yang
damai
anakanak
tak sempat
tergadai
luka di akarakar
lukaluka
bangsa yang membangun
negara
katak
di rawarawa
satukan
suara tanpa bendera
diserang
serbuk baja
sebelum
pembangunan
sebelum
hutang
sebelum
untung
aku
menyaksikan itu
dan
bersaksi bisu
sahabatsahabatku
yang
di ladang yang malang
terus
begadang memeras kerja
menanam
palawija
jangan
usir singkir aku
menyingkir
biarkan aku ada
di
lumutlumut, tunggul rumpun
bambu
yang kau tebang yang kau
jungkalkan
jadi ajal
ke
mana perginya pengetahuan
tentangku
tentang cahaya
bawa
hifa bawa spora
yang
ngempur di hutanhutan
dari
sumur waktu
ke
laboratorium
ke
pemilihan umum aku bukan
si
sakit jiwa
laboratorium
cairan
penuh teluh
serangga
paspor
renta penjaga sorga?
penjaga
pintu ilmu bagai ali
si
pedang fikar itu
membelah
rancak kegelapan acak
meremukan
jahilia
atas
nama fatima yang ranum
bagai
maryam kesabaran seperti aku
sang
lumar hijrah ke tv
ditonton
saksikan banyak orang
orang
tualang bacabaca telantar
sasar
rasarasa, benar aku
lumar
yang menjelang malang
mulai
hilang dari ingatan
digantikan
neonneon samasama
cahaya
dari zaman yang berbeda
aku
lumar bukan lumur
bukan
hina bukan motel
tempat
menginap segala bayang
bukan
tumang, aku cahaya
di
rimbarimba, tak terjamah amarah
tersentuh
kasih penuh seluruh
rahmatan
lilalamin
penuh
anwar penuh puisi
aku
lumar ularular uwar
ubar
malam hambar
seperti
utarutar perisai ular
luar
kacarkacar ijbar
terlantar
terdengar kelenjar
kelenjar
mimbarmimbar
seminar
lembar ghaffar
nanar
putar sangkar
munkar
munkar munkar
belajar
gelepar lapar benar
pengantar
umur jenar
getar
lebar puyar kabar
siar
itibar kuncar
agar-agar
semoga
tidak putus uterus
mendengar
kabar lumar
aku
yang hambar
memahami
dunia memahami perkara
membaca
korankoran kemarin
melihat
buayabuaya hari ini
kekejamannya
digantikan manusia
dan
aku ada di situ berbaris penuh
cahaya,
penuh warna di malam hari
pemimpin
massa mencatat apa saja
sampah
bandung sampah bandung
situ
lembang hilang ditelan kabut
aku
ke dalam kematian cahaya
ini
dunia
seseorang
datang lalu keluar
membawa
aku cahaya
menggandeng,
terbang
kelelawarkelelawar
dari
pohonpohon
dari
goagoa
aku
meruntuk
orangorang
terkutuk
orangorang
biduk
didapuk
jadi
kera corengmoreng
berekor
memarahi
ular
terus mengejar
bianglala
menyingkap
tabir
aku cahaya
datang
sebagai lumar
dari
hutan damar
ujung
semaksemak belukar
seseorang
datang lalu keluar
membawa
obor di tangan
mencari
aku ke rumpun
bambu,
keluarga biasa
antara
binasa dan bahagia
layar
tancep korsel
dari
manakah mereka
peradaban
apakah
di
rambutnya
sejarah
dari kampung
dari
bukubuku novel
afrizal
yang teduh bebas
dari
pitutur tekukur
dan
cakapcakap melulu
menilis
melukis lumar
di
rambutmu sebagai
mahkota
menyiangi bunga
aku
lumar bukan yumar
mungkin
senyuman mawar
aku
cendawan cinta di musim
hujan,
tidak menolak matahari
pesan,
juga malam akrab
kyai
ki hujan aku dengan
kelembaban
kian akrab
aku
seperti asapasap hutang
indonesia,
menyibak belukar
tembikar
padahal aku sibuk
di
akarakar kayu ibu
tubuhku
mengandung hifa
asal
muasal dari spora
aku
supa suka alfa
padahal
aku punya karya cahaya
ya
bagi anakanak yang pulang
mengungsi
bermain lagi
di
kaki bukit merapi
ya
aku supa lumar
tak
butuh klorofa
aku
parasit sebelum
negeri
ini benarbenar sakit
palu
arit
aku
‘kan tetap bersama
merajuk
saku bajumu
bru
bro bramu
suku
katamu
agar
tetap merdeka
dari
segala aku
dari
segala gincu
aku
tak perlu
peledoi
cinta
berilah
hambamu
uang
upah buruh
aku
lumar bukan
terdampar
di gigir kehidupan
jubahku
musim
sorbanku
angin
meramal
perjalanan
racun
cahaya
jika
anakanak bertanya
dan
menanamkan tubuhku
yang
cuaca
kuberikan
cahaya
sepuaspuasnya,
anakanak
sepulang
mengasuh teranak
ambil
tubuhku
dibawa
pulang lalu
sebelum
datang mengantuk
pulas
mengaji cerita
di
surausurau guru ngaji
anakanak
melemparlempar
tubuhku
ke angkasa ketawa
penuh
canda udara dalam malam
yang
riuh, pelataran surau
di mana
kohkol dan bedug
ditalu
dan tiang-tiang penyangga
mungkin
hayatku yang hidup
penuh
terlalu tetalu
dikandung
kandang badan
dunia
alam diam
anak-anak
mincrak
aku
lumar yang penuh suka
masa
tan malaka musim
berikut
‘kan mencincang
masa
angin yang ribut
ribet,
‘kan menjengkang
tubuhku,
berputarputar
dibawa
pusaran keimanan
yakinkan
ini bumi berkah
tuhan
aku
pencari
di
sudut bumi, anakanak
sepulang
ngaji mencariku
ke
rumpun pakis haji
lumut
di bambu, lumut
di
kayu mati
“horee...uing
memang lumar!”
dari
malam aku cantik
tampak
uraturatku penuh hasrat
gelegak
berahi cahaya
seperti
cuping cintamu saat kemping
mendengar
orang keparat
dalam
bir menggeliat mabuk
aku
lumar si kampungan
datang
dari rumpun bambu
dibawa
kau si wulung
di
saku baju sebelum kau jadi
khatib
demplon, tukang khatbah pengganti mbah
kau
katakan pada jamaah jagalah kehidupan
agar
kau dapat berderma, agar kau dapat wisata
membolakbalik
cahaya hilir mudik dalam cinta
seperti
orangorang menjaga pohon kelapa
air
yang turun
di
bukit batubatu menjelang matahari surup
kau
katupkan pintu gubuk
menjaga
keindahan bintang
kau
biarkan aku begadang memahami nafas bulan
saksi
bagi lagulagu sangsi bagi sunyisunyi
sebab
selalu suara kudengar atau orangorang siar
mencari
kabar rumahku kobar mencari rahasia hayatku
aku
lumar yang pemaaf pada mereka yang
insyaf,
menjaga anakanak menjaga diriku
penuh
lestari seperti dewi padi ciawi tali
aduh
adah! adah mengaduh menadah cahaya
bulan
serupa aku
aku
di tangan melumar
menyebar
keasyikan memerah malam
aku
bukan jamur merang yang terlarang
untuk
dihidangkan makan di meja tuan
sebab
lelah kumainkan beta punya cahaya beta punya
irama
di sungaisungai cakrawala yang airnya yang batunya
asyik
bercengkrama sebelum lembah memangsa
aku
lumar dalam dingin kehujanan di pintupintu cahaya
beranak
pinak seperti sajak di tanganmu, kasih
aku
lumar cacah berburu mijah bikin ulah
tubuhku
menipu kaum pemuja ini dunia seolah aku
permata
mereka tersaruk sibuk ke bukitbukit air
mangkak
merangkak sibuk ke lembahlembah angin
mencari
kabarku, padahal aku tumbuh sembuh
sembab
pula di hati mereka, cuma mereka kehilangan
sangka;
aku lumar bercakap dengan semesta yang samar
angin
mengigaukan kicau si burung kedasih
si
burung cacing di arenaren di emperemper jurang
aku
berteduh di saku baju muntahkan terik siang
membakarmu
yang tak terbakar
pada
batang dan daun singkong
pada
batang dan daun pisang
pada
batang dan daun laja lada tanah subur
masih
cerita, tak ada rumpun bambu di sini, tapi aku menggerutu
merindukan
burung cacing kunangkunang dan kuku si mati
aku
melayat duka yang gamang doa yang terhalang tiang
tembok
rumah pagar petuah warnawarna putih
lautan
dan angkasa
kamu
berwudu barangkali
mana
tempat ikhwan? katamu
dan
sepatumu tersimpan
di
rak indonesia raya dekat gerbang bendera
wadah-wadah
celaka seorang nelepon dengan suara nyaring
marah
bising adik rungsing
aku
cuma lumar
bersyukur
dikhidmati siang
bagai
bulan seniman kemarin senin
daundaun
rontok
cuping
kuping rontok
kecemasan
warna kuning
pupur
dilamar matahari montok
meraja
hitam jadi raja
tapi
aku bertahta
di
saku baju dengan menjadi
bayang
jadikan dirimu
pula
cahaya bagi jalanjalan
wisata
bagi setapaksetapak agama
seperti
diriku bagi lembah waktu
bagi
sungai gadang panjang
yang
ngalir ke alamat laut zikir
laut
pikir, sebelum lalat menginjak
nginjak
wajahmu dalam diam
dalam
dengkur, rangka kerangka duh!
orang
sibuk lalu lalang mengungkap
belukar
mencari diriku yang lumar
bukan
ular aku ingin menjalar
pula
membangun kubah, candi mekar
ditingkap
kilat cahayanya
pada
kebunkebun pak tani
pada
ladangladang penghuni
pada
padangpadang sejati
pada
tikartikar pengungsi
pada
tendatenda merapi yang sunyi
aku
bagikan tubuhku
aku
bagai panu di tubuhmu
kadang
menjadi ayah
ibu
anak
kadang
mengganggu
sajak
selalu aku berbiak
cahayacahaya
pesona
di
malam hari semerbak
menyibak
wangi nyeri
wangi
luka semesta
kehilangan
hulu sunyi
dimana
buahbuah manggis
pernah
jatuh mengaduh
ke
kali mati ke jejak hujan
yang
garing cekungannya ada
mengandung
irama
aku
kadang hilang bentuk
dalam
makna tapi menjadi ada
di
saku bajumu kan bawa aku
sebagai
luka nyaris bulan tadi
malam
yang tiris, aku tak menggubris
tirus
bayang samar tapi lumar
sejati
juangku sejati kesadaran
kesederhanaan
mengabdi
pada
ini negeri yang tak habishabisnya
meluaskan
tanah untuk ditumbuhi
tanaman
baik tabungan tak baik
duh,
aku tak sesali jadi lumar
ngga
apaapa sorga cahaya
jadi hidupku
selama siang di dalam
hutan
menjadi lain menjadi orang lain
yang
bukan tentara
mungkin
bala tentara
di
padang pasir
yang
tabah menghiba
namanama
nuklir
jangan
berperang!
aku
bersama ceracau
kicau
tanpa sepatumu
tanpa
alasmu
aku
hidup di panca roba
lumar
kesayangan sang waktu
lumar
keinginan sang saka
duh,
terus duh terus
mabuk
kata-kata ilahi
tarawangsa
lumarku
sarat
umur sarat uzur
di mana
lembur singkur
bagai
tekukur
tubuhku
dari hifa dunia
spora
pesta pora
di
suatu kesibukan biasa
antara
jangkrik imitasi
dan
jangkrik sejati
cuma
beda dalam gerak
antara
supa yang bercahaya
dan
yang tak bercahaya
aku
suka begadang
tengah
malam
dan
kau seolah bugang
di
tengah malam membatang
keasyikan
bayang, mimpi
orang-orang
kembali ke lupa
ke
larva
ke
supa
ah,
siapa?
kau
bilang aku jamur
bercahaya
wisata anjangsana
aku
ingin jadi diriku
penerang
sekitarku
jadi
berkah bagimu
pada
pencari suaka jalan
sukasuka
mengembara
aku
cahaya ya aku cahaya
aku jamur
cahaya
di
malam gulita
suratsurat
ke galatia
galasiksa
aku
lumar sembahyang
sepanjang
malam
bergumpalgumpal
airmata
menjadi
cahaya penerang jalan
pengasuh
bianglala
kancah
lembah aku lumar
punya
cerita sejak aku lahir
sebagai
penghuni sunyi
sampai
aku mati tersingkirkan
dari
kehidupan
aku
lumar dari negerinegeri
dedemit
menjaga adat istiadat
hutan,
tatakrama cuaca
jangan
ganggu sembahyangku
jangan
ganggu rumahku
silahkan
ambil cahayaku
aku
lumar dari pedalaman
si
jamur cahaya mengintip pulaupulau
yang ditaburkan
seperti sahabat
berceceran
di
manamana dari teluk wondama
bula
sampai nanga pinoh
aku
melihat
wajah
wajah lusuh naas si penebang
kayu
kurus membawa kampak
aku
dibawa anak-anak mengaji di surau
dekat
perigi anak-anak bersorak
padaku
yang merdeka bercahaya
awas!
jangan ganggu cintaku pada ini
semesta,
nanti sporaku marah padamu
dan
mendoakanmu jadi batu jantungmu
aku
ki lumar yang berabad melamar
bintang
dan malam; cahayaku menolak
matahari,
sebab siang bagiku musabab
semadi
perdalam rasa menanamkan
tauhid
di dalam jantung puntung bumi
aku
tak takut binatang liar karena
mereka
bukan kekejaman ketimbang kuasa
istanamu
yang bercakar seribu
aku
cuma takut kekuasaan dari jakarta
dari
penguasa yang menghiba harta hutan
pada
pengusaha
demikian
juga sebaliknya
di
musim kampanye
aku
paham akal busuk bagaimana aku
paham
cuma buruk
sebab
cuaca aku lumar bercahaya
merekam
apa saja yang serupa getah getih
aku
lumar dari pedalaman jiwamu
ketika
kau asyik memandang
sisa-sisa
bencana
aku
ingin selalu tumbuh di jiwa
orangorang
besar yang meluksi kesepian
dari
balik jeruji penjara menuliskan
kemanusiaannya
yang merintih
seperti
cendawan salawat di gunung api
ceruk
cawan menjadi cahaya di negeri
hujan.
kawan yang ikut jejak, ikuti
derap
langkah sajaksajak tegap
ke pangkuannya
aku
ingin selalu rindu membuka sayapsayap
cahaya
dikala gelap kau kira dusta
bukan
dusta, ia cuma merahasiakan
beberapa
alamat yang kau kirimi sepi
seperti
bulan itu menggantung
bukanlah
kekelawar
aku
ingin selalu cinta, nelvi
di
hati kaum pemimpin yang pengasih
yang membangun
jalan perdamaian
tanpa
memacetkan hakhak kemanusiaan
aku
ingin selalu ada
di
hati kaum penyampai
yang
memilih sunyi dari amuk
dan
ribut amarah
sang
kabar yang tak memihak siar terik
aku
ingin selalu tumbuh
mendulang
cahaya
membagibagikan
keriangan
menghibur
anakanak nelangsa
yang
tak bahagia mainan kata
membiarkan
para peneliti
pahatu
mengkaji
tubuhku
darahku
dan gundukan
muasalku
sampai habis
segala
debat segala siksa
yang
menusuk pikir dan zikir
aku
ingin selalu cahaya
yang
mengabdi pada si benar
hatiku
pulaupulau yang tercecer
terlampaui
kau
ikut dengan sebuah nama
dan
alamat
tapi
mengapa kau selalu bawa
aku
ke dalam duka
pada
laut yang jadi bencana
pada
tanah yang tumbuhkan gempa
kau
tak sanggup mengukur
menjangkau
hari kelak
pada
sebab musabab datang
ilmuilmu
tak sampai mencukupi
cuma
setitik di sibgoh lautanNya
yang
menyimpan berjutajuta
riak,
gelombang
tapi
mengapa aku selalu
menggerutu
pada ini zaman
pohon
kalatida tumbuh
di
manamana
kemanusiaan
terkotakkotak
terpecah
belah, tercerai
berai
ke dalam amuk
keinginan
amarah kepentingan
tapi
mengapa aku selalu
menggugatmu
wahai
orangorang yang mempermainkan
cahaya
di rumahrumah kelabu
yang
mengelabui
kian
samar
seolah
perbuatan sasar
tak
membahayakan hutan
di mana
aku terus ngaji
di
situ, seumpama ibu
yang
rindu rindangnya dunia
oleh
daundaun si damai
bukan
peristiwa tengkar
curiga
tapi kenapa
selalu
aku terseret
ke
dalam keasingan panjang
ke
mana arah dunia
kiblat
cahayaku tak sanggup
mengikuti
selalu
aku temukan
kitabkitab
kebencian
kitabkitab
dendam
babbab
sakit hati
di
buku-buku
di
ruasruas waktu
wulung,
kau bawa aku
mampir
dan tak sanggup
mampir
dari sejarah gugup
ke
bangkubangku sekolah
ke
kursikursi kuliah
tapi
selalu aku tiba jadi merana
depan
papan tulis
ilmu
pengetahuan yang kudapati
cuma
cahaya bagi hidupku
untuk
memahami ini umurku
teruskan
menjamur mazmur
dosadosa
pun kujemur
apa
itu dosa dalam kitabkitab
bayangbayang
tak cukup
hidup
dan mati yang kuukir
ada
airmata
ada
puingpuing reruntuhan
punya
cerita tendatenda pengungsi
gedunggedung
bekas kompeni
bikin
tahi dan strategi
mengapa
selalu dada
yang
menderita mengapa selalu
ada
yang sukasuka
jikalah
gempa tiba semua orang
pastikan
berkata ibu
menakar
harga mati
bagi
dirinya sebab cinta
memang
memberi
mengapa
di senjamu
aku
selalu gelisah
padahal
cahaya
‘kan
tiba bagi diriku
bersahabat
terang bulan
menyibak
tabir takbir
malaikat
berzikir
jika
engkau percaya cahaya
tolong
hentikan tanganmu
untuk
menuliskan sampahsampah
membuatkan
rajahrajah
sebelum
mayat
adalah
dirimu, wulung
aku
memang lumar
seakan
sendiri payung sepi
langit
selalu nangis
membuat
hidupku
menjamur
ingin
nangkap gelap
dan
semua makhluk tahu (tau)
pengharapanku
itu: aku ingin
tumbuh
di hatiNya
di
mataNya dalam senda gurau
pencaharian
ilmu
pengetahuan
ulurkan
tanganmu, wulung
kubalurkan
cahayaku
kuulurkan
gairahku ke sekujur tubuhmu
sebelum
kau benarbenar uzur
mundur
dari jagat tempur
akulah
lumar yang percaya takdir
ini
hidup berakhir
berkembang
lalu mengambang bak bugang di sungai batang
si
penulis syair itu pun kian renta manja di balik titik akhir
sepi
di pesisir menyisihkan sebagian waktu berzikir
dari
sejarah purba pun aku umur mengukir
berkembang
biak bersama para biawak
para
kecoak
nisan
tahta nisan harta
tapi
aku percaya cahaya ‘kan kekal menjangkau
semesta
akal sendal
di mana
tumbuhlah mahluk adam tempat aku
memercayakan
benangbenang hidup di hati
usai
matahari tergelincir
dan
aku kembali pada pikir awal
di mana
manusia ada seiring si buah khuldi
menjadi
sulbi, aku uyup air susu
aku
jamur cahaya selalu jadi sabda
bagi
anakanak suka
sepulang
ngaji tak pernah sepi selalu bercanda selalu
menarilah
wahai wulung janganlah murung
bayangan
seolah hidup tak pernah ‘kan susah bersamaku
menarilah
ikutilah tarian cahayaku
randai
rantau cahayaku
yang
gerakgerak riak biak
mari
jangan kau rungsing, wulung
singkirkan
pusing menapis cinta di dulang
suara
kecipak keciprat sungguh
menampar
mukaku
harimau
galak mati tinggalkan sesalnya
aku
mati tinggalkan kesan:
sebuah
pasal ketentraman
pamit
mundur
ke mana
aku asal bagai pungguk rindukan tuhan
terus
bernyanyi sepanjang bulan
aku
terus mengukur camar umur yang pulang
melihat
kunang ke kuburan tak pakai celana dalam
hmm
pak
guru menjelaskan ada lumarku
di
manamana, depan siswa yang ada mau
ups
padahal
aku sembunyi di anu pak guyu (guru)
asyik
nyengir jadi pelir selir
semacam
jadi penyihir, jadi penyair
di
alif takdir
In, 2001-2013