Sabtu, 07 Desember 2013

Feature



Eksotisme Fakfak
dari Patimburak ke Tapurarang 
 Teks Lukman Ajis Salendra

Indonesia negeri yang mengagumkan. Ttak terkecuali ragam budayanya. Salah satu daerah Indonesia yang mengagumkan di antaranya Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Ada situs purbakala Tapurarang “lukisan cap tangan darah” di Kokas, dan masjid tua Patimburak.

Seorang teman, Raka (24), aktifis teater yang pernah berkunjung ke Kabupaten Fakfak  Provinsi Papua Barat suatu ketika berseloroh, “Mengapa Tuhan menciptakan Fakfak? Ya, agar sorga ada contohnya,” katanya.

Barangkali itu cuma seloroh yang asyik. Mungkin karena sang teman merasakan “jatuh cinta” dengan segala pesona alam dan wisata artefak purbakala di Fakfak.  Pesona Fakfak dengan keindahan pantai-pantainya, keasrian hutannya, dan kembang pala yang semerbak mengharumkan. Fakfak, sorganya dunia bagi Raka.

Fakfak memiliki semboyan “Satu Tungku Tiga Batu”. Diartikan, ada tiga agama (Islam, Katolik, Protestan) yang dalam ikatan satu saudara, satu hati. Tiga unsur agama itu membentuk kultur masyarakat Fakfak hingga kemudian hari ini.

Seperti dikatakan Kusmiadi (28) salah seorang warga pendatang di Papua Barat, semboyan Fakfak “Satu Tungku Tiga Batu” dapat diartikan cerminan dunia untuk masalah toleransi antar umat beragama. “Tiga agama yang bergotong-royong, bahu-membahu, bekerjasama, dan bersaudara, “ kata Kusmiadi.

Ada juga pendapat berbeda. Nenek moyang Fakfak tidak mengenal “Satu Tungku Tiga Batu”. Yang ada nenek moyang Fakfak mengenal Agama Keluarga, seperti dilansir fakfakkab.blogspot.com. “Agama Keluarga harus dijunjung karena kearifannya yang luar biasa. Satu Tungku Tiga Batu itu adopsi teori yang berlaku di Jayapura yang mengenal terlebih dulu Satu Tungku Tiga Batu yang maknanya Agama, Adat dan Pemerintah.  Lebih arif, bijaksana dan natural, jika Agama Keluarga yang dianut nenek moyang Fakfak menjadi primadona dalam sistem sosial kehidupan masyarakat Fakfak,” kata sumber tersebut.

Di Kabupaten Fakfak yang merupakan salah satu pusat agama Islam di Papua Barat, sebagian besar masyarakatnya pun mayoritas beragama Islam, terdapat masjid tua Patimburak, yakni masjid yang dibangun tahun 1870 Masehi oleh Raja Weruar ke-7, Raja Semempes. Pembangunan masjid dilanjutkan oleh Raja Waraburi. Masjid ini pertama kali direnovasi pada tahun 1942 dengan mengganti atap rubai dengan seng gelombang, tahun 1963 mengganti dinding dengan tembok Rabik. Tahun 1995 dilakukan perbaikan lagi oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan setempat, dengan mengganti atap seng. 

Bangunan masjid berbentuk segi delapan beraturan atau Octagonal, berukuran 3,13 meter  pada setiap sisinya. Sisi sebelah barat berfungsi sebagai mihrab, sedangkan display yang lain berfungsi sebagai serambi. Display sisi Utara, Timur, dan Selatan berfungsi juga sebagai pintu masuk keruang Utama Masjid. Ukuran serambi masing-masing panjang 2,18 meter dan lebar 2,5 meter. Ruang utama masjid terdapat empat tiang dari kayu berukuran 20 x 20 sentimeter dengan tinggi 5,70 meter, berdiri pada umpak batu setinggi 30 cm. Atap masjid terdiri dari 3 tingkat, atap paling bawah menyatu dengan atap keempat serambi masjid. Atap bagian tengah dibuat secara melingkar karena bentuk dindingnya persegi delapan. Atap paling atas berbentuk melingkar dan semakin ke atas semakin meruncing. Pada tembok antara atap tiang kedua dan ketiga terdapat empat buah jendela tanpa daun jendela. Masjid ini teletak di Desa Patimburak, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Sumber dari Direktori Masjid Bersejarah Kemenag RI menyebutkan Masjid ini merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang.
Menurut cerita masyarakat setempat, pada masa penjajahan, masjid Patimburak pernah diterjang bom tentara Jepang. Salah satu bukti kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.
Menurut mubaligh warga Fakfak, penyebaran Islam di Distrik-distrik di Fakfak seperti di Kokas tak lepas dari pengaruh kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV di mana kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itu dimulainya perkembangan Islam di daerah kekuasaan kesultanan Tidore termasuk Kokas Fakfak.
Dikutip dari http://islamnyaelectric.wordpress.com, dari jauh masjid Patimburak terlihat seperti gereja. Kubahnya mirip gereja-gereja di Eropa masa lampau. Namun ada empat tiang penyangga di tengah masjid, menyerupai struktur bangunan Jawa. Interior dalamnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di Pulau Jawa yang didirikan oleh para wali.
Situs Tapurarang
Yang tak kalah menarik. Terdapat situs purbakala lukisan “cap tangan darah” di Distrik Kokas Fakfak. Lukisan cap tangan berwarna merah yang terlukis pada dinding-dinding batu di tebing dan gua yang terletak di pinggir laut. Ini menjadi objek wisata arkeologi yang menarik di Kabupaten Fakfak. Situs pra-sejarah atau purbakala tersebut oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan nama Tapurarang. Warna merah pada lukisan “cap tangan di tebing” tersebut menyerupai warna darah manusia. Meskipun ada juga yang meragukan keasliannya.
Sebuah sumber menyebutkan, cap-cap tangan yang ditemukan di Kokas mirip dengan dengan lukisan-lukisan dinding seperti yang terdapat di Sangkulirang (Kutai Timur, Kalimantan Timur) atau di Gua Leangleang (Maros, Sulawesi Selatan). Tapurarang tersebut kekayaan peninggalan zaman pra sejarah yang bisa dijumpai di beberapa tempat di distrik Kokas, antara lain di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras.
Sementara itu menurut K.W Gallis dan Josef Roder, Arkeolog Belanda yang pernah melakukan penelitian di Papua menyebutkan keunikan lukisan goa di Kokas. Warna dan corak lukisannya berbeda dari yang ada di Kepulauan Kei, Maluku, Pulau Batanta dan Raja Ampat. Objek lukisan yang terdapat di Situs Purbakala Tapurarang, Kokas dibuat dengan teknik stilasi atau penyederhanaan bentuk. Warnanya terdiri dari merah, hitam, dan kuning.

Ditengarai, seni cadas atau rock art Tapurarang tersebut merupakan hasil karya lukisan manusia pada jaman Megalitikum. Usianya ditaksir ribuan tahun yang lalu. Lukisan-lukisan tersebut dibuat sebagai pengingat peristiwa atau simbol-simbol kepercayaan. Lukisan binatang atau Matuto dianggap sebagai pahlawan bagi nenek moyang.

Selain itu, keunikan yang menambah nuansa mistis situs purbakala Tapurarang di Kokas adalah lukisan gambar telapak tangan manusia di dinding tebing yang terbuat dari bahan-bahan alami dan masih tetap terlihat jelas meski sudah berumur berabad-abad lamanya. Lukisan-lukisan berwarna merah darah pada dinding tebing batu karang dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan laut itu tidak hanya menampilkan motif telapak tangan manusia saja, tetapi juga gambar-gambar lain seperti tulang ikan, bentuk ikan, jari tangan manusia, kecoak, kalajengking, dan tengkorak manusia.

Menurut cerita mitos yang berkembang, warga adat yang tinggal di Kokas meyakini bahwa tebing atau gua yang menjadi lokasi ditemukannya Situs Purbakala Tapurarang adalah tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan-lukisan berwarna merah darah tersebut wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek. Nenek yang telah menjelma menjadi setan kaborbor atau hantu penguasa lautan, yaitu hantu yang paling menakutkan. Si nenek meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ditumpanginya. Dari seluruh penumpang di perahu itu, hanya si nenek yang tewas. Konon, tidak ada satu pun penumpang di atas perahu yang berusaha membantu nenek itu untuk menyelamatkan diri. Karena merasa sakit hati, arwah nenek yang telah berubah menjadi setan kaborbor tersebut mengutuk seluruh penumpang perahu yang tidak mengasihani dirinya dan malah sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri dengan berebut naik di atas tebing batu. Akibat kutukan nenek tersebut, seluruh penumpang beserta hasil-hasil laut yang dibawa seketika itu berubah menjadi lukisan yang menempel di dinding-dinding tebing.

Distrik Kokas menyajikan banyak keiindahan. Air sungai yang mengalir jernih, hutan bakau yang masih perawan, pohon-pohon besar yang rindang, juga ratusan macam burung, dari jenis bangau, kakaktua, nuri, sampai cenderawasih, masih bebas berterbangan di atas kepala. Belum lagi lautnya beserta jajaran pulau-pulau karang yang menambah semarak suasana alam Kokas.

Obyek wisata sejarah situs purbakala Tapurarang berada di Distrik Kokas, Kabupaten Fak-Fak, Provinsi Papua Barat, Indonesia. Jarak antara pusat pemerintahan Kabupaten Fak-Fak (Kota Fak-Fak) dan Distrik Kokas sekitar 50 kilometer.

Selain itu tersedia juga potensi “Kali Besar” di distrik Fakfak Tengah di mana ada jasa kolam renang. Siapa yang berkunjung bisa merasakan kesegaran dan sejuknya air kolam yang langsung turun dari gunung. Sementara dari bebukitan kota Fakfak, dapat menyaksikan panorama Pulau Panjang yang berstatus hutan lindung. Dan di Distrik Kokas tersimpan sisa-sisa peninggalan Perang Dunia ke-2.

Pada periode 1942/1945, Kokas pernah menyandang gelar kota basis pertahanan tentara Jepang melawan sekutu. Sebagai bukti peninggalan adanya basis pertahanan militer di Kokas yakni terdapatnya salah satu peninggalan peristiwa paling bersejarah. Bangunan goa atau benteng Jepang yang terdapat di pusat kota Kokas. Terlihat tiga buah bungker pengintai berukuran tak lebih dari 4 meter persegi. Dan di belakang bungker-bungker ini terdapat goa persembunyian sepanjang 138 meter yang mengeruk perut bukit.

Terdapat juga kepulauan Karas yang letaknya di Distrik Karas. Pulau Karas merupakan pulau yang terbesar dan di sisi timur terdapat dua pulau yang berdampingan. Sebelah utara adalah Pulau Tarak dengan dua kampung dan sebelah selatan adalah Pulau Faur dengan dua kampung. Pulau Karas pun memiliki dua kampung sehingga kepulauan ini dijuluki Negeri Tiga Pulau Enam Kampung.

Kabupaten Fakfak juga memiliki Air Kitikiti sebagai objek wisata. Air Kitikiti, sebutan masyarakat setempat untuk lokasi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Memiliki keindahan air terjun yang indah dan juga masih menyimpan keindahan bawah laut dengan terumbu karang yang menarik dan berbagai jenis ikan yang sangat cantik. Air Kitikiti juga menjadi sorganya tempat para pemancing. Banyak jenis ikan di Air Kitikiti dari mulai ikan yang sering di dasar laut seperti kerapu, kakap dan pari maupun ikan yang sering di permukaan seperti tenggiri dan tuna. Di Air Kitikiti ini, selain terdapat tempat-tempat pancing, terdapat banyak pula tempat atau spot untuk menyelam, snorkling.

Di Kabupaten Fakfak tersedia satu bandara udara yaitu Bandara Torea; tersedia jasa pesawat dari beberapa perusahaan pesawat terbang komersial. Untuk transportasi laut tersedia satu pelabuhan yakni Pelabuhan Fakfak. Pelabuhan laut Fakfak merupakan salah satu pelabuhan di Tanah Papua yang selalu disinggahi oleh kapal-kapal Pelni. gkan hubungan udara pun.

Seni dan Budaya

Salah satu kesenian yang berkembang di Kabupaten Fakfak adalah kesenian Haderat. Alat musiknya disebut Tifa Haderat, sejenis alat musik perkusi yang bahannya terbuat dari kayu dan kulit hewan. Alat musik dengan bentuk bulat lalu bagian atasnya menggunakan kulit hewan ini sering digunakan oleh masyarakat asli Fakfak yang beragama muslim pada kegiatan-kegiatan penting seperti menyambut tamu, pesta pernikahan, dan hajat keagamaan lainnya.

Acara tersebut biasanya terlihat pada saat mengantar keluarga yang hendak menunaikan ibadah Haji ke tanah Suci Mekah. Setiap peserta dari rombongan haji yang akan berangkat ke tanah suci  diantar dengan iring-iringan musik haderat lengkap dengan tari-tariannya.

Selain kesenian Haderat, di Fakfak juga cukup eksis Dewan Adat Mbaham-Matta. Yakni sebuah Dewan Adat yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah, hutan, laut dan hak-hak ulayat lainnya. Dewan Adat Mbaham-Matta Fakfak berusaha memelihara keharmonisan dan kedamaian di daerah Fakfak. Impiannya tetap menjaga aroma bunga pala menjadi ciri khas Kabupaten Fakfak.

Orang Mbaham-Matta di wilayah Fakfak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Namun mereka pun memiliki bahasa lokal sendiri yakni bahasa Baham, Iha, Arguni dan Karas. Bahasa dominannya adalah bahasa Baham dan Iha. (Pelbagai Sumber)

Ada nampak aktivitas warga di sungai Melawi Provinsi Kalimantan Barat (20 Mei 2013).

Senin, 15 April 2013

Puisi Lukman A Salendra


Epigram Guru.1
Ajarkan aku tentang bermain cinta
seperti hujan menyapa halaman buku di hatiku
Basah. Basahlah rinduku
sampai di lautmu, mengikuti alun ombak.
Guru, tapi apakah ini buih pesona atau berahi kata-kata?

Indonesia, 2013
Epigram Guru.2

Misalpun aku ini murid yang putus asa
karena cinta. Guru, jadikan hidupku tanpa dekap kuasamu
aku ingin tenggelam dalam kemewahan air mata
jangan sergap tubuh dan jiwaku
bebaskan aku menjadi kelelawar mencari buah keadilan
tidak dalam gelap matamu

Indonesia, 2013
Epigram Guru.3

Tapi ya jika tanganmu yang cuaca tiba di rambut dan pipiku,
sebagai murid sekaligus sahabat hatimu
Duhai guru, amboi panutanku, tak akan aku salahkan
jemarimu menjadi hujan dikala aku memang dahaga
gombal langitmu bukan laknat penuh siasat
Engkau guruku, guru dalam pelajaran berahi hidupku.
Telah kupahami kini pelajaran hakekat cinta darimu
hingga aku khusuk menulis gurindam pengabdian

Indonesia, 2013

Epigram Guru.4
Sejatinya sungguh tak kuasa menjalankan ilmu darimu
sebab aku lupa rumus dan teorinya (bercinta)
dalam agama, dalam matematika
dua kali dua memang empat
selalu rakaat dalam shalat
Tapi jika kau mendekap saatku panas suhu
aku boleh mengelak, memilih ekor hujan
bukan yang kemudian badailah kata-kata badan
di pangkuan

Indonesia, 2013


Epigram Murid

1.
Camkan apabila ajaran ajakanku tak kau pahami
biarkan janji keadilan menjadi bintang di langit
dan kau akan butuhkan cahayanya
di saat-saat malam sendiri tanpa guru yang pasti
2.
Kau telah belajar dari kesalahanku
saat aku mengajarimu tentang cinta
aku tak menganjurkanmu menolak
sedikit mengelak, ya?
untuk terus berdansa dalam susah-bahagia

3.
Sampailah aku mengajarimu ilmu pamungkas
aku buka kitab depan jiwamu
tak ada rumus lagi. Cuma sepi bersiutan
bagai angin di ubun-ubun:
Masuklah ke alam dirimu! Di sana ada raga cahaya
telah aku keluarkan jiwamu dari dekap berahiku
yang nyeri: lalu carilah kata!

Indonesia, 2013

Menyeruput Kopi Pagi Hari

Menyeruput kopi pagi hari, menghisap sebatang rokok
sambil menulis sajak usai demonstrasi di ranjang mimpi
barangkali kau tahu, itulah hal-hal yang menyenangkan
bahkan sesaat sebelum kau menembak mati diriku

Di hadapan ada perawan, ia bukan luwak
ia yang menyeduhkan secangkir kopi buatku
“ini secangkir kedukaan,” katanya dengan senyum sungguh manis
Aroma kopi robusta-bukan romusha- diolah sejak belanda
jadi petani di sini, di negeri tempat segala dusta diinvestasikan

Aku teguk kedukaan, lalu aku pasang kecup dan cium
di bibir puan perawan. Ia gelagapan
aroma kopi begitu dahsyatnya mengalahkan penderitaan

Secangkir kopi itu pun tahu, aku tengah berduka
kehilangan sebuah negara yang kudamba
Puan perawan itu pun mafhum, aku butuh hiburan
aku butuh semacam yang dapat mengalahkan kesepian

Diam-diam tanganku menumpahkan secangkir kopi
pada gambar lelaki jangkung yang suka pidato
di halaman bekas istana itu
Secangkir kopi bukan puan gratifikasi!
Ini intimidasi!

Indonesia, 2013

Petani Kopi

Seseorang tergopoh-gopoh menanyakan harga
Seseorang itu mungkin si luwak kehilangan harapan

Indonesia, 2013

Perempuan dalam Secangkir Kopi Pagi Hari

Panas yang nikmat, birahi yang tumbuh laknat
ia fana seiring waktu mendinginkan semesta
Dan tangan ini sempat bergetar mereguk amboi badanmu
luluh sudah ditampar harum sebatas dunia wanoja

Indonesia, 2013

Puisi


lukman asya
roman lumar

aku lahir dari rumpun ibu
jadi telapak kampung pribumi
bapakku langit cuaca
rabbiku tanah pusaka
saat wajah bulan nampak
tanganku layak menulis sajak:
ada garisgaris takdir terang
ada uraturat spora
benangbenang hifa
jadi iseng sunyi badanku
kata bibik yang doyan haji
aku bagai suluh
dibawa anakanak surau ngaji seluruh
ke tenda tanda terpuja:
ada pelita minyaknya saja nyala
ada replika surau restui 1000 bulan bucat
jadi hukum cahaya luar jiwaku
yang bermimbar sesumbar
menolak sungai hidup kesasar
atawa sesat dalam kering si ilmu:
lumpur kering, sawah garing
petak petani retak hilang air
matahari menari nyeri
mabuk keringat kulikuli
nyinyir keringat pejabat keparat
God, seseorang ke belakang
keluar dari lingkaran kyai
seseorang itu mencariku
yang sejumput sendiri
dekat batu sepi
ia menayang menantang
sukusuku surau shalat
asalku dari lembah mbah
restu religi perigi
yang airnya suci mengarifi
si bahasa sendiri sejati
aku lumar penerang ketika pulang
menating kanakkanak riang
sepanjang jalanjalan ingatan
ke rumahrumah rindu
ke rumpun gubuk ibu
inginku tak jatuh lurut luruh
ke lembah pekat rahasia
terjerembab dalam sebab
aku ada dari tiada ada
pertama aku berkembang
di akarakar cabang
tinggal di batang tunggul
dekat rawa sebangsa desa
di mana sawah lurah payah
suara kodok serak parah

di ledok sawah sadrah
tempat cacing urat menyerah
dalam doa zat menolak rajah
si bayang dosa kaki yang antah
aku diuraphidupi pospor
tanpa paspor tanpa pastor
angin tak sampirkan aku
di gantar kering ambigu
di negeri asing rindu
seperti kamu di laut kasur
butuhkan benangbenang sulur
rangkul atau berahi debur
sambil berbaur ngebor inul bujur
sumur sanggama sangkur
sarapanku doa shalawatan
salawasna kata-kata penuh bulan
berkah tuah alam, tuan kearifan
aku raja, aku pun hamba
jadilah hidupku
pengkuh kadang angkuh
berkawan anak-anak lucah
berkayuh kayu galah
melamar darah waktu
dalam sejarah yang sibuk
akulah cendawan
menyiang harkat mayapada
munjung menjunjung martabat bahasa
cintaku ki semar di tanah para dawala
cakap sahaja hidup perih menjulang juang
antara umur tua bangka penuh prasangka
umur muda penuh gelora
siang datang meruang
ditabrak gamang
siang bagai burung caladi toktok ngetuk dahan
bikin rumah meriapkan rasa honcewang
kata God, hurippati papasangan
disihir matahari
siapa nendang tubuhku tanpa kaki cahaya?
siapa tantang mata malam yang hitam?
siapa yang terusir jadi sebutir pasir?
apa anakanak temukan dunia ibu sendu?
dari dunia tanya itulah aku muncul
bertandang mencangkul hidup merdeka
terangi pinuspinus yang renta
aku pikun terkurung siang
hadirku jadi mangkir dari makna ngukir
tapi biar tambah hidupku syukur
atas tiada laknat tiada jahat
aku urung murung
demi kelangsungan si cucu wulung
mimpiku penuh pantai sobek
penuh ombak, tapi tangan karang merajutnya
dengan jarum binal banal kebal berdebar
ya pulaupulau robek lalu buncah pecah
tangantangan hujan menyatukannya
: konon hutanhutan tak lagi lindung
sebab rakusnya kuasa si anak dewa
yang bangun kerajaan olimphus
ingatlah wahai peladang
pada puing aku hidup tak pusing
maka mengabdilah
agar tumbuh sejarah baru bawa lampu
agar sebuah lorong penuh ngaben
di mana aku pun niscaya siap abu
dihangusrindukan
aku makhluk tanpa kartu penduduk
sebab identitasku ada dalam kelam
tubuh cahayaku bekerja
menolak tangan memaksa paksa
lahan gambut jadi api
jadi uzur
ada perasaan ambigu
apa orang yang datang ke aku
sepenuh rindu atau palsu
ketika segala lahan dinisbatkan
siap jadi peradaban katanya maju
disulap jadi silap kota selir si jelita
akulah lumar kelas pekerja
segugus hidup mangkus
sebelum mampus ditumpas sepi
dirampas pati
aku lumar limar
supa sepa dalam cahaya tapa
dibawa kanakkanak
ke pengungsian ke pengajian
menarilah aku
sampai malammalamku mati
sampai kupu purbalarang dengki
di punggungku
menarilah aku
sampai suara lisung sunyi
selalu aku dalam ruang siang
ditumbuk gamang kesepian
menyahut burungburung luka
di dahan ranting  air mata
lihat gurun pasir
anakanak yang terusir
dari negeri takbir
siapa pandang tubuhku
tanpa cahaya mata malam
yang jelaskan aku ada
di mimpi dunia garang,
di situlah anakanak temukan
ibu sendiri mengaji
perih dadaku
dari kamar gelap aku muncul
sebagai cahaya
hidupku jadi merdeka
antara damardamar siap renta
menusuk langit dan musimnya
aku terkurung dalam kisah siang
hadirku seakan mangkir
dari hidupmu, duh panji wulung
mimpiku penuh pantaipantai sobek
meski gemuruh laut menjahitnya
dengan jarum rasa takut
pulaupulau robek pecah
tangantangan payah
menyusunnya kembali
jadi  setia yang sakit
seperti beling dalam ingatan
ketika hutan  ibu terbakar
separuh catatanku terkubur
timbunan kayu yang jadi debu
sebuah jalan ke abadi mengabdi
aku selalu dalam gamang siang
seolah tercatat tak berharga
sebagai tak terduga
sampah kampung
tanpa kartu keluarga
selalu dalam rasa ragu
apakah orang memandangku
sambil menanti
tangantangan malam bekerja
menyusuri uraturat tubuh
kelaminku dalam sejarah roman
romanku roman kisah
anak manusia yang kembara
tegaskan waktu uzur tersisa
di mana aku bagai hamparan
tidur pun ngukur umur
atapku langit dan tanahku segala
tempat tubuh bebetah memercaya arwah
lelaki yang baik
yang mengatur segala tabik
segala lacak relung semesta
dan angin mencatat cahaya
hidupku tak pernah dengkur
berjangkajangka tersulur
mengejar bayangbayangnya
yang izinkan aku mabuk malam;
bulan suntuk sibuk tatap beradu
saling mengangguk
aduh adah! siapa bilang ini waktu terkutuk
romanku roman seharkat (manusia)
kisah pejalan malam dalam kehidupan
sang diri cuma beri arti
bagi tiap tubuh
menyibukan pekan liburan nyawa
terkutuk cinta sungaisungai sunda
aku lumar bimbang di suatu datang
bulan malam gamang di suatu siang
tercincang menjelang sinar matahari
jelaga sinar iri hati


pada malam mengiba itu bintang biduk
menunduk
cahayaku berjalan menunduk laiknya hidup si kantuk
lalu terhampar di ruasruas waktu
lalu terdampar di bukubuku
siapakah aku?
aku tetap lumar
melamar allah akbar
di mana pun ke mana pun
pasrah sadrah
aku lumar tiba di ranjang
raga ragu bajumu, panji wulung
tanah angkasa mendekap
mendekatlah, God
sebelum rawarawa itu pahatu
kehilangan air pohon ibu
hutanhutan lindung pun piatu
hilang jaga, hilang bapa
tebingtebing kian yatim saja
duafa tanpa tali akarakar
kasih menjalar
tempat pemanjat merayap
merangkak lalu melompat
sebelum sekarat di ini dusun jagat
sanak famili sibuk di rumpun bambu
mengoprek tubuh seakan cahaya
padahal terlunta malam bulan sendirian
lebih aku dari seluruh aku
yang jangat dari gegat sukma ngengat
di mana cahaya sibuk embara
romanku roman kisah
si anak manusia yang hendak pinak
tegaskan sisa silsilah
di mana nyawa bagai sejarah
tak pernah tidur
ngukur umur
atap ubunku cukup langit
berkawan landak, tanah
tempat segala goa
tubuh betah
percaya arwah
kebaikan tuah
aku ukur semesta teratur
dengan sekayuh tubuh
melacak filsafat berkarat
mencatat daun cahaya pupur cacat
disebabkan siang julai kesat
hidup bagiku bukan dengkur
sebelum bayang mimpi benarbenar gugur
dipukau pukangNya
“nya” yang izinkan aku khusuk
lebih mabuk dari rama yang mabuk

bulan sekar kencana terenggut
oleh sinta yang suntuk
sibuk beradu adu tatap: siapa
paling sahaya di tanah lembur pitaloka
siapa sahaja di tanah sedulur kamboja
aduh adah! siapa bilang ini waktu penuh kutuk
mungkin bagi si sesal yang kikuk
tidak bagi diriku
tidak bagi si pungguk
yang kekal rindukan tuhan
aduh adah! romanku roman yang nitih
si anak bunda yang merintih
di malam lirih
titahkan agar tidak tertatih
‘tuk rengkuh segala ‘berianNya
seperti jerih sungai suara ajrih
pusatkan manusia tambah semadi rasa
aku lumar segugus
sebelum mampus
sebelum mangkus
ditumpas pati
cahayaku bulan pudar
terdampar di bawah langit timur
merangkak ke pepucuk sajak
sebuah menara di mana makna terpacak
cahayaku bagai azan bersumpah
membentak haji rojak
yang masih mondok
di tubuh si nyai denok
cahayaku lumar bawa kabar
ke negerinegeri siar
ngarai sepanjang jawa
pulau memar nanar terhampar
adalah telepon genggam yang bergetar
sebuah tahta meneleponnya
sebuah kuasa me-misscall-nya
aku ke gulita lagi
roh ke galatia
saat paulus nyambar tangan bulan
begitu nasrani sang sunyi sendiri
ke gegap gempita
ke jaman keras kerasan lagi
patilasan tubuh tumbuh menghampar
antara rebungrebung bambu
antara rumpunrumpun benalu
antara garing akarakar, basah batubatu

antara gairah gelap dalam subuh sadrah
lumar ki panji wulung
selir milih tersisih
antara hidup dan lembah mbah
mengenang sawahsawah tadah
hujan darah
antara sirah nyai yang mungkin syiah

antara buah jambu jatuh, jatah kelelawar
lapar mengganggu
antara ular melingkar
dekat arang bambu, antara kisahkasih menanam
kacang, mentimun di selangkang ladang subur
antara pohon karet pembatas baptis
antara hak tanah pusaka, hak waris
raden belanda
antara parit kecil kebun sawarga
kebun naraka
aku berkembang sebagai lumar
seperti ular dewasa liar
kampung lahir
kota lahir
seja nyaba ngalalana ngitung tatu ngajajah
milangan kori
sinjang songket mulang ka minangka minang
gajah bengali menawan maskumambang
bagai tarawangsa ngiris sembilu
bagai kelompok ketoprak keringat cahaya
di panggung lembah, ketika lebah-lebah
berkerudung berkidung
tubuhku sadrah berbiak baik
di ketiak tunggul, dengkul ki hutan belantara
andayaningrat menjerat khawatir
dengung anakanak nyamuk sibuk
menyambar pundakku
aduh adah! aku tak punya darah amarah
cuma getah cahaya
malam dan anakanak ki moesa
ganyang tubuhku sebelum mereka
jadi menak di manamana kuasa sunda
bersorak bagai si gila mengarak arak sajak
ke pengajian ke perjudian ke pergunjingan
di mana janji dimainitilkan
aku lumar limar ki sunda
di ranah jawa, merindu si inang inomayu
yang titisan hyang moyang pagaruyung
aku dibaringkan di kantong ki panji wulung
antara bulan dan kuasa malam
antara shalat sebelum waktu kiamat
lalu ki panji wulung tadabur ke kotakota selir
bertabur getir mencari kamar bertabur mazmur
agar lagu agung munjung dari jiwa yang makmur
jiwa yang gembala
jiwa yang bagai isa siap tebuskan dosa
ketika siang aku saksi di kantong ki panji wulung
di mana dia cari tempat nyai andayaningrat
dukun guna wisesa, panolih, patih sokadona
lembu jayeng pati, raja dewakeswari, prameswari
selir: tanjung sari, sekar kencana
andakasura si juru dusta
bayangbayang malam kian jangkung
diasingkan tukang lukis orang murung

yang kini jadi batang bugang agung
hutanhutan ibu bagi diriku
tanjung sari ibu tiri yang baik hati
kera darwin yang ngakak
burung merak
oak, landak
adalah sohib sahabatku
yang tak lunak pada gulita
menjaga kisahku, gairah nyali nyalaku
neonneon berjuang
silaukan hatiku yang miris
tapi tak digubris
silang siasat kerjaku jadi abdi sang raja
ketika berdekatan dua sukma
celakanya cuma malam, lurah hutan
menakar cempa panji
akhir jangkarkan jeruji tahta
sebijak getah nangka
maka di kota raja
luluhlah namaku
jadi biasa hurufhuruf pasti binasa
dimainkan ki giling wesi
tak diperdulikan si raksadona
si bengali di punggung gajah
yang menawan putri
tanah bergaris
penuh petakpetak
kuasa raja; untung rugi
jadi trotoar bagi si pejalan
si pedagang
aku risih di kantongmu, wulung
ingin nyisih saja ke sungai tepi sunyi
ibuku yang tak mangkir janji
sebab sunyi bukan pidato tuan panolih
mungkin penitih yang menusuk
kulit telunjukmu
jangan marentah!
di sukadana, kini bukit dilamar
traktor tangan sang kuasa naga
ya aku embara
ke kota-kota penuh batuk
kota selir dari dusun lahir
sampah kabel sampah batu bebal
menumpuk
di the bandung terkutuk
ke danau purba yang tinggal jagal
ke padalarang karangkarang
batubatu kikuk
antara makhluk sibuk
cari harta setumpuk
aku bikin riwayat
pada semesta takhiat
semenjak bunyi kentrung
lodong lahang

aren yang ditanam rakyat musang
disayang sayang hyang gunung
aku terangkan jalanjalan ke jurang
aku terangkan lubuklubuk curam
aku terangkan terjalterjal karang
bagi siapa ingin ciptakan lampah
pikirkan polah
aku si zikir mencari
restu embun, restu cuaca
aku si pikir siap lekat
di tubir bibir tanpa tidur
bayangkan angguranggur kehidupan
berjatuhan sebagai ciduh wahyu dari mulut
idamkan rumah benderang
karena tubuhku, jiwaku
tanpa kujang garang siap perang
aku lumar sebelum jadi tawanan siang
sebelum dulur terdampar
kamu apa? hama? sebelum maut
bilang apa kabar di mana nakir munkar
ketuk palu: kau ingkar
aku supa tapa di dusun lahir
embara ke hilirhilir kota selir
dibawa ki panji wulung yang mahir
aku lihat kalimatkalimat awan di langit
mereka mangkir dari bulan
‘tuk sekilat saja biarkan diri
dibawa cahaya kiri
ke kremlin untuk berguru
ke stalin tumpahkan gerutu
tapi aku punya panca dasarku
sebelum pati nitih kanjeng nabi
ada kilat menggambar palu arit
di tanah allah di mana bulan bayang
aku hampir hakekat sesat
maka kuberikan terang kepada orang
yang bersinjang songket nyai tanjung sari
yang dirundung si prameswari
kupahami jaring lelaba
yang menghadang saat hidup terus rembang
lelaba manusia yang sibuk dunia
tangkapi makhluk, tingkahi kutuk
yang kepincut
jejaring kasih, cinta, usaha, kuasa
aku lumar dari kitab kejadian
titis tulis hutan malam putih cahaya
kucari titktitik bintikbintik bulan menggambar
sunyi; kapuk randu terapung terdampar
dibawa angin tak bingung cara menggampar
ke puncak gunung, mengambang bagai maskumambang
laksana layanglayang mulang
laksana semutsemut tepermanai
dibadaikan amboi
cahayaku bagai bulan pudar hampar
di tahta timur

samar di barat sanur
bersitatap, bersiragap payudara gadis bali
tanpa bikini
aku bimbang di kantung ki panji wulung
limbung punggungku arahkan cahaya
jadi kidung kawisaya bagi si putri buyung
aku cuma supa yang tapa
dalam cahaya ketika hidup menjamur
di tapak setapaksetapak
air raya bunga bank kata
gedung julang lewang
jadi wawacan kaum segala lutung
kasarung di dangding pilemburan
peuting jemplangjempling
saat hurung ngempur cianjuran
siapa menakar lumar dengan yoga
menawar cahaya dengan lampu
siapa menakarku di mejameja judi
yang penuh keringat, berahi
menukar pelir dengan bola biliar liar
sambil ngukur pusar
si bahenol demplon seksi asoy
duh, wulung hantar aku pulang
ke indung ke sokadona atawa cempa
aku bosan tandang ke kandang
si giling wesi
aku ingin keluar dari kantung ki wulung
lalu menampar asapasap ganja
yang nyebar berdenyardenyar
setan gebyar gemebyar
menyilaukan hatiku yang memar
redup tanpa sinar yang menyambar
segala ragu segala lagu
anakanak yang suka disko
ke restoresto
kapan ke kampung, wulung
lihat rebungrebung iwung
menengok indung kandung
dapur penuh rangasu
samping sungai tempat batubatu
sembilu ditabrak perahu laju
yang dari gebog cau
cuma perawan yang tak ragu
dengan sinjang setengah badan
membasuh pilu
mencuci rindu
popokpopok si madu
tubuhku fana
seperti detikdetik masa
milyaran titik
tapi cahayaku
sukma yang embara
di sakusaku suku
di sukasuka bumi
teringat desi sakit
itanaya di asyifa
pernah berwisata
ke taman bunga fawzy
jadi catatan ingatan
salabintana dalam kenangan
sebelum matahari
enggan surupkan kisruh patah hati
orangorang berhutang
yang bayangbayang
sebab menolak mangkir
dari takdir di tiap saban sabun dzikir
siapa lindungi habitatku?
aku cuma rakyat biasa
terinjak gajah tengkulak, lalatlalat
‘kan binasa
sebab semerbak kuasa
sebentar cahayaku bertukar rupa
dengan rupa purbasari putri
sebelum si lutung
jadi guruminda
aku sibuk dalam cerita
seperti babat dari sawah sri
sebelum dibuat (panen) , diruwat nubuwat
sebelum purbalarang kian jorang
dibabat seks likat
ah, aku cuma emban
aku cuma dayang
abdi ki panji wulung
ah damar wulan
minggir saja aku
ke damar wulung
ke akarakar kelapa
memandang yang menjulang
pasrah lapis langit
cinta jaga pada segala daradara
akhwatakhwat
sebelum kiamat
dalam jejak pesantren kilat
mencari hakekat
melanglang miang sebelum miang
ke kota selir anak si raja moksa
melancong ke lembah embah
tempat dulu aku lahir
diteriaki selokan gunung
yang airnya ngalir bening
memahami mata tuhan
kekuasaan yang menyeluruh
akhwatakhwat itu
mendamba sunyi di saung petani
mengenang nyi prameswari yang kumaki
menimba letih nyeri membasuh
dari sumur tua
hilang dahaga
sepotong tubuhku
jadi saksi
duhai ilahi
betapa ada orang
yang nyiksa diri
bagai lelaki di pohon bodhi
tanpa belati
cuma mereguk sunyi
atau membela diri
dari kesumpekkan, kepenatan
kota raya yang mampat doa
sehari semalam saja
tualang melihat bintang
yang tak terjamah
berbenah rasa lelah pasrah
binatang malam apa
suaranya begitu syahdu
rumput basah
mata basah
karma sendu
tubuhtubuh
penuh tatu, teluh
aku pahami mereka
ketika sunyi malam
tawarkan cahaya
mereka bersorak
mereka rebutan
kasih sayang
memeluk tubuhku
mencium mulutku
selama malam ada
hidupku ‘kan terus ada
pabila penguasa tak kelewat
bejat, mengusirku penuh kuasa
getah cahaya, getah petuah
bagi ki susah
pepeling dangding bagi ki dengki
sebab aku tidak tumpak di pundak
wawacan macan
perantara muasal ini tanah
terbelah dua: yang pro yang kontra
samasama terkutuk kuasa tahta
sungguh mayapada yang luar biasa
lirihlirih pada semesta
sebelum mereka renta
salah seorang berdiri
menjatuhkan tubuhku
cahaya bergerak
searah jarum waktu jatuh
selintasan seperti kilat carok
serentak nulis sajak samasama
mereka lukis wajahku pula
mereka teriak bersekutu:
lumar!


waktu gusmus pengajian
malam jum’ah berjamaah
aku ada di kopiahnya
aku ada di sarungnya
di tasbihnya
di senyumnya
di tangannya
di sajaknya
menggandeng jiwaku
mengerti benar gusmus pada ini hidup
yang terus rembang
hujan datang
menghitung luka bayang
memahami benar gusmus
pada dagingku
pada nyaliku
pada cahayaku yang gairah
menyala
menjelaskan perkara
menakar sengketa
seperti memahami agama
lumar ya aku lumar
cahaya yang membaca
datang dari dusun fakis haji
tempat ular tafakur
sepanjang kenyang
meradang ketika lapar
terinjak ketika ternak-ternak
kesasar
gusmus pulang ke asal
tiap jum’ah sambil jamaah
sama orang-orang sahaja
di desa biasa rembang mustafa
ya gusmus menerangkan negeri dagingku
dalam sajaksajak gusmus
tahta disingkirkan kehidupan diruhanikan
aku berkacakaca
bagai kitab kuning di meja
ya lumar ya lumar
ya aku lumar di mata gusmus
seseorang salat di gereja
bernyanyi di surau tua
sama saja, wiridan di kuil budha
tafakur di borobudur
mengajakku berpuasa
membawaku
canda doa bercengkrama
candicandi tersenyum
melihatku yang begadang
orangorang ramai
orangorang curiga
orangorang penuh prasangka
dalam tahta dalam agama
ada jendela
ada lentera
ada aku asing dan sunyi
ada katak ada tokek
ada sajak ada baju robek
siapa menggertak
gerobak
orangorang yang dagang daging
di pasar berahi
di riba rimba judi
di pabrikpabrik si kuli
di barakbarak tki
aku lumar berkawan landak
si cendawan ngaku cahaya
di semesta raya
tempat orangorang wisata
kulihat bayangan neraka
seperti jakarta
kulihat bayangan sorga
seperti papua
seluruh penjuru rusuh
pemancang sibuk
menahan hantaman
orangorang tahu
burungburung ditembaki
sakit hati para sufi
di ruang gusmus
ikut tadarus
mengaji memahami
riza yang gagap bahasa cinta
ah walet saja seekor
di goa kelelawar
terkapar mampus
disengaki asap humpus
menggantung saja jadi bangkai
atau keluar
aku lumar sahabat yumar
sahabat ular ketika pinem
belajar syair mengukir
keparat
mengejar si tukang daging
sekerat hingga tersesat kesat
ke pasarpasar perkelahian
ke pasarpasar perdukunan
tabib dianggap cahaya
menggantikan jabatanku
sebagai penasehat
di saku baju
tukang kayu tertidur
mendengkur seperti tekukur
dekat tub menindih tubuhku
gergajinya di pantatku
kamu tahu gergaji?
ya aku pernah ke kota
dengan si panji wulung
ke toko besi
sewaktu si panji ingin beli palu arit

tanpa idiologi
maghrib tiba
si tukang kayu kabur
pipiku mulai merona
aku ingin dandan dulu
berselendang cahaya
ingin kencan dengan ki sunda
dimana godi suwarna mirip drakula
memakan kata kata
ingin kencan dengan ki jawa
di mana para priyayi tumbuh sunyi
ingin kencan dengan si nona minang
dimana abak dan mande
izinkan riza tandang ke bandung utara
sebelum gadis samawa yang tai lalatnya dua
matanya bahagia
panjang rambutnya dikuncir
buntut kuda
susu kuda luar dari sumbawa
gairah gadis di kasur lembur
dago timur
ketika malam aku jadi ada
di sakumu kini terpelihara
bagai ikat rambut
aku lumar
kamu apa sebelum bugang
tinggal bayang
sebelum kamu mati: ngik!
angkot tinggal rangka
angka tinggal jangka
mesin mati besi mati
aku lumar metafor malam
kesedihan terus hambar
digambar digampar
aku lumar
kelaminku rasa malu
jiwaku cahaya menyamar
dalam kabut duka cinta
ya aku lumar yang dilamar
munkar ingkar
akar-akar menjalar
mahpar
har
ukar!
ada pegawai negeri berseragam
aku tak suka kamu terima gaji buta
kerja yang nyata, dong
aku lumar cendawan cahaya
ingin tumbuh di ragamu
ingin sembuh di hatimu
melumat habis malammalam
jahanam
mengikis diamdiam

gerimis di lebam batu
aku lumar
penebus siksa ibu bapa
pulang dari ketiak haram
pulang dari dosa jadah
jadahjadah jahiliyah
denyar sinar
kelekar sesumbar
ketuncar cacar
bocah belajar
di pantai anyer laut matamata dulu
God, lumar bukan yumar
di kampung bambu
di rumpun ibu
begitu awal aku
memahami dunia
kegelapan dan kejauhan
sungai menangis siang hari
kau tahu kelak ‘kan tinggal kerak
batubatu pasir
di dusun aku damar
suluh, obor atau semacam lentera
ketika semesta butuhkan cahaya
atau cukup restu
matahari bakari daun kering
sampai sungai itu tak menangis lagi
melainkan menari sampai
mabuk senja: inggit bahagia
God, waktu itu kamu ke kebun
mencari aku
sebelum pergi ngaji
di surau alit kyai
ngajari kamu shalat, silat
lumar penerang, penayang
ketika pulang
mencari yang lebih riang
sepanjang jalan ingatan
kanakkanak
dari mana aku ya lumar
dari apa ya aku lumar
dari malam
dari ibu yang malang
dari pohon yang meradang
merajah bayang-bayang
menjarah petang
yang datang ketika sawah
menyerah ke dalam lumpur
payah
pada malam aku bekerja
bagai penyair cahaya
mengukir malam dan bulan
pada siang aku cuma doa
cahayanya itu lho
sungguh lungguh
bagai aisya pakai kebaya
ke pematang
amboi aku bahagia
sebab ia juga lumar
lumar si punya lubang nikmat
nan samar
yang kuingat dari kampung
ya cuma aku
lumar di madrasah
ingat aku diri sendiri mengaji
di masjid aku ingat aku
jagat alit penuh lumar
maghrib tiba
mula aku lumar mula segar
malam ‘kan melamar
lumar rindu
damar lampu
lumar ragu
menyibak waktu
berangkat kubawa doa
ke madrasah ke kuliah
ke bangkubangku membaca semar
bahasa yang samar
di sejarah kaum dawala
bercakap dengan cahaya diriku
jadilah kekuatan
tumbuh di hatiku
hidupku jadi sejarah
dari kanak di batubatu
dari remaja di rumpun bambu
dari dewasa di rindu ibu
sebelum aku kawin
maskawinnya lumar ya lumar
senyum tawa hambar
aku sedih jadi lumar
terkatung di siang tanpa
kau sebut cahaya, wulung
terperosok jurang tercampak
perempuan malam
jubahku hancur
sajakku remuk
ingatanku lebur
dalam ombak berahi
yanga adalah trotoar
di masa depan
aku marah
ingin pulang kampung
melihat anak jadah
anak sejarah
tuan tuhan paham
tak ada pembenar
semut hitam menegur:
lumar jangan begitu
semua ada jalan
dan ilmunya masing-masing
dan pabila aku mati
aku lumar tak bisa apaapa
tak ada cerita lagi
cukup puisi
di kening anakku
aduhai alangkah
baiknya ekor cahaya itu
mengembalikanku
ke rumputan bambu
membangun kuburan
sendiri dari sunyi ke sunyi
ke sunyi yang transmigrasi
beranakpinak, air hujan
tumbuhkan lumar baru
lumar ibu: cahaya ini manusia
lumampah laku kesadaran rindu
aku mendengar madah
si tukang gembala domba
di lembah di bawah
bukit gundukan merah tempat puyuh
bersarang; peladang pulang
dari seruling dangding
dalingding anginanginan
sayupsayup
di ngarai dusun abah
jendela rumah tertutup
jemari daundaun
tangantangan ranting
melambai mengharap
bibir perawan tak terkatup
aku ingin mengecup bibir riza
bibir mira, bibir eka, bibir inggit, bibir lena
bibir iis, bibir awit, bibir ivon, bibir rukmi
bibir segala bibir setiap tubir getir
sebab aku lumar aku cahaya
irama sasak gantung
irama kita bergoyang
aku terperanjat dalam kutang
aku rasakan hangat ya hangat
mendekap erat
aku lumar tumbuh di mana
saja, di mana ke mana saja
asal aku betah dan kau tak gundah
keluarga aku tinggalkan
nun di negeri jauh yang teduh
rumpun cahaya bambu
sungaisungai ambigu
mendua rindu
ke sawah atau terus melaju
menabrak batu-batu
aku beradu cahaya
dengan bulan
temaram
sebab bukan cuma aku
menatapnya bimbang
butiran ya zikir di tanah
memandang wajah bulan
penuh cinta
penuh tuah
penuh rajah
dari shalat tengkurap
serupa lele
lelah malam mengerjapngerjap
madu ingatan:
senggama para pengantin
dosa likat
dosa nikmat
di tubuhku
menggodaku
duh aku ingin pulang
saja ke mana angin
datang bawa kabar
aku takut menjelma
bukan lumar
tapi asap tebal
dari merapi bagai diriku
di lembah ibu
sebelum kembara
tinggal tunggul
sebelum bugang
sebelum meregang
sendiri aku tengah malam
sunyi tumbuh cahaya mengabdi
terus menjadi
pada langitlangit ilahi
bulan menjatuhkan peristiwa
gamang bayang
telaga warna, goagoa
jejakku, jejak cintaku
mencari tuhan
sebatang rokokmu
asap menegur kekosongan
genderang perang dengan setan
bertempur dengan laknat uzur
aku terus cahaya
mataku awas selama malam
bagimu, mata sembab
pada lembab, sebelum setiap
tumbuh bukan peluh keluh
lumutan, basah bahagia
air mata embun berbekas
lelah leleh cuaca
pasrah ditumbuk detikdetik waktu
aku telanjang
kamu mandi telanjang
aku melihat selangkang
lumutan
indah bagai puisi
aha, puting memerah ati
megap berahi
tapi tunggul bambu
jadi penghalang merintang
aha amboi
aku suka mengerang
bawalah aku mengembara, wulung
allah akbar
ya selembar sekadar
suara bukan cahaya
seperti aku
pintupintu motifmotif lampu
hiasan kaligrafi bisu
bukan siapasiapa
bukan apaapa
sahabatku juga
ketika kamu wulung
ambil shalat rakaat
dan aku ikut tergeletak
dalam takhiat
di batubatu batabata
batu ukiran penuh jejak
mereka pergi ke alam ramai
siapa? mereka saja
menjelang hidupku pun pergi
ke kontrakan ini dunia
terbangun di saku bajumu
kamu butuh cahaya
di jalan-jalan raya
kesadaran kedua aha
aku kisah berkah
pembawa cahaya
bukan petaka bagi dunia
lumar tak pernah bunuh
udin, munir dan marsinah
lumar dari rumpun ibu
setia melamar
sebelum memar
ketika seseorang mencuci
pergi ke perigi
pakaian kotor, jiwajiwa kerdil
tubuhtubuh dekil
watakwatak degil
aku tak berdaki
aku di saku bajumu
dan simpan dulu tuan hulubalang
segala hyang atas restu tuhan buyung
aku di tembok sumur
sebelum kau timba cahaya
menghapus nyala, dahaga
di siang gamang
meradang meregang
sepatumu kotor, taftazani
dan kau di barat
jadi penghulu menjagaku
diriku menjaga aku
mengurapi cahaya
menyaingi bulan diamdiam
sebelum sedekap tersalib
sebab cinta, lestarikan yang bening
yang sepantasnya dari semesta
sepatutnya
aku di saku buruh
dan tani
menjadi taji nyali
aku di ho chi minh city
roh nama besar
pejuang demokrasi sejati katanya
sunyi bagai mao
lenin menggerutu
di kamarmu
ia lumar juga, bukan?
seperti aku
silalatu di retak tembok itu
ada debu pada gambar
che, castro, capez, dinejad
membayang ingatan
demonstran
dan aku saksi
di sloganslogan
di famfletfamflet puisi
di negeri ini
di panjipanji proletar
bersatu
kremlin seperti wajahku
bercahaya di malammalam
tanpa tuhan
ranjang tanpa bikini
melamar mati
mahasiswa iba di trisakti
aku melihatnya
tertembak terjebak siang
rezim bangkit lagi
mencakarcakar ya lumar
tubuhku
tubuh harga diriku
mendesak barisan tentara
barikade kekuasaan
aku keringat
mereka laknat,  katanya
aku bersama
berkawan terangkan cahaya
warnawarni kehidupan
kelas-kelas pekerja
hilang batas
harapanku bagai harapan komunis
dugamu aku hina
aku melawan malam
kejahatan di istana
keberkahan manajemen
aku lumar dari dusun
aku lalu memekik
bersama langit
bersama hujan
tanah
tumbuhan
nyawamu
mungkin semacam cinta
di kampung lindung
di tebing dangding
fajar nyingsring nyingsing
dan aha ngising
antara si tukang gembala suling
menyambut pagi
rambut
rumputan embun telaga
sempit
di ujungujung danau
cuma lumar yang hambar
membentak katak yang jongkok
di akarakar
aku padam
aku diam
hidup mulai lagi sunyi
dan lebam
namaku lumutan
bersama ganggang
menjadi silam
di mana putriputri kepayang
di malam hari
aku berkacak pinggang
menggantikan dewa mati
sanghiyang yang tinggal bayang
aku betah tanpa rumah mewah
daundaun gugur gering selimuti
aku di hujan datang
makananku angin
santapanku musim dan cuaca, waktu
aku seperti panu mungkin
di tanganmu siang hari
malam bercahaya
memantulkan semesta
seperti kumpulan bintang
musyawarah
bagai rajah
sekilas mungkin tuah
menyerang tanahku
mengurus cakrawalaku
menggerus
kawat-kawat berduri menghadang
batang pohon merintang
jalan kura-kura pelan
di sungai, mengharap kekal
sebuah irama gerak pada
sebuah satwa, sebuah nama
hutan adam
sekarang khusuk sibuk
mesinmesin tanpa kompromi
menuai pohon kecewa
di hatimu
aku memang lumar
bersahabat ular
rayap, serangga
dan akarakar
akan membacaku
ketika hari sudah malam
batubatu api berkilatan
senapan siapa itu tertinggal
senapan pengasuh buruh
kuli hutan perambah
pemberontak, ataukah
dari bukit lain
dari kampung rawarawa
terus aku ingin berkata
ketika malam mabuk bintang
sunyi bersama
bersatu musimmusim
bendera berkibarkibar
kapalkapal layar
di laut
mercusuar
memancar tumpahkan cahaya
seperti aku: saya
aku lumar
matamata di padang pasir
mobilmobil tulang purba
kurma ingatan
manis keyakinan
tangan abrahah
gajahgajah
berzikir
sebelum tandus
sebelum runtuh
gurungurunmu
menurun terang lagi
kuruksetra lagi
tentang minyak berbarelbarel
badai amrik gadaikan neraka
prahara duh aku cuma lumar
menghiba-hiba
cemar tumpah gundah
luruh keluh menghujat
buang hajat di kuburan kerap kumat
subuh kurebut
dini hari sambil kau ngebut
sebelum padam cahayaku
kuluangkan ngomong kosong dengan bintang
yang masih binar mars
gundah tumpah di dingin waktu
kerap kurap di tubuh hidup
cemar luruh, keluh menghujat
melihat kuburan masal
menggantikan sajadahku
tempat cahaya dangdutan
gebyargebyar pada hajathajat tuan
samenan pada munajat
apa yang aku bayangkan
ketika detik terus berjalan
ada alarm membangunkan tangan
dan cintaku
mengingat waisak namamu
5000 tahun silam
tuan dilahirkan
aku tahu
cahayaku mengendap mengertap
antara budha, hindu
antara patung-patung bisu
mengharap rindu ibu
baiklah pabila aku menjelma
dewa apalagi aku tetap cahaya
di tangan malam
pohonpohon jadi tampak membayang
jalanjalan memungkinkan setapak dan jadi tujuanmu
kerbaukerbau kau asuh menjelang tiwah
seperti seseorang yang kau suruh ke sandung
terus menderu
mengabaikan jalan batubatu dayak kaharingan
aku pun shalat
sebabagaimana kaupun tirakat
mengharap ketenangan
aku tak sempat
mencari apa pun
dari yang ditawarkan waktu
sebab aku tumbuh
dalam cahaya hidup yang tak rapuh
tak mengeluh
kudengar ricik
musik air dan batubatu
ganggang menarinari
dan aku bercahaya
kecuali ketika siang gamang
redup bahkan temaram
tanaman tumbuh rimbun
liar menjalar ke segala
keluh ke segala kisah
ke segala arah
menjadi rumah
tempatku asyik becanda
sebelum kota raya
sebelum nama-nama
berganti besi
kau tak jadi bunuh aku
wahai kekuasaan istana kota
wahai penjarah hati sedih
membawaku mungkin
di saku bajumu
saat sudi mampir di lembah
mbah begitulah demikianlah
tak habishabisnya pikiran perasaanku
sunyi dalam bentangan berdialog
nyeri sakit hati
tidurku mungkin merenung
kadangkadang ngelindur
mimpi, citacita bagai cika-cika
kunangkunang datang kuku kuburan
mengenang mayat
mengingat
pembantaian
di pulaupulau di ambon manise cinta
tulang belulang dan jiwaku hancur
kesedihan menjadi burung yang kabar
murung ke seantero raya
aku cuma lumar membawa cahaya
menerangi diriku sendiri
khidmat ulat dalam sunyi
di lembah embah
mendengarkan ricik cikaracak ninggang nidih
di batubatu sebelum mimpi embun jatuh
aku terkenang hutan larang
tempatmu melamunkan pesanmu
firmanmu: bertasbihlah
sampai angin berkesiur
ke timur dalam irama
yang damai
anakanak tak sempat
tergadai luka di akarakar
lukaluka bangsa yang membangun
negara
katak di rawarawa
satukan suara tanpa bendera
diserang serbuk baja
sebelum pembangunan
sebelum hutang
sebelum untung
aku menyaksikan itu
dan bersaksi bisu
sahabatsahabatku
yang di ladang yang malang
terus begadang memeras kerja
menanam palawija
jangan usir singkir aku
menyingkir biarkan aku ada
di lumutlumut, tunggul rumpun
bambu yang kau tebang yang kau
jungkalkan jadi ajal
ke mana perginya pengetahuan
tentangku tentang cahaya
bawa hifa bawa spora
yang ngempur di hutanhutan
dari sumur waktu
ke laboratorium
ke pemilihan umum aku bukan
si sakit jiwa
laboratorium
cairan penuh teluh
serangga
paspor renta penjaga sorga?
penjaga pintu ilmu bagai ali
si pedang fikar itu
membelah rancak kegelapan acak
meremukan jahilia
atas nama fatima yang ranum
bagai maryam kesabaran seperti aku
sang lumar hijrah ke tv
ditonton saksikan banyak orang
orang tualang bacabaca telantar
sasar rasarasa, benar aku
lumar yang menjelang malang
mulai hilang dari ingatan
digantikan neonneon samasama
cahaya dari zaman yang berbeda
aku lumar bukan lumur
bukan hina bukan motel
tempat menginap segala bayang
bukan tumang, aku cahaya
di rimbarimba, tak terjamah amarah
tersentuh kasih penuh seluruh
rahmatan lilalamin
penuh anwar penuh puisi
aku lumar ularular uwar
ubar malam hambar
seperti utarutar perisai ular
luar kacarkacar ijbar
terlantar terdengar kelenjar
kelenjar mimbarmimbar
seminar lembar ghaffar
nanar putar sangkar
munkar munkar munkar
belajar gelepar lapar benar
pengantar umur jenar
getar lebar puyar kabar
siar itibar kuncar
agar-agar
semoga tidak putus uterus
mendengar kabar lumar
aku yang hambar
memahami dunia memahami perkara
membaca korankoran kemarin
melihat buayabuaya hari ini
kekejamannya digantikan manusia
dan aku ada di situ berbaris penuh
cahaya, penuh warna di malam hari
pemimpin massa mencatat apa saja
sampah bandung sampah bandung
situ lembang hilang ditelan kabut
aku ke dalam kematian cahaya
ini dunia
seseorang datang lalu keluar
membawa aku cahaya
menggandeng, terbang
kelelawarkelelawar
dari pohonpohon
dari goagoa
aku meruntuk
orangorang terkutuk
orangorang biduk
didapuk
jadi kera corengmoreng
berekor memarahi
ular terus mengejar
bianglala menyingkap
tabir aku cahaya
datang sebagai lumar
dari hutan damar
ujung semaksemak belukar
seseorang datang lalu keluar
membawa obor di tangan
mencari aku ke rumpun
bambu, keluarga biasa
antara binasa dan bahagia
layar tancep korsel
dari manakah mereka
peradaban apakah
di rambutnya
sejarah dari kampung
dari bukubuku novel
afrizal yang teduh bebas
dari pitutur tekukur
dan cakapcakap melulu
menilis melukis lumar
di rambutmu sebagai
mahkota menyiangi bunga
aku lumar bukan yumar
mungkin senyuman mawar
aku cendawan cinta di musim
hujan, tidak menolak matahari
pesan, juga malam akrab
kyai ki hujan aku dengan
kelembaban kian akrab
aku seperti asapasap hutang
indonesia, menyibak belukar
tembikar padahal aku sibuk
di akarakar kayu ibu
tubuhku mengandung hifa
asal muasal dari spora
aku supa suka alfa
padahal aku punya karya cahaya
ya bagi anakanak yang pulang
mengungsi bermain lagi
di kaki bukit merapi
ya aku supa lumar
tak butuh klorofa
aku parasit sebelum
negeri ini benarbenar sakit
palu arit
aku ‘kan tetap bersama
merajuk saku bajumu
bru bro bramu
suku katamu
agar tetap merdeka
dari segala aku
dari segala gincu
aku tak perlu
peledoi cinta
berilah hambamu
uang upah buruh
aku lumar bukan
terdampar di gigir kehidupan
jubahku musim
sorbanku angin
meramal perjalanan
racun cahaya
jika anakanak bertanya
dan menanamkan tubuhku
yang cuaca
kuberikan cahaya
sepuaspuasnya, anakanak
sepulang mengasuh teranak
ambil tubuhku
dibawa pulang lalu
sebelum datang mengantuk
pulas mengaji cerita
di surausurau guru ngaji
anakanak melemparlempar
tubuhku ke angkasa ketawa
penuh canda udara dalam malam
yang riuh, pelataran surau
di mana kohkol dan bedug
ditalu dan tiang-tiang penyangga
mungkin hayatku yang hidup
penuh terlalu tetalu
dikandung kandang badan
dunia alam diam
anak-anak mincrak
aku lumar yang penuh suka
masa tan malaka musim
berikut ‘kan mencincang
masa angin yang ribut
ribet, ‘kan menjengkang
tubuhku, berputarputar
dibawa pusaran keimanan
yakinkan ini bumi berkah
tuhan
aku pencari
di sudut bumi, anakanak
sepulang ngaji mencariku
ke rumpun pakis haji
lumut di bambu, lumut
di kayu mati
“horee...uing memang lumar!”
dari malam aku cantik
tampak uraturatku penuh hasrat
gelegak berahi cahaya
seperti cuping cintamu saat kemping
mendengar orang keparat
dalam bir menggeliat mabuk
aku lumar si kampungan
datang dari rumpun bambu
dibawa kau si wulung
di saku baju sebelum kau jadi
khatib demplon, tukang khatbah pengganti mbah
kau katakan pada jamaah jagalah kehidupan
agar kau dapat berderma, agar kau dapat wisata
membolakbalik cahaya hilir mudik dalam cinta
seperti orangorang menjaga pohon kelapa
air yang turun
di bukit batubatu menjelang matahari surup
kau katupkan pintu gubuk
menjaga keindahan bintang
kau biarkan aku begadang memahami nafas bulan
saksi bagi lagulagu sangsi bagi sunyisunyi
sebab selalu suara kudengar atau orangorang siar
mencari kabar rumahku kobar mencari rahasia hayatku
aku lumar yang pemaaf pada mereka yang
insyaf, menjaga anakanak menjaga diriku
penuh lestari seperti dewi padi ciawi tali
aduh adah! adah mengaduh menadah cahaya
bulan serupa aku
aku di tangan melumar
menyebar keasyikan memerah malam
aku bukan jamur merang yang terlarang
untuk dihidangkan makan di meja tuan
sebab lelah kumainkan beta punya cahaya beta punya
irama di sungaisungai cakrawala yang airnya yang batunya
asyik bercengkrama sebelum lembah memangsa
aku lumar dalam dingin kehujanan di pintupintu cahaya
beranak pinak seperti sajak di tanganmu, kasih
aku lumar cacah berburu mijah bikin ulah
tubuhku menipu kaum pemuja ini dunia seolah aku
permata mereka tersaruk sibuk ke bukitbukit air
mangkak merangkak sibuk ke lembahlembah angin
mencari kabarku, padahal aku tumbuh sembuh
sembab pula di hati mereka, cuma mereka kehilangan
sangka; aku lumar bercakap dengan semesta yang samar
angin mengigaukan kicau si burung kedasih
si burung cacing di arenaren di emperemper jurang
aku berteduh di saku baju muntahkan terik siang
membakarmu yang tak terbakar
pada batang dan daun singkong
pada batang dan daun pisang
pada batang dan daun laja lada tanah subur
masih cerita, tak ada rumpun bambu di sini, tapi aku menggerutu
merindukan burung cacing kunangkunang dan kuku si mati
aku melayat duka yang gamang doa yang terhalang tiang
tembok rumah pagar petuah warnawarna putih
lautan dan angkasa
kamu berwudu barangkali
mana tempat ikhwan? katamu
dan sepatumu tersimpan
di rak indonesia raya dekat gerbang bendera
wadah-wadah celaka seorang nelepon dengan suara nyaring
marah bising adik rungsing
aku cuma lumar
bersyukur dikhidmati siang
bagai bulan seniman kemarin senin
daundaun rontok
cuping kuping rontok
kecemasan warna kuning
pupur dilamar matahari montok
meraja hitam jadi raja
tapi aku bertahta
di saku baju dengan menjadi
bayang jadikan dirimu
pula cahaya bagi jalanjalan
wisata bagi setapaksetapak agama
seperti diriku bagi lembah waktu
bagi sungai gadang panjang
yang ngalir ke alamat laut zikir
laut pikir, sebelum lalat menginjak
nginjak wajahmu dalam diam
dalam dengkur, rangka kerangka duh!
orang sibuk lalu lalang mengungkap
belukar mencari diriku yang lumar
bukan ular aku ingin menjalar
pula membangun kubah, candi mekar
ditingkap kilat cahayanya
pada kebunkebun pak tani
pada ladangladang penghuni
pada padangpadang sejati
pada tikartikar pengungsi
pada tendatenda merapi yang sunyi
aku bagikan tubuhku
aku bagai panu di tubuhmu
kadang menjadi ayah
ibu
anak
kadang mengganggu
sajak selalu aku berbiak
cahayacahaya pesona
di malam hari semerbak
menyibak wangi nyeri
wangi luka semesta
kehilangan hulu sunyi
dimana buahbuah manggis
pernah jatuh mengaduh
ke kali mati ke jejak hujan
yang garing cekungannya ada
mengandung irama
aku kadang hilang bentuk
dalam makna tapi menjadi ada
di saku bajumu kan bawa aku
sebagai luka nyaris bulan tadi
malam yang tiris, aku tak menggubris
tirus bayang samar tapi lumar
sejati juangku sejati kesadaran
kesederhanaan mengabdi
pada ini negeri yang tak habishabisnya
meluaskan tanah untuk ditumbuhi
tanaman baik tabungan tak baik
duh, aku tak sesali jadi lumar
ngga apaapa sorga cahaya
jadi hidupku selama siang di dalam
hutan menjadi lain menjadi orang lain
yang bukan tentara
mungkin bala tentara
di padang pasir
yang tabah menghiba
namanama nuklir
jangan berperang!
aku bersama ceracau
kicau tanpa sepatumu
tanpa alasmu
aku hidup di panca roba
lumar kesayangan sang waktu
lumar keinginan sang saka
duh, terus duh terus
mabuk kata-kata ilahi
tarawangsa lumarku
sarat umur sarat uzur
di mana lembur singkur
bagai tekukur
tubuhku dari hifa dunia
spora pesta pora
di suatu kesibukan biasa
antara jangkrik imitasi
dan jangkrik sejati
cuma beda dalam gerak
antara supa yang bercahaya
dan yang tak bercahaya
aku suka begadang
tengah malam
dan kau seolah bugang
di tengah malam membatang
keasyikan bayang, mimpi
orang-orang kembali ke lupa
ke larva
ke supa
ah, siapa?
kau bilang aku jamur
bercahaya wisata anjangsana
aku ingin jadi diriku
penerang sekitarku
jadi berkah bagimu
pada pencari suaka jalan
sukasuka mengembara
aku cahaya ya aku cahaya
aku jamur cahaya
di malam gulita
suratsurat ke galatia
galasiksa
aku lumar sembahyang
sepanjang malam
bergumpalgumpal airmata
menjadi cahaya penerang jalan
pengasuh bianglala
kancah lembah aku lumar
punya cerita sejak aku lahir
sebagai penghuni sunyi
sampai aku mati tersingkirkan
dari kehidupan
aku lumar dari negerinegeri
dedemit menjaga adat istiadat
hutan, tatakrama cuaca
jangan ganggu sembahyangku
jangan ganggu rumahku
silahkan ambil cahayaku
aku lumar dari pedalaman
si jamur cahaya mengintip pulaupulau
yang ditaburkan seperti sahabat
berceceran
di manamana dari teluk wondama
bula sampai nanga pinoh
aku melihat
wajah wajah lusuh naas si penebang
kayu kurus membawa kampak
aku dibawa anak-anak mengaji di surau
dekat perigi anak-anak bersorak
padaku yang merdeka bercahaya
awas! jangan ganggu cintaku pada ini
semesta, nanti sporaku marah padamu
dan mendoakanmu jadi batu jantungmu
aku ki lumar yang berabad melamar
bintang dan malam; cahayaku menolak
matahari, sebab siang bagiku musabab
semadi perdalam rasa menanamkan
tauhid di dalam jantung puntung bumi
aku tak takut binatang liar karena
mereka bukan kekejaman ketimbang kuasa
istanamu yang bercakar seribu
aku cuma takut kekuasaan dari jakarta
dari penguasa yang menghiba harta hutan
pada pengusaha
demikian juga sebaliknya
di musim kampanye
aku paham akal busuk bagaimana aku
paham cuma buruk
sebab cuaca aku lumar bercahaya
merekam apa saja yang serupa getah getih
aku lumar dari pedalaman jiwamu
ketika kau asyik memandang
sisa-sisa bencana
aku ingin selalu tumbuh di jiwa
orangorang besar yang meluksi kesepian
dari balik jeruji penjara menuliskan
kemanusiaannya yang merintih
seperti cendawan salawat di gunung api
ceruk cawan menjadi cahaya di negeri
hujan. kawan yang ikut jejak, ikuti
derap langkah sajaksajak tegap
ke pangkuannya
aku ingin selalu rindu membuka sayapsayap
cahaya dikala gelap kau kira dusta
bukan dusta, ia cuma merahasiakan
beberapa alamat yang kau kirimi sepi
seperti bulan itu menggantung
bukanlah kekelawar
aku ingin selalu cinta, nelvi
di hati kaum pemimpin yang pengasih
yang membangun jalan perdamaian
tanpa memacetkan hakhak kemanusiaan
aku ingin selalu ada
di hati kaum penyampai
yang memilih sunyi dari amuk
dan ribut amarah
sang kabar yang tak memihak siar terik
aku ingin selalu tumbuh
mendulang cahaya
membagibagikan keriangan
menghibur anakanak nelangsa
yang tak bahagia mainan kata
membiarkan para peneliti
pahatu
mengkaji tubuhku
darahku dan gundukan
muasalku sampai habis
segala debat segala siksa
yang menusuk pikir dan zikir
aku ingin selalu cahaya
yang mengabdi pada  si benar
hatiku pulaupulau yang tercecer
terlampaui
kau ikut dengan sebuah nama
dan alamat
tapi mengapa kau selalu bawa
aku ke dalam duka
pada laut yang jadi bencana
pada tanah yang tumbuhkan gempa
kau tak sanggup mengukur
menjangkau hari kelak
pada sebab musabab datang
ilmuilmu tak sampai mencukupi
cuma setitik di sibgoh lautanNya
yang menyimpan berjutajuta
riak,  gelombang
tapi mengapa aku selalu
menggerutu pada ini zaman
pohon kalatida tumbuh
di manamana
kemanusiaan terkotakkotak
terpecah belah, tercerai
berai ke dalam amuk
keinginan amarah kepentingan
tapi mengapa aku selalu
menggugatmu
wahai orangorang yang mempermainkan
cahaya di rumahrumah kelabu
yang mengelabui
kian samar
seolah perbuatan sasar
tak membahayakan hutan
di mana aku terus ngaji
di situ, seumpama ibu
yang rindu rindangnya dunia
oleh daundaun si damai
bukan peristiwa tengkar
curiga tapi kenapa
selalu aku terseret
ke dalam keasingan panjang
ke mana arah dunia
kiblat cahayaku tak sanggup
mengikuti
selalu aku temukan
kitabkitab kebencian
kitabkitab dendam
babbab sakit hati
di buku-buku
di ruasruas waktu
wulung, kau bawa aku
mampir dan tak sanggup
mampir dari sejarah gugup
ke bangkubangku sekolah
ke kursikursi kuliah
tapi selalu aku tiba jadi merana
depan papan tulis
ilmu pengetahuan yang kudapati
cuma cahaya bagi hidupku
untuk memahami ini umurku
teruskan menjamur mazmur
dosadosa pun kujemur
apa itu dosa dalam kitabkitab
bayangbayang tak cukup
hidup dan mati yang kuukir
ada airmata
ada puingpuing reruntuhan
punya cerita tendatenda pengungsi
gedunggedung bekas kompeni
bikin tahi dan strategi
mengapa selalu dada
yang menderita mengapa selalu
ada yang sukasuka
jikalah gempa tiba semua orang
pastikan berkata ibu
menakar harga mati
bagi dirinya sebab cinta
memang memberi
mengapa di senjamu
aku selalu gelisah
padahal cahaya
‘kan tiba bagi diriku
bersahabat terang bulan
menyibak tabir takbir
malaikat berzikir
jika engkau percaya cahaya
tolong hentikan tanganmu
untuk menuliskan sampahsampah
membuatkan rajahrajah
sebelum mayat
adalah dirimu, wulung
aku memang lumar
seakan sendiri payung sepi
langit selalu nangis
membuat hidupku
menjamur
ingin nangkap gelap
dan semua makhluk tahu (tau)
pengharapanku itu: aku ingin
tumbuh di hatiNya
di mataNya dalam senda gurau
pencaharian
ilmu pengetahuan
ulurkan tanganmu, wulung
kubalurkan cahayaku
kuulurkan gairahku ke sekujur tubuhmu
sebelum kau benarbenar uzur
mundur dari jagat tempur
akulah lumar yang percaya takdir
ini hidup berakhir
berkembang lalu mengambang bak bugang di sungai batang
si penulis syair itu pun kian renta manja di balik titik akhir
sepi di pesisir menyisihkan sebagian waktu berzikir
dari sejarah purba pun aku umur mengukir
berkembang biak bersama para biawak
para kecoak
nisan tahta nisan harta
tapi aku percaya cahaya ‘kan kekal menjangkau
semesta akal sendal
di mana tumbuhlah mahluk adam tempat aku
memercayakan benangbenang hidup di hati
usai matahari tergelincir
dan aku kembali pada pikir awal
di mana manusia ada seiring si buah khuldi
menjadi sulbi, aku uyup air susu
aku jamur cahaya selalu jadi sabda
bagi anakanak suka
sepulang ngaji tak pernah sepi selalu bercanda selalu
menarilah wahai wulung janganlah murung
bayangan seolah hidup tak pernah ‘kan susah bersamaku
menarilah ikutilah tarian cahayaku
randai rantau cahayaku
yang gerakgerak riak biak
mari jangan kau rungsing, wulung
singkirkan pusing menapis cinta di dulang
suara kecipak keciprat sungguh
menampar mukaku
harimau galak mati tinggalkan sesalnya
aku mati tinggalkan kesan:
sebuah pasal ketentraman
pamit mundur
ke mana aku asal bagai pungguk rindukan tuhan
terus bernyanyi sepanjang bulan
aku terus mengukur camar umur yang pulang
melihat kunang ke kuburan tak pakai celana dalam
hmm
pak guru menjelaskan ada lumarku
di manamana, depan siswa yang ada mau
ups
padahal aku sembunyi di anu pak guyu (guru)
asyik nyengir jadi pelir selir
semacam jadi penyihir, jadi penyair
di alif takdir

In, 2001-2013