Sabtu, 07 Desember 2013

Feature



Eksotisme Fakfak
dari Patimburak ke Tapurarang 
 Teks Lukman Ajis Salendra

Indonesia negeri yang mengagumkan. Ttak terkecuali ragam budayanya. Salah satu daerah Indonesia yang mengagumkan di antaranya Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Ada situs purbakala Tapurarang “lukisan cap tangan darah” di Kokas, dan masjid tua Patimburak.

Seorang teman, Raka (24), aktifis teater yang pernah berkunjung ke Kabupaten Fakfak  Provinsi Papua Barat suatu ketika berseloroh, “Mengapa Tuhan menciptakan Fakfak? Ya, agar sorga ada contohnya,” katanya.

Barangkali itu cuma seloroh yang asyik. Mungkin karena sang teman merasakan “jatuh cinta” dengan segala pesona alam dan wisata artefak purbakala di Fakfak.  Pesona Fakfak dengan keindahan pantai-pantainya, keasrian hutannya, dan kembang pala yang semerbak mengharumkan. Fakfak, sorganya dunia bagi Raka.

Fakfak memiliki semboyan “Satu Tungku Tiga Batu”. Diartikan, ada tiga agama (Islam, Katolik, Protestan) yang dalam ikatan satu saudara, satu hati. Tiga unsur agama itu membentuk kultur masyarakat Fakfak hingga kemudian hari ini.

Seperti dikatakan Kusmiadi (28) salah seorang warga pendatang di Papua Barat, semboyan Fakfak “Satu Tungku Tiga Batu” dapat diartikan cerminan dunia untuk masalah toleransi antar umat beragama. “Tiga agama yang bergotong-royong, bahu-membahu, bekerjasama, dan bersaudara, “ kata Kusmiadi.

Ada juga pendapat berbeda. Nenek moyang Fakfak tidak mengenal “Satu Tungku Tiga Batu”. Yang ada nenek moyang Fakfak mengenal Agama Keluarga, seperti dilansir fakfakkab.blogspot.com. “Agama Keluarga harus dijunjung karena kearifannya yang luar biasa. Satu Tungku Tiga Batu itu adopsi teori yang berlaku di Jayapura yang mengenal terlebih dulu Satu Tungku Tiga Batu yang maknanya Agama, Adat dan Pemerintah.  Lebih arif, bijaksana dan natural, jika Agama Keluarga yang dianut nenek moyang Fakfak menjadi primadona dalam sistem sosial kehidupan masyarakat Fakfak,” kata sumber tersebut.

Di Kabupaten Fakfak yang merupakan salah satu pusat agama Islam di Papua Barat, sebagian besar masyarakatnya pun mayoritas beragama Islam, terdapat masjid tua Patimburak, yakni masjid yang dibangun tahun 1870 Masehi oleh Raja Weruar ke-7, Raja Semempes. Pembangunan masjid dilanjutkan oleh Raja Waraburi. Masjid ini pertama kali direnovasi pada tahun 1942 dengan mengganti atap rubai dengan seng gelombang, tahun 1963 mengganti dinding dengan tembok Rabik. Tahun 1995 dilakukan perbaikan lagi oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan setempat, dengan mengganti atap seng. 

Bangunan masjid berbentuk segi delapan beraturan atau Octagonal, berukuran 3,13 meter  pada setiap sisinya. Sisi sebelah barat berfungsi sebagai mihrab, sedangkan display yang lain berfungsi sebagai serambi. Display sisi Utara, Timur, dan Selatan berfungsi juga sebagai pintu masuk keruang Utama Masjid. Ukuran serambi masing-masing panjang 2,18 meter dan lebar 2,5 meter. Ruang utama masjid terdapat empat tiang dari kayu berukuran 20 x 20 sentimeter dengan tinggi 5,70 meter, berdiri pada umpak batu setinggi 30 cm. Atap masjid terdiri dari 3 tingkat, atap paling bawah menyatu dengan atap keempat serambi masjid. Atap bagian tengah dibuat secara melingkar karena bentuk dindingnya persegi delapan. Atap paling atas berbentuk melingkar dan semakin ke atas semakin meruncing. Pada tembok antara atap tiang kedua dan ketiga terdapat empat buah jendela tanpa daun jendela. Masjid ini teletak di Desa Patimburak, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Sumber dari Direktori Masjid Bersejarah Kemenag RI menyebutkan Masjid ini merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang.
Menurut cerita masyarakat setempat, pada masa penjajahan, masjid Patimburak pernah diterjang bom tentara Jepang. Salah satu bukti kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.
Menurut mubaligh warga Fakfak, penyebaran Islam di Distrik-distrik di Fakfak seperti di Kokas tak lepas dari pengaruh kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV di mana kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itu dimulainya perkembangan Islam di daerah kekuasaan kesultanan Tidore termasuk Kokas Fakfak.
Dikutip dari http://islamnyaelectric.wordpress.com, dari jauh masjid Patimburak terlihat seperti gereja. Kubahnya mirip gereja-gereja di Eropa masa lampau. Namun ada empat tiang penyangga di tengah masjid, menyerupai struktur bangunan Jawa. Interior dalamnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di Pulau Jawa yang didirikan oleh para wali.
Situs Tapurarang
Yang tak kalah menarik. Terdapat situs purbakala lukisan “cap tangan darah” di Distrik Kokas Fakfak. Lukisan cap tangan berwarna merah yang terlukis pada dinding-dinding batu di tebing dan gua yang terletak di pinggir laut. Ini menjadi objek wisata arkeologi yang menarik di Kabupaten Fakfak. Situs pra-sejarah atau purbakala tersebut oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan nama Tapurarang. Warna merah pada lukisan “cap tangan di tebing” tersebut menyerupai warna darah manusia. Meskipun ada juga yang meragukan keasliannya.
Sebuah sumber menyebutkan, cap-cap tangan yang ditemukan di Kokas mirip dengan dengan lukisan-lukisan dinding seperti yang terdapat di Sangkulirang (Kutai Timur, Kalimantan Timur) atau di Gua Leangleang (Maros, Sulawesi Selatan). Tapurarang tersebut kekayaan peninggalan zaman pra sejarah yang bisa dijumpai di beberapa tempat di distrik Kokas, antara lain di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras.
Sementara itu menurut K.W Gallis dan Josef Roder, Arkeolog Belanda yang pernah melakukan penelitian di Papua menyebutkan keunikan lukisan goa di Kokas. Warna dan corak lukisannya berbeda dari yang ada di Kepulauan Kei, Maluku, Pulau Batanta dan Raja Ampat. Objek lukisan yang terdapat di Situs Purbakala Tapurarang, Kokas dibuat dengan teknik stilasi atau penyederhanaan bentuk. Warnanya terdiri dari merah, hitam, dan kuning.

Ditengarai, seni cadas atau rock art Tapurarang tersebut merupakan hasil karya lukisan manusia pada jaman Megalitikum. Usianya ditaksir ribuan tahun yang lalu. Lukisan-lukisan tersebut dibuat sebagai pengingat peristiwa atau simbol-simbol kepercayaan. Lukisan binatang atau Matuto dianggap sebagai pahlawan bagi nenek moyang.

Selain itu, keunikan yang menambah nuansa mistis situs purbakala Tapurarang di Kokas adalah lukisan gambar telapak tangan manusia di dinding tebing yang terbuat dari bahan-bahan alami dan masih tetap terlihat jelas meski sudah berumur berabad-abad lamanya. Lukisan-lukisan berwarna merah darah pada dinding tebing batu karang dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan laut itu tidak hanya menampilkan motif telapak tangan manusia saja, tetapi juga gambar-gambar lain seperti tulang ikan, bentuk ikan, jari tangan manusia, kecoak, kalajengking, dan tengkorak manusia.

Menurut cerita mitos yang berkembang, warga adat yang tinggal di Kokas meyakini bahwa tebing atau gua yang menjadi lokasi ditemukannya Situs Purbakala Tapurarang adalah tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan-lukisan berwarna merah darah tersebut wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek. Nenek yang telah menjelma menjadi setan kaborbor atau hantu penguasa lautan, yaitu hantu yang paling menakutkan. Si nenek meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ditumpanginya. Dari seluruh penumpang di perahu itu, hanya si nenek yang tewas. Konon, tidak ada satu pun penumpang di atas perahu yang berusaha membantu nenek itu untuk menyelamatkan diri. Karena merasa sakit hati, arwah nenek yang telah berubah menjadi setan kaborbor tersebut mengutuk seluruh penumpang perahu yang tidak mengasihani dirinya dan malah sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri dengan berebut naik di atas tebing batu. Akibat kutukan nenek tersebut, seluruh penumpang beserta hasil-hasil laut yang dibawa seketika itu berubah menjadi lukisan yang menempel di dinding-dinding tebing.

Distrik Kokas menyajikan banyak keiindahan. Air sungai yang mengalir jernih, hutan bakau yang masih perawan, pohon-pohon besar yang rindang, juga ratusan macam burung, dari jenis bangau, kakaktua, nuri, sampai cenderawasih, masih bebas berterbangan di atas kepala. Belum lagi lautnya beserta jajaran pulau-pulau karang yang menambah semarak suasana alam Kokas.

Obyek wisata sejarah situs purbakala Tapurarang berada di Distrik Kokas, Kabupaten Fak-Fak, Provinsi Papua Barat, Indonesia. Jarak antara pusat pemerintahan Kabupaten Fak-Fak (Kota Fak-Fak) dan Distrik Kokas sekitar 50 kilometer.

Selain itu tersedia juga potensi “Kali Besar” di distrik Fakfak Tengah di mana ada jasa kolam renang. Siapa yang berkunjung bisa merasakan kesegaran dan sejuknya air kolam yang langsung turun dari gunung. Sementara dari bebukitan kota Fakfak, dapat menyaksikan panorama Pulau Panjang yang berstatus hutan lindung. Dan di Distrik Kokas tersimpan sisa-sisa peninggalan Perang Dunia ke-2.

Pada periode 1942/1945, Kokas pernah menyandang gelar kota basis pertahanan tentara Jepang melawan sekutu. Sebagai bukti peninggalan adanya basis pertahanan militer di Kokas yakni terdapatnya salah satu peninggalan peristiwa paling bersejarah. Bangunan goa atau benteng Jepang yang terdapat di pusat kota Kokas. Terlihat tiga buah bungker pengintai berukuran tak lebih dari 4 meter persegi. Dan di belakang bungker-bungker ini terdapat goa persembunyian sepanjang 138 meter yang mengeruk perut bukit.

Terdapat juga kepulauan Karas yang letaknya di Distrik Karas. Pulau Karas merupakan pulau yang terbesar dan di sisi timur terdapat dua pulau yang berdampingan. Sebelah utara adalah Pulau Tarak dengan dua kampung dan sebelah selatan adalah Pulau Faur dengan dua kampung. Pulau Karas pun memiliki dua kampung sehingga kepulauan ini dijuluki Negeri Tiga Pulau Enam Kampung.

Kabupaten Fakfak juga memiliki Air Kitikiti sebagai objek wisata. Air Kitikiti, sebutan masyarakat setempat untuk lokasi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Memiliki keindahan air terjun yang indah dan juga masih menyimpan keindahan bawah laut dengan terumbu karang yang menarik dan berbagai jenis ikan yang sangat cantik. Air Kitikiti juga menjadi sorganya tempat para pemancing. Banyak jenis ikan di Air Kitikiti dari mulai ikan yang sering di dasar laut seperti kerapu, kakap dan pari maupun ikan yang sering di permukaan seperti tenggiri dan tuna. Di Air Kitikiti ini, selain terdapat tempat-tempat pancing, terdapat banyak pula tempat atau spot untuk menyelam, snorkling.

Di Kabupaten Fakfak tersedia satu bandara udara yaitu Bandara Torea; tersedia jasa pesawat dari beberapa perusahaan pesawat terbang komersial. Untuk transportasi laut tersedia satu pelabuhan yakni Pelabuhan Fakfak. Pelabuhan laut Fakfak merupakan salah satu pelabuhan di Tanah Papua yang selalu disinggahi oleh kapal-kapal Pelni. gkan hubungan udara pun.

Seni dan Budaya

Salah satu kesenian yang berkembang di Kabupaten Fakfak adalah kesenian Haderat. Alat musiknya disebut Tifa Haderat, sejenis alat musik perkusi yang bahannya terbuat dari kayu dan kulit hewan. Alat musik dengan bentuk bulat lalu bagian atasnya menggunakan kulit hewan ini sering digunakan oleh masyarakat asli Fakfak yang beragama muslim pada kegiatan-kegiatan penting seperti menyambut tamu, pesta pernikahan, dan hajat keagamaan lainnya.

Acara tersebut biasanya terlihat pada saat mengantar keluarga yang hendak menunaikan ibadah Haji ke tanah Suci Mekah. Setiap peserta dari rombongan haji yang akan berangkat ke tanah suci  diantar dengan iring-iringan musik haderat lengkap dengan tari-tariannya.

Selain kesenian Haderat, di Fakfak juga cukup eksis Dewan Adat Mbaham-Matta. Yakni sebuah Dewan Adat yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah, hutan, laut dan hak-hak ulayat lainnya. Dewan Adat Mbaham-Matta Fakfak berusaha memelihara keharmonisan dan kedamaian di daerah Fakfak. Impiannya tetap menjaga aroma bunga pala menjadi ciri khas Kabupaten Fakfak.

Orang Mbaham-Matta di wilayah Fakfak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Namun mereka pun memiliki bahasa lokal sendiri yakni bahasa Baham, Iha, Arguni dan Karas. Bahasa dominannya adalah bahasa Baham dan Iha. (Pelbagai Sumber)

Ada nampak aktivitas warga di sungai Melawi Provinsi Kalimantan Barat (20 Mei 2013).