Eksotisme Fakfak
dari Patimburak ke Tapurarang
Teks Lukman Ajis Salendra
Indonesia negeri yang mengagumkan. Ttak
terkecuali ragam budayanya. Salah satu daerah Indonesia yang mengagumkan di
antaranya Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Ada situs purbakala Tapurarang
“lukisan cap tangan darah” di Kokas, dan masjid tua Patimburak.
Seorang teman, Raka (24), aktifis teater
yang pernah berkunjung ke Kabupaten Fakfak
Provinsi Papua Barat suatu ketika berseloroh, “Mengapa Tuhan menciptakan
Fakfak? Ya, agar sorga ada contohnya,” katanya.
Barangkali itu cuma seloroh yang asyik. Mungkin
karena sang teman merasakan “jatuh cinta” dengan segala pesona alam dan wisata artefak
purbakala di Fakfak. Pesona Fakfak
dengan keindahan pantai-pantainya, keasrian hutannya, dan kembang pala yang semerbak
mengharumkan. Fakfak, sorganya dunia bagi Raka.
Fakfak memiliki semboyan “Satu Tungku
Tiga Batu”. Diartikan, ada tiga agama (Islam, Katolik, Protestan) yang dalam
ikatan satu saudara, satu hati. Tiga unsur agama itu membentuk kultur masyarakat Fakfak hingga
kemudian hari ini.
Seperti dikatakan Kusmiadi (28) salah seorang warga pendatang di Papua Barat, semboyan Fakfak “Satu Tungku Tiga Batu” dapat diartikan cerminan dunia untuk masalah toleransi antar umat beragama. “Tiga agama yang bergotong-royong, bahu-membahu, bekerjasama, dan bersaudara, “ kata Kusmiadi.
Ada juga
pendapat berbeda. Nenek moyang Fakfak tidak mengenal “Satu Tungku Tiga Batu”.
Yang ada nenek moyang Fakfak mengenal Agama Keluarga, seperti dilansir fakfakkab.blogspot.com. “Agama Keluarga
harus dijunjung karena kearifannya yang luar biasa. Satu Tungku Tiga Batu itu
adopsi teori yang berlaku di Jayapura yang mengenal terlebih dulu Satu Tungku
Tiga Batu yang maknanya Agama, Adat dan Pemerintah. Lebih arif, bijaksana dan natural, jika Agama
Keluarga yang dianut nenek moyang Fakfak menjadi primadona dalam sistem sosial
kehidupan masyarakat Fakfak,” kata sumber tersebut.
Di Kabupaten Fakfak
yang merupakan salah satu pusat agama Islam di Papua Barat, sebagian besar
masyarakatnya pun mayoritas
beragama Islam, terdapat masjid tua Patimburak, yakni masjid yang dibangun tahun 1870 Masehi oleh Raja
Weruar ke-7, Raja Semempes. Pembangunan masjid dilanjutkan oleh Raja Waraburi.
Masjid ini pertama kali direnovasi pada tahun 1942 dengan mengganti atap rubai
dengan seng gelombang, tahun 1963 mengganti dinding dengan tembok Rabik. Tahun
1995 dilakukan perbaikan lagi oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan setempat,
dengan mengganti atap seng.
Bangunan masjid berbentuk segi delapan beraturan atau Octagonal, berukuran 3,13 meter pada setiap sisinya. Sisi sebelah barat berfungsi sebagai mihrab,
sedangkan display yang lain berfungsi sebagai serambi. Display
sisi Utara, Timur, dan Selatan berfungsi juga sebagai pintu masuk keruang Utama
Masjid. Ukuran serambi masing-masing panjang
2,18 meter dan lebar 2,5 meter.
Ruang utama masjid terdapat empat tiang
dari kayu berukuran 20 x 20 sentimeter
dengan tinggi 5,70 meter, berdiri pada umpak batu setinggi 30 cm. Atap masjid terdiri dari 3 tingkat,
atap paling bawah menyatu dengan atap keempat serambi masjid. Atap bagian
tengah dibuat secara melingkar karena bentuk dindingnya persegi delapan. Atap
paling atas berbentuk melingkar dan semakin ke atas semakin meruncing. Pada tembok antara atap tiang kedua dan
ketiga terdapat empat buah jendela tanpa daun jendela. Masjid ini teletak di
Desa Patimburak, Distrik Kokas,
Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua
Barat. Sumber dari Direktori
Masjid Bersejarah Kemenag RI
menyebutkan Masjid ini merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang.
Menurut cerita masyarakat setempat, pada masa
penjajahan, masjid Patimburak pernah diterjang bom tentara Jepang. Salah satu
bukti kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.
Menurut mubaligh warga Fakfak, penyebaran Islam di
Distrik-distrik di Fakfak seperti di Kokas tak lepas dari pengaruh kekuasaan
Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV di mana kesultanan Tidore mulai
mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam.
Sejak itu dimulainya perkembangan Islam di daerah kekuasaan kesultanan Tidore
termasuk Kokas Fakfak.
Dikutip dari http://islamnyaelectric.wordpress.com,
dari jauh masjid Patimburak terlihat seperti
gereja. Kubahnya mirip gereja-gereja di Eropa masa lampau. Namun ada empat
tiang penyangga di tengah masjid, menyerupai struktur bangunan Jawa. Interior
dalamnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di Pulau Jawa yang didirikan oleh
para wali.
Situs Tapurarang
Yang tak
kalah menarik. Terdapat situs purbakala lukisan “cap tangan darah” di Distrik
Kokas Fakfak. Lukisan cap tangan berwarna merah yang terlukis pada
dinding-dinding batu di tebing dan gua yang terletak di pinggir laut. Ini
menjadi objek wisata arkeologi yang menarik di Kabupaten Fakfak. Situs
pra-sejarah atau purbakala tersebut oleh masyarakat setempat biasa disebut
dengan nama Tapurarang. Warna merah pada lukisan “cap tangan di tebing”
tersebut menyerupai warna darah manusia. Meskipun ada juga yang meragukan
keasliannya.
Sebuah sumber menyebutkan, cap-cap tangan yang
ditemukan di Kokas mirip dengan dengan lukisan-lukisan dinding seperti yang
terdapat di Sangkulirang (Kutai Timur, Kalimantan Timur) atau di Gua Leangleang
(Maros, Sulawesi Selatan). Tapurarang tersebut kekayaan peninggalan zaman pra
sejarah yang bisa dijumpai di beberapa tempat di distrik Kokas, antara lain di
Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras.
Sementara itu menurut K.W Gallis dan
Josef Roder, Arkeolog Belanda yang pernah melakukan penelitian di Papua
menyebutkan keunikan lukisan goa di Kokas. Warna dan corak lukisannya berbeda
dari yang ada di Kepulauan Kei, Maluku, Pulau Batanta dan Raja Ampat. Objek
lukisan yang terdapat di Situs Purbakala Tapurarang, Kokas dibuat dengan teknik
stilasi atau penyederhanaan bentuk. Warnanya terdiri dari merah, hitam, dan
kuning.
Ditengarai, seni cadas atau rock art Tapurarang tersebut merupakan
hasil karya lukisan manusia pada jaman Megalitikum. Usianya ditaksir ribuan
tahun yang lalu. Lukisan-lukisan tersebut dibuat sebagai pengingat peristiwa
atau simbol-simbol kepercayaan. Lukisan binatang atau Matuto dianggap sebagai
pahlawan bagi nenek moyang.
Selain itu, keunikan yang menambah
nuansa mistis situs purbakala Tapurarang di Kokas adalah lukisan gambar telapak
tangan manusia di dinding tebing yang terbuat dari bahan-bahan alami dan masih
tetap terlihat jelas meski sudah berumur berabad-abad lamanya. Lukisan-lukisan
berwarna merah darah pada dinding tebing batu karang dengan ketinggian sekitar
20 meter dari permukaan laut itu tidak hanya menampilkan motif telapak tangan
manusia saja, tetapi juga gambar-gambar lain seperti tulang ikan, bentuk ikan, jari tangan manusia, kecoak, kalajengking,
dan tengkorak manusia.
Menurut cerita
mitos yang berkembang, warga adat yang tinggal di Kokas meyakini bahwa tebing
atau gua yang menjadi lokasi ditemukannya Situs Purbakala Tapurarang adalah
tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan-lukisan berwarna merah darah
tersebut wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek. Nenek yang
telah menjelma menjadi setan kaborbor atau hantu penguasa lautan, yaitu
hantu yang paling menakutkan. Si nenek meninggal saat terjadi musibah yang
menenggelamkan perahu yang ditumpanginya. Dari seluruh penumpang di perahu itu,
hanya si nenek yang tewas. Konon, tidak ada satu pun penumpang di atas perahu
yang berusaha membantu nenek itu untuk menyelamatkan diri. Karena merasa sakit
hati, arwah nenek yang telah berubah menjadi setan kaborbor tersebut
mengutuk seluruh penumpang perahu yang tidak mengasihani dirinya dan malah
sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri dengan berebut naik di atas tebing
batu. Akibat kutukan nenek tersebut, seluruh penumpang beserta hasil-hasil laut
yang dibawa seketika itu berubah menjadi lukisan yang menempel di
dinding-dinding tebing.
Distrik Kokas menyajikan banyak keiindahan. Air sungai yang mengalir jernih, hutan bakau yang masih perawan, pohon-pohon besar yang rindang, juga ratusan macam burung, dari jenis bangau, kakaktua, nuri, sampai cenderawasih, masih bebas berterbangan di atas kepala. Belum lagi lautnya beserta jajaran pulau-pulau karang yang menambah semarak suasana alam Kokas.
Obyek wisata
sejarah situs purbakala Tapurarang berada di Distrik Kokas, Kabupaten Fak-Fak,
Provinsi Papua Barat, Indonesia. Jarak antara pusat pemerintahan Kabupaten
Fak-Fak (Kota Fak-Fak) dan Distrik Kokas sekitar 50 kilometer.
Selain itu tersedia
juga potensi “Kali Besar” di distrik Fakfak Tengah di mana ada jasa kolam
renang. Siapa yang berkunjung bisa merasakan kesegaran dan sejuknya air kolam
yang langsung turun dari gunung. Sementara dari bebukitan kota Fakfak, dapat
menyaksikan panorama Pulau Panjang yang berstatus hutan lindung. Dan di Distrik
Kokas tersimpan sisa-sisa peninggalan Perang Dunia ke-2.
Pada periode
1942/1945, Kokas pernah menyandang gelar kota basis pertahanan tentara Jepang
melawan sekutu. Sebagai bukti peninggalan adanya basis pertahanan militer di
Kokas yakni terdapatnya salah satu peninggalan peristiwa paling bersejarah. Bangunan
goa atau benteng Jepang yang terdapat di pusat kota Kokas. Terlihat tiga buah
bungker pengintai berukuran tak lebih dari 4 meter persegi. Dan di belakang
bungker-bungker ini terdapat goa persembunyian sepanjang 138 meter yang
mengeruk perut bukit.
Terdapat juga kepulauan
Karas yang letaknya di Distrik Karas. Pulau Karas merupakan pulau yang terbesar
dan di sisi timur terdapat dua pulau yang berdampingan. Sebelah utara adalah
Pulau Tarak dengan dua kampung dan sebelah selatan adalah Pulau Faur dengan dua
kampung. Pulau Karas pun memiliki dua kampung sehingga kepulauan ini dijuluki
Negeri Tiga Pulau Enam Kampung.
Kabupaten Fakfak
juga memiliki Air Kitikiti sebagai objek wisata. Air Kitikiti, sebutan
masyarakat setempat untuk lokasi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Memiliki
keindahan air terjun yang indah dan juga masih menyimpan keindahan bawah laut dengan
terumbu karang yang menarik dan berbagai jenis ikan yang sangat cantik. Air
Kitikiti juga menjadi sorganya tempat para pemancing. Banyak jenis ikan di Air
Kitikiti dari mulai ikan yang sering di dasar laut seperti kerapu, kakap dan
pari maupun ikan yang sering di permukaan seperti tenggiri dan tuna. Di Air
Kitikiti ini, selain terdapat tempat-tempat pancing, terdapat banyak pula tempat
atau spot untuk menyelam, snorkling.
Di Kabupaten Fakfak
tersedia satu bandara udara yaitu Bandara Torea; tersedia jasa pesawat dari
beberapa perusahaan pesawat terbang komersial. Untuk transportasi laut tersedia
satu pelabuhan yakni Pelabuhan Fakfak. Pelabuhan laut Fakfak merupakan salah
satu pelabuhan di Tanah Papua yang selalu disinggahi oleh kapal-kapal Pelni.
gkan hubungan udara pun.
Seni dan Budaya
Salah satu
kesenian yang berkembang di Kabupaten Fakfak adalah kesenian Haderat. Alat
musiknya disebut Tifa Haderat, sejenis alat musik perkusi yang bahannya terbuat
dari kayu dan kulit hewan. Alat musik dengan bentuk bulat lalu bagian atasnya
menggunakan kulit hewan ini sering digunakan oleh masyarakat asli Fakfak yang
beragama muslim pada kegiatan-kegiatan penting seperti menyambut tamu, pesta
pernikahan, dan hajat keagamaan lainnya.
Acara tersebut
biasanya terlihat pada saat mengantar keluarga yang hendak menunaikan ibadah
Haji ke tanah Suci Mekah. Setiap peserta dari rombongan haji yang akan
berangkat ke tanah suci diantar dengan
iring-iringan musik haderat lengkap dengan tari-tariannya.
Selain kesenian
Haderat, di Fakfak juga cukup eksis Dewan Adat Mbaham-Matta. Yakni sebuah Dewan
Adat yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah, hutan,
laut dan hak-hak ulayat lainnya. Dewan Adat Mbaham-Matta Fakfak berusaha
memelihara keharmonisan dan kedamaian di daerah Fakfak. Impiannya tetap menjaga
aroma bunga pala menjadi ciri khas Kabupaten Fakfak.
Orang
Mbaham-Matta di wilayah Fakfak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari-hari. Namun mereka pun memiliki bahasa lokal sendiri yakni bahasa Baham,
Iha, Arguni dan Karas. Bahasa dominannya adalah bahasa Baham dan Iha. (Pelbagai Sumber)