Kamis, 23 Januari 2014

Edukasi



Ketika Buku Sastra Menuai Badai
Oleh Lukman A Sya*

Sejatinya sejarah ditulis paling tidak sebagai sebuah “kado ilmu” untuk “melawan lupa” dan memberi ruang kemungkinan kepada orang untuk menelaah efek akurasi isinya untuk sebuah pembelajaran. Sebuah buku yang dikategorikan sebagai buku sejarah memang sepertinya tidak lepas dari siapa, mengapa dan bagaimana di balik penulisannya.  Apakah buku sejarah itu ditulis oleh tangan versi penguasa, tangan versi pengusaha  ataukah tangan kaum buruh proletar. Tentu saja ada tangan politik yang memainkan irama di balik setiap versi penulisan buku sejarah. Artinya sebuah buku  yang dikategorikan sejarah memiliki kecenderungan subyektivitas yang sangat kuat sekalipun awalnya mungkin sebagai studi yang diniatkan obyektif untuk menjelaskan hasil pengamatan atau penelitiannya secara faktual dan akuntabel. Tapi, jangan dikira tidak berbahaya, apabila ada buku kategori sejarah ditulis dengan tanpa didukung oleh data-data yang lengkap, validitas yang akurat, metodologi penelitian yang “ngawur”  alias intuitif dan parameter yang longgar. Bahkan termasuk tindak pembodohan yang membahayakan dan menyesatkan bila proses penulisan buku sejarah tersebut terbukti hanya bermotifkan sebuah modal pesanan yang menguntungkan tanpa mengindahkan keilmiahan.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang diprakarsai Tim 8 dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin  yang kini ramai menuai badai di jagat sastra Indonesia disinyalir sebagai sebuah buku hasil kerja modal pesanan yang menguntungkan. Namunijinkan saya mengatakan bahwa buku tersebut adalah hasil dari sebuah praktek penelitian  yang tidak menyehatkan bagi masa depan terutama dalam konteks akademik dunia kesusastraan Indonesia.

Tim 8 sebagai “pekerja” buku tersebut yang terdiri dari nama-nama yang tidak asing bagi saya kecuali Ahmad Gaus, saya tidak tahu bagaimana rekam jejaknya dalam sastra selain ia sebagai “sales”-nya puisi-esai  Denny JA. Tim 8 tersebut yakni Jamal D. Rachman sebagai ketua Tim 8 dan Pengelola Majalah Sastra Horison, Maman S. Mahayana sebagai dosen sastra Universitas Indonesia dan dosen tamu di salah satu Universitas di Korea, Acep Zamzam Noor sebagai sastrawan pemenang SEA Write Award  dari Thailand dan Katulistiwa Literary Award  atau KLA, Agus R. Sarjono mantan Redaktur Majalah Sastra Horison, Nenden Lilis Aisyah sebagai dosen sastra yang masih aktif di Universitas Pendidikan Indonesia, Ahmad Gaus sebagai orang dekatnya Denny JA, Joni Ariadinata sebagai cerpenis,  dan Berthold Damshäuser  sebagai peneliti sastra Indonesia berkebangsaan Jerman dan mengajar di Jerman.

Jagat media sosial pun gempar. Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” telah menuai badai dan prahara sejarah. Maka ramailah cacian, kritikan, sanggahan, pembelaan, apologia, kutukan dan semacam petisi, menjadikan kawasan sastra Indonesia  disesaki sampah kata-kata. Hujatan menjadi hajatan yang aneh para penolak bala. Kontroversi atau penolakan kehadiran buku muncul di mana- mana. Bahkan di media seperti facebook ada pula tuntutan agar para anggota Tim 8 dicabut gelar akademiknya karena dianggap telah menyesatkan dan melakukan tindak pembodohan. Tidak kunjung surutnya penolakan yang terjadi  karena Tim 8 hanya sebagai peneliti pesanan yang lebih mengutamakan upah ketimbang efek dari hasil kerja untuk pencerahan dan penyehatan kultur kesusastraan Indonesia, demikian menurut beberapa pendapat. Sastrawan sekaliber Goenawan Mohammad bahkan secara diplomatis menolak namanya ada di buku tersebut. Begitu pun sastrawan produktif Remy Sylado menolak mentah-mentah namanya dimasukan ke dalam buku tersebut. Cecep Syamsul Hari sebagai sastrawan berbakat pun mundur dari jajaran keredaksian Majalah Sastra Horison sebagai bentuk sikap penolakannya terhadap buku tersebut di mana Jamal D. Rachman sebagai pengelola keredaksian majalah tersebut. Cecep Syamsul Hari menganggap dimasukannya nama Denny JA ke dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ia anggap belum saatnya. Bahkan sastrawan Saut Situmorang paling vokal memberikan perlawanan terhadap kehadiran buku tersebut.

Dalam buku tersebut dimuat 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh sejak tahun 1900 Masehi sampai kini.  Tim 8 menetapkan 4 kriteria yang cukup longgar untuk memilih 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu. Dari empat kriteria itu, seorang tokoh sudah bisa disebut berpengaruh apabila memenuhi kriteria:1) pengaruhnya tidak hanya berskala lokal, melainkan nasional; 2) pengaruhnya relatif berkesinambungan, dalam arti tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka:3) dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan: dan, 4) dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang.

Tokoh-tokoh sastra yang tidak diragukan dedikasi dan keseriusannya dalam ikut mentradisikan kesusastraan Indonesia melalui aktivitas dan kekaryaannya memang banyak yang masuk seperti Chairil Anwar, Iwan Simatupang,W.S Rendra,  Remy Sylado, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisyahbana, Goenawan Mohammad dan banyak lagi. Tapi yang aneh adalah masuknya nama Denny JA kedalam jajaran 33 tokoh sastra paling berpengaruh.  Inilah awal bencana badai itu yang mengundang (sengaja diundang) virus penyakit.

Denny JA itu sendiri di ranah sastra Indonesia baru mengawali kegiatan sastranya mulai tahun 2012 dengan terbitnya buku puisi Atas Nama Cinta”. Nama Denny JA dianggap belum pantas masuk dalam buku tersebut selain kiprahnya di dunia sastra belum bisa dijadikan patokan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan masihlah upaya sastranya bersifat kehebohan temporal di mana  disinyalir ini pun sebagai sebuah rekayasa sastra (meminjam terminologi Firman Venayaksa, Koran Tempo, 9 Januari 2014 ) yang bagi saya sendiri tentu saja sangat membahayakan artinya akan merusak tatanan adab dan keadaban tradisi panjang kesusastraan Indonesia. Kalau pun ada perjuangan Denny JA di dalam melawan perbuatan diskriminasi yang diperjuangkannya melalui kampanye puisi-esei adalah patut diapresiasi, tetapi kalau tiba-tiba Denny JA dimasukan sebagai salah satu tokoh sastra dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh ini terlalu prematur dan belum saatnya seperti yang dikatakan Cecep Syamsul Hari.  Tidaklah salah kerja Denny JA. Tapi memang banyak pihak yang mempertanyakan validitas dan metode penelitian buku tersebut sehingga Denny JA tiba-tiba bercokol sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Saya kira ketika penolakan itu ramai di mana-mana, sejatinya tidak bisa dibaca sebagai upaya mendiskriminasikan Denny JA, justru sebagai upaya mengukuhkan “marwah”kesusastraan Indonesia dalam konteks pendidikan bangsa.

Sebuah penelitian apabila menyangkut sejarah akan menjadi bencana bila hasil penelitian misalkan buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” tersebut terbukti hasil dari sebuah semata rekayasa. Angka 33 juga terkesan intuitif. Apakah itu angka bilangan dzikir seperti bacaan Subhanallah, Alhamdulilah, Allahu Akbar yang dibaca 33-33 kali seusai shalat?  Ah betapa intuitifnya. Mengapa pula nama  Seno Gumira Ajidarma yang nyata-nyata karyanya jauh lebih berdampak kepada masyarakat tidak dipilih juri? Padahal sosok Seno sebagai seorang cerpenis dan jurnalis yang pada era Soeharto, ia pernah menerbitkan buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Isinya mencoba memberikan jalan keluar, bahwa sastra bisa menjadi alat untuk mengungkapkan fakta. Atau sastrawan  Sitor Situmorang, atau Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya.

Dalam konteks kepentingan akademik, mari kita bandingkan dengan praktek jual-beli ijazah, atau bahkan plagiasi karya. Menurut saya adalah sama-sama penyakit. Rekayasa dalam sebuah tradisi keilmiahan (baca: penelitian) untuk tujuan tertentu adalah sesuatu yang diharamkan karena melalaikan nilai obyektivitasnya,dan hanya akan menjadikan pendidikan Indonesia dalam konteks pembelajaran sastra Indonesia semakin ruwet dan tidak menyehatkan. Itulah barangkali argumentasi mengapa gelar akademik Tim 8 (yang punya gelar akademik sesuai) harus dicabut karena dianggap telah melakukan kejahatan akademik. Bayangkan anak-anak sekolah akan membaca buku tersebut. Guru-guru pun akan tersesat setelah membaca buku tersebut ketika sampai pada nama Denny JA. Nama yang lebih tepat sebagai penumpang “gelap” sastra Indonesia. Denny JA (Pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Konsultan Politik) tetaplah harus diposisikan sebagai bukan tokoh sastra paling berpengaruh tapi ia adalah tokoh yang paling “terpengaruhi” oleh daya evokasi sastra Indonesia sehingga ia mau mencoba-reka karya dengan label puisi-esei untuk mengkampanyekan pemikirannya dengan dukungan uang yang banyak sembari membayangkan dirinya sebagai seorang megalomania.

Berikut pernyataan Denny JA di jejaring sosial yang menunjukan ia sebagai seorang megalomania: Pada waktunya mungkin saya pergi lagi dari wilayah sastra, masuk ke wilayah lain. Mungkin saya akan berkelana ke dunia bisnis, dunia politik praktis ataupun dunia spiritual. Dan terus saya berjalan sampai berakhir liang kubur. Saya membayangkan diri saya sejenis Marco Polo tapi untuk dunia gagasan. Marco Polo datang dan pergi ke sebuah wilayah geografis. Umumnya di setiap wilayah yang ia tinggal, ia belajar dan meninggalkan sesuatu di sana. Sedangkan wilayah yang saya kunjungi bukan wilayah geografis tapi dunia gagasan dan budaya.

Mengikis Mental Akademisi Pesanan

Perlu kita sadari hasil penelitian semacam rekayasa atau pesanan apalagi ditopang oleh akurasi data dan validitas yang intuitif, hanya akan menjauhkan kita dari upaya “penyehatkan kultur pendidikan” (meminjam terminologi Prof. Sunaryo Kartadinata, pakar pendidikan dan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia).

Kita tentu saja mengharapkan langgam sastra Indonesia dalam konteks pembelajaran turut serta menciptakan adab dan keadaban di ranah pendidikan. Langgam Sastra Indonesia yang menyehatkan. Maka bila ada sebuah buku kesejarahan hasil sebuah penelitian yang tidak ditopang oleh akurasi data secara ilmiah maupun metodologi yang benar, dalam konteks pendidikan,maka hasil karya atau buku pesanan rekayasa tersebut hanya memperpanjang deret keruwetan penyakit kronis pendidikan Indonesia dan ini termasuk penyesatan ilmiah. Harus diingat,terciptanya kultur pendidikan yang sehat adalah sebuah komitmen bagi para akademisi dalam menjalankan tugas pedagoginya sebagai seorang pendidik yang bertanggung jawab.

*) penulis adalah mantan ketua Arena Studi Apresiasi Sastra Universitas Pendidikan  
   Indonesia