Ketika Buku Sastra Menuai Badai
Oleh
Lukman A Sya*
Sejatinya
sejarah ditulis paling tidak sebagai sebuah “kado ilmu” untuk “melawan lupa”
dan memberi ruang kemungkinan kepada orang untuk menelaah efek akurasi isinya
untuk sebuah pembelajaran. Sebuah buku yang dikategorikan sebagai buku sejarah memang
sepertinya tidak lepas dari siapa, mengapa dan bagaimana di balik
penulisannya. Apakah buku sejarah itu
ditulis oleh tangan versi penguasa, tangan versi pengusaha ataukah tangan kaum buruh proletar. Tentu saja
ada tangan politik yang memainkan irama di balik setiap versi penulisan buku
sejarah. Artinya sebuah buku yang
dikategorikan sejarah memiliki kecenderungan subyektivitas yang sangat kuat
sekalipun awalnya mungkin sebagai studi yang diniatkan obyektif untuk
menjelaskan hasil pengamatan atau penelitiannya secara faktual dan akuntabel.
Tapi, jangan dikira tidak berbahaya, apabila ada buku kategori sejarah ditulis
dengan tanpa didukung oleh data-data yang lengkap, validitas yang akurat,
metodologi penelitian yang “ngawur” alias intuitif dan parameter yang longgar. Bahkan
termasuk tindak pembodohan yang membahayakan dan menyesatkan bila proses
penulisan buku sejarah tersebut terbukti hanya bermotifkan sebuah modal pesanan
yang menguntungkan tanpa mengindahkan keilmiahan.
Saya
tidak hendak mengatakan bahwa Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh” yang diprakarsai Tim 8 dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin yang kini ramai menuai badai di
jagat sastra Indonesia disinyalir sebagai sebuah buku hasil kerja modal pesanan
yang menguntungkan. Namunijinkan saya mengatakan bahwa buku tersebut adalah
hasil dari sebuah praktek penelitian
yang tidak menyehatkan bagi masa depan terutama dalam konteks akademik
dunia kesusastraan Indonesia.
Tim 8
sebagai “pekerja” buku tersebut yang terdiri dari nama-nama yang tidak asing
bagi saya kecuali Ahmad Gaus, saya tidak tahu bagaimana rekam jejaknya dalam
sastra selain ia sebagai “sales”-nya puisi-esai
Denny JA. Tim 8 tersebut yakni Jamal D. Rachman sebagai ketua Tim 8 dan
Pengelola Majalah Sastra Horison, Maman S. Mahayana sebagai dosen sastra
Universitas Indonesia dan dosen tamu di salah satu Universitas di Korea, Acep
Zamzam Noor sebagai sastrawan pemenang SEA Write Award dari Thailand dan Katulistiwa Literary Award atau KLA, Agus R. Sarjono mantan Redaktur
Majalah Sastra Horison, Nenden Lilis Aisyah sebagai dosen sastra yang masih
aktif di Universitas Pendidikan Indonesia, Ahmad Gaus sebagai orang dekatnya
Denny JA, Joni Ariadinata sebagai cerpenis,
dan Berthold Damshäuser sebagai
peneliti sastra Indonesia berkebangsaan Jerman dan mengajar di Jerman.
Jagat
media sosial pun gempar. Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”
telah menuai badai dan prahara sejarah. Maka ramailah cacian, kritikan, sanggahan,
pembelaan, apologia, kutukan dan semacam petisi, menjadikan kawasan sastra
Indonesia disesaki sampah kata-kata.
Hujatan menjadi hajatan yang aneh para penolak bala. Kontroversi atau penolakan
kehadiran buku muncul di mana- mana. Bahkan di media seperti facebook ada pula tuntutan agar para
anggota Tim 8 dicabut gelar akademiknya karena dianggap telah menyesatkan dan
melakukan tindak pembodohan. Tidak kunjung surutnya penolakan yang terjadi karena Tim 8 hanya sebagai peneliti pesanan
yang lebih mengutamakan upah ketimbang efek dari hasil kerja untuk pencerahan
dan penyehatan kultur kesusastraan Indonesia, demikian menurut beberapa
pendapat. Sastrawan sekaliber Goenawan Mohammad bahkan secara diplomatis
menolak namanya ada di buku tersebut. Begitu pun sastrawan produktif Remy
Sylado menolak mentah-mentah namanya dimasukan ke dalam buku tersebut. Cecep
Syamsul Hari sebagai sastrawan berbakat pun mundur dari jajaran keredaksian
Majalah Sastra Horison sebagai bentuk sikap penolakannya terhadap buku tersebut
di mana Jamal D. Rachman sebagai pengelola keredaksian majalah tersebut. Cecep
Syamsul Hari menganggap dimasukannya nama Denny JA ke dalam 33 tokoh sastra
Indonesia paling berpengaruh ia anggap belum saatnya. Bahkan sastrawan Saut
Situmorang paling vokal memberikan perlawanan terhadap kehadiran buku tersebut.
Tokoh-tokoh sastra yang tidak diragukan dedikasi dan keseriusannya dalam ikut mentradisikan kesusastraan Indonesia melalui aktivitas dan kekaryaannya memang banyak yang masuk seperti Chairil Anwar, Iwan Simatupang,W.S Rendra, Remy Sylado, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisyahbana, Goenawan Mohammad dan banyak lagi. Tapi yang aneh adalah masuknya nama Denny JA kedalam jajaran 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Inilah awal bencana badai itu yang mengundang (sengaja diundang) virus penyakit.
Denny JA itu sendiri di ranah sastra Indonesia baru mengawali kegiatan sastranya mulai tahun 2012 dengan terbitnya buku puisi “Atas Nama Cinta”. Nama Denny JA dianggap belum pantas masuk dalam buku tersebut selain kiprahnya di dunia sastra belum bisa dijadikan patokan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan masihlah upaya sastranya bersifat kehebohan temporal di mana disinyalir ini pun sebagai sebuah rekayasa sastra (meminjam terminologi Firman Venayaksa, Koran Tempo, 9 Januari 2014 ) yang bagi saya sendiri tentu saja sangat membahayakan artinya akan merusak tatanan adab dan keadaban tradisi panjang kesusastraan Indonesia. Kalau pun ada perjuangan Denny JA di dalam melawan perbuatan diskriminasi yang diperjuangkannya melalui kampanye puisi-esei adalah patut diapresiasi, tetapi kalau tiba-tiba Denny JA dimasukan sebagai salah satu tokoh sastra dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh ini terlalu prematur dan belum saatnya seperti yang dikatakan Cecep Syamsul Hari. Tidaklah salah kerja Denny JA. Tapi memang banyak pihak yang mempertanyakan validitas dan metode penelitian buku tersebut sehingga Denny JA tiba-tiba bercokol sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Saya kira ketika penolakan itu ramai di mana-mana, sejatinya tidak bisa dibaca sebagai upaya mendiskriminasikan Denny JA, justru sebagai upaya mengukuhkan “marwah”kesusastraan Indonesia dalam konteks pendidikan bangsa.
Sebuah penelitian apabila menyangkut sejarah akan menjadi bencana bila hasil penelitian misalkan buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” tersebut terbukti hasil dari sebuah semata rekayasa. Angka 33 juga terkesan intuitif. Apakah itu angka bilangan dzikir seperti bacaan Subhanallah, Alhamdulilah, Allahu Akbar yang dibaca 33-33 kali seusai shalat? Ah betapa intuitifnya. Mengapa pula nama Seno Gumira Ajidarma yang nyata-nyata karyanya jauh lebih berdampak kepada masyarakat tidak dipilih juri? Padahal sosok Seno sebagai seorang cerpenis dan jurnalis yang pada era Soeharto, ia pernah menerbitkan buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Isinya mencoba memberikan jalan keluar, bahwa sastra bisa menjadi alat untuk mengungkapkan fakta. Atau sastrawan Sitor Situmorang, atau Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya.
Dalam konteks kepentingan akademik, mari kita bandingkan dengan praktek jual-beli ijazah, atau bahkan plagiasi karya. Menurut saya adalah sama-sama penyakit. Rekayasa dalam sebuah tradisi keilmiahan (baca: penelitian) untuk tujuan tertentu adalah sesuatu yang diharamkan karena melalaikan nilai obyektivitasnya,dan hanya akan menjadikan pendidikan Indonesia dalam konteks pembelajaran sastra Indonesia semakin ruwet dan tidak menyehatkan. Itulah barangkali argumentasi mengapa gelar akademik Tim 8 (yang punya gelar akademik sesuai) harus dicabut karena dianggap telah melakukan kejahatan akademik. Bayangkan anak-anak sekolah akan membaca buku tersebut. Guru-guru pun akan tersesat setelah membaca buku tersebut ketika sampai pada nama Denny JA. Nama yang lebih tepat sebagai penumpang “gelap” sastra Indonesia. Denny JA (Pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Konsultan Politik) tetaplah harus diposisikan sebagai bukan tokoh sastra paling berpengaruh tapi ia adalah tokoh yang paling “terpengaruhi” oleh daya evokasi sastra Indonesia sehingga ia mau mencoba-reka karya dengan label puisi-esei untuk mengkampanyekan pemikirannya dengan dukungan uang yang banyak sembari membayangkan dirinya sebagai seorang megalomania.
Berikut pernyataan Denny JA di jejaring sosial yang menunjukan ia sebagai seorang megalomania: Pada waktunya mungkin saya pergi lagi dari wilayah sastra, masuk ke wilayah lain. Mungkin saya akan berkelana ke dunia bisnis, dunia politik praktis ataupun dunia spiritual. Dan terus saya berjalan sampai berakhir liang kubur. Saya membayangkan diri saya sejenis Marco Polo tapi untuk dunia gagasan. Marco Polo datang dan pergi ke sebuah wilayah geografis. Umumnya di setiap wilayah yang ia tinggal, ia belajar dan meninggalkan sesuatu di sana. Sedangkan wilayah yang saya kunjungi bukan wilayah geografis tapi dunia gagasan dan budaya.
Mengikis Mental Akademisi Pesanan
Perlu kita sadari hasil penelitian semacam rekayasa atau pesanan apalagi ditopang oleh akurasi data dan validitas yang intuitif, hanya akan menjauhkan kita dari upaya “penyehatkan kultur pendidikan” (meminjam terminologi Prof. Sunaryo Kartadinata, pakar pendidikan dan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia).
Kita tentu saja mengharapkan langgam sastra Indonesia dalam konteks pembelajaran turut serta menciptakan adab dan keadaban di ranah pendidikan. Langgam Sastra Indonesia yang menyehatkan. Maka bila ada sebuah buku kesejarahan hasil sebuah penelitian yang tidak ditopang oleh akurasi data secara ilmiah maupun metodologi yang benar, dalam konteks pendidikan,maka hasil karya atau buku pesanan rekayasa tersebut hanya memperpanjang deret keruwetan penyakit kronis pendidikan Indonesia dan ini termasuk penyesatan ilmiah. Harus diingat,terciptanya kultur pendidikan yang sehat adalah sebuah komitmen bagi para akademisi dalam menjalankan tugas pedagoginya sebagai seorang pendidik yang bertanggung jawab.
*) penulis adalah mantan ketua Arena Studi Apresiasi Sastra Universitas Pendidikan
Indonesia