Puisi
Lukman A Salendra
Membaca Puisi
Lagi
Menyusuri
sungai Kayan
Riak-riak
kecil mendatangkan isyarat
Perahu-perahu
nelayan dan kebiasaan air mengalir
Dapatlah
kumaknai sebagai cinta
Atau
ukuran seberapa berharganya ini avonturir
Aku
tahu di dalam sungai
Mungkin
ada ikan-ikan yang mulutnya sakit
Tercemar
merkuri. Batu-batu pun ingin berontak
Juga
rawa-rawa di sebelah kanan dan rerumpun nipah
Di
sebelah kiri. Saling pekik bersahutan dalam angin
dan
cuaca
Aku
membaca puisi lagi
Seperti
membaca ingatan pada pamflet bulan
Di
atas sungai Kayan-Mentarang
Bulan
yang tampak wajahnya pada malam-malam
Bosankah
ia duduk-duduk sambil menggerutu waktu?
Aku
hanya membaca kata-kata dari manusia
Yang
rindu-cemburu, katanya
Asal
kau tahu, kata-kata rindu-cemburu merasuk sampai subuh
Sampai
setiap kabut menyentuh kalbu
Menggetarkan
segala nyala, jadi hidup lagi pucuk ini
Dari
yang asalnya pun akar-akar mati
Aku
membaca sungai Kayan
Hingga
kutemukan puisi tak pergi
Dan
cintaku di pulau ini
Adalah
ujung kesimpulan perahu
tambatan
jiwaku pada titik temu:
Cintaku
tertuju, tertanam di Apo Kayan
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Di Sungai Kayan,
Air Pun Menari Mengikuti Alunan Waktu
Goyangan
ini, Kekasih
Bukan
semata karena ombak
Tapi
badan kita yang melaju
Menari
ke kanan dan ke kiri
Sampai
di batas labuhan
Sampai
kengerian kecil ini
Sirna
Ada
pepohon rumbia
Di
tepian.
Cocok
untuk rumah buaya
(buaya-buaya
dari Jakarta)
Ada
pohon yang akarnya di air
Ada
ombak menepikan kabar
Ada
bongkahan hanyut
Seperti
bugang tanpa nafsu
Siapakah
sang penyelamat hari ini
Di
antara cuaca menjelang gelap
Dan
kabut asap
Kekasih,
tenangkan saja jiwa
Yang
meradang cemas
Percayakan
pada si motoris
Atas
kemanusiaan yang terombangambing
Ke
mana dan di mana sebenar kita menuju
Adalah
kegilaan riak-riak kecil
Kita
berdekapan saja dalam cipratan.
Dan
di segi tiga pertemuan, pertemanan
Antara
sungai Mentarang, Kayan dan Hulu
Kita
biarkan badan kita sekali lagi terbantun
Mesin
yang Tuhan, kita yakini
Segala-Nya
membuat kita terus ada
Ada
kapal lain melaju kencang
Membawa
badan-badan gairah
Sebaiknya
kita tak bertanya
Dari
mana mereka
Sejatinya
kita pun tak paham
Dari
dan ke mana ini nyawa kita
Bermuara
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Gumumai
Melihat
pantai ini kesedihanku seperti kupu-kupu
Yang
mengintip ombak dari pepohon bakau
Pernah
aku tuliskan namaku sendiri
Sebelum
kemudian tersapu air laut
Dari
jauh kupandangi sebuah dermaga
Di
mana kapal-kapal siap bertempur
Dengan
gelombang atau badai
Ada
desir angin seperti mengirim kenangan
Pada
seseorang yang berkelebat
Aku
memang rindu Ita Wotu Nusa
Bercengkrama
atau sekadar mengambil gambar
Mengapa
aku sedih?
Aku
teringat dirimu yang tak pasti datang lagi
Dalam
kapal atau dalam buih ombak
Sedang
aku acapkali bermimpi
Untuk
tetap dipersatukan
Pohon-pohon
pinus yang berjejer
Seperti
penyair dengan ribuan syair yang digugurkan
Kabar
angin
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Apo Kayan
Seseorang
ingin cepat berlari
Dalam
sebuah jeram
Atau
amuk ombak
Seseorang
ingin beda
Dari
negara tetangga
Maka
tiang pembatas itu
Pun
ditagihkan
Inilah
kami, kata Apo Kayan
Yang
tak hendak minta merdeka
Sebab
di perbatasan ini
Kamilah
sang penjaga beranda
Seseorang
ingin cepat berlari
Dari
ketertinggalan
Kemudian
seperti kadal bunting
Bersembunyi
ke dalam semak
Tapi
belukar telah dibakar
Dan
kadal lari ke negeri tetangga
Ah
Sebab
inilah daerah perbatasan
Mesti
dibangun
Mesti
dimekarkan
Semekar
cinta gadis-gadis Punan
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Ke Tanjung Selor
Ke
ibu kota
Mungkin
kucari yang lebih peluk
Ketimbang
dekapan hujan
Tapi
sungguh kabut asap
Yang
diam-diam ibu,
mengirim
Selimut
cinta padaku
Tak
bisa aku hindari
Padahal
kupinta ibu tuk turunkan hujan
Ibu
hanya mengirim airmata
Ada
tangan yang lebih kuasa, katanya
Meracuni
nafas nafsu
Tangan
yang kebelet ingin bangun
Pabrik
batu bara
Dari
sisa keringat jelata
Aha,
ke Tanjung Selor
Menengok
kembali perubahan
PeradabantTerus
terjadi
Asap
yang dianggap biasa
Dan
penantian akan hujan
Bukanlah
rindu-dendam.
Untuk
siapa ini provinsi menjadi
Di
saat para transmigran
Menolak
dituduh melakukan
Pembalakan
hutan
Aha,
aku masih di belakang, sayang
Dan
akan terus di belakang
Menguntitmu
Memacari
bayang-bayang
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Malinau
Seseorang
menulis pesan:
Hati-hati
menanam cinta di sini!
Aku
menulis kesan:
Kutinggalkan
KTP di sana
Kepada
Tetua Dayak kubilang:
Ijinkan
aku memangku gadis Enggang
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Memandangi
Sungai Melawi
Anak-anak
memandikan sapi di atas perahu
Kapal
pengangkut kayu-kayu lewat
Perahu
itu pun bergoyang
Air
bersorak-sorai
Sekalipun
ikan mungkin kian tercemar
Memandangi
sungai Melawi
Merasakan
hidup di rumah-rumah Lanting
Antara
ombak, waktu dan nasib terpelanting
Tergantung
cuaca. Tergantung kuasa
Anak-anak
itu melajukan hari depan
Antara
Emak yang mencuci di atas Ketinting
Dan
sapi dinaikkan ke daratan
Akankah
anak-anak menjadi penambang liar?
Atau
hidup keras dalam pembalakan hutan?
Hmm,
sungai Melawi hanyalah ingatan
Pada
yang mengalir, antara banjir, kecemasan
Dan
irama kebangkrutan
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Di Sungai
Wondiboi
Tiga
anak remaja mandi tanpa takut bandang lagi
Sungai
yang jernih adalah ingatan yang tenang
Yang
tak ada batasnya membawa kisah
Dari
hulu dari girang
Dari
nenek moyangnya dahulu
Selalu
diajarkan kearifan bersama ikan-ikan
Batu
tersenyum menyaksikan mereka
Alarm
tugu peringatan penanda bandang
Tak
bicara
Bahwa
debit air ini di antara hujan dan dedaun kering
Adalah
sahabat bagi yang merasakan kedamaian
Demikianlah
Kiezne pun menulis di rumah peradaban
Di
antara lagu-lagu rohani
Dan
anak-anak dalam pemahaman tentang alam
Tiga
anak remaja adalah milik Papua
Saat
kakiku merasakan tanah pijakan ini
Kita
orang ngerti kemuliaan
Pada
kedamaian yang diam-diam disalibkan
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Sungai Suasudai
Lihatlah
pada tumpukan material batu
Yang
sempat aku kirimkan padamu
Adalah
saksi bisu
Betapa
aku sejatinya terus mengalirkan sedih
Tapi
taukah kau, masih ada tumpukan kayu lapuk
Di
hulu, dan penebangan liar masih terjadi diam-diam
Seperti
yang disampaikan burung tadi malam
Di
taman Cendrawasih
Semuanya
adalah takdirku yang air mengalir
Ke
laut-Nya, segala material
Cinta
dan kesabaran bahkan ketakutan
Bersatu
dengan alam di antara cuaca
Yang
tidak menentu ini
Lihat,
jembatan yang dibangun dari dana bantuan itu
Roboh
kembali. Ke mana bapak Bupati?
Lihat
ke mari, kendaraan-kendaraan berhenti
Mencari
jalan pintas ddalam kelancaran
Agar
segera sampai di damainya keluarga
Aku
akan terus berkata-kata
Sebab
kejernihan sungai ini
Adalah
ucapan yang sesungguhnya dirindukan
Gunung
dan batu peradaban
Pada
anak-anak yang suka mandi, bercanda
Ya,
memang kian bising Sasar Wondama ini
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Sungai Wondiboi
Aku
tidak hendak mengacaukan janjimu
Ketika
di tahun 2010 tepatnya 10 Oktober Senin pagi
Aku
datang dengan badan penuh bandang
Batu-batu
dan gelondongan kayu
Membuat
hidupmu jadi prahara
Maafkan
aku sekalipun kata maaf ini
Tiada
sanggup melupakan deritamu
Hingga
perasasti peringatan itu pun
Pada
saat cuaca tak menentu
Kian
gemetar saja. Ada ketakutan
Yang
diteriakkan pohon-pohon pinang
Bicara
lagi asal-usulku
Dari
kejernihan hidupku
Di
mana ikan-ikan bersahabat dengan alam
Jati
sejatinya bila tuan tak menggubris pohon-pohon kuasa
Di
hulu hayatku, hingga gundul peristiwa
Anak-anak
masih bisa bermain tanpa khawatir ibunya
Tapi
seperti hari ini
Anak-anak
pun riang kembali
Menggauliku
yang akan terus mengalir
Seperti
kalimat yang dituturkan si mulut lembut
Bersahaja.
Dan tuan Kiezne masihkah bersedekap
Di
batu itu sambil menulis kitab suci
Dalam
Wondama
Aku
akan bersaksi sekali lagi
Pada
kehati-hatian
Pada
setiap tangan kuasa
Yang
menjadikan fatal segala rencana
In, 2014
Puisi
Lukman A Salendra
Lagu Sendiri
Setelah
gerhana penuh, matahari itu
membagikan
sinar terang siang ini
mengeringkan
baju-bajuku
memantik
keringat si kakek yang nanam kelapa
buat
kelak, buat cucu-cucunya atau siapa saja
Malam
tadi, angin membentur-benturkan badannya
di
badanku, saat aku sendiri seperti matahari itu
dalam
gerhananya. Dan bulan tak sempat
berdansa
di ramainya cahaya
Siapa
berhalakan mantera
atau
sekadar kata
ia
akan disergap gerhana, katamu dulu
aku
sendiri saja kini tanpa siapa, juga dirimu
yang
raib ditelan cuaca
Aku
sendiri saja
membayangkan
Kierkegard menjadi pesona lain
menjadi
jalan dalam hatiku
ada
kesepian untuk sebuah penempuhan jauh
kesadaran
objektif yang tak lain adalah Tuhan
seperti
kata Komarudin dalam pengajian
Aku
sendiri saja
Tuhan
sendiri juga
menjadikan
semesta ini sejatinya ramai
ada
matahari, ada rencana pohon kelapa
ada
patung tengah kota yang bergumam
tentang
rindu bulan dalam angin malam
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Hari Ini Ia Tak
Membayangkan Apa-Apa
Ia
tak membayangkan apa-apa lagi
saat
rumpun bambu dan krisik suara daun-daunnya
yang
seperti berdoa
yang
seperti pesona anggota inderaku
terus
juga sembahyang dalam kesiapan kesepian
hari-hari
yang sebaiknya tak terjadi apa-apa
Mungkin
hujan tak apa,mungkin ibu yang rindu
tak
mengapa
Ia
tak membayangkan yang kejam-kejam
ia
hanya ingat ketika seseorang mencuri
tubuhnya.
Akan tiba saatnya, ia
tak
bisa apa-apa. Hanya merengkuh doa
Ah,
sia-sia
In,2014
Puisi
Lukman A Salendra
Ke Mana Puisi
Ini akan Aku Alamatkan
Ke
mana puisi ini akan mengalir
selain
ke dalam hatimu
di
mana ada lembaran koran
yang
dibaca ribuan semut dan kelelawar
di
mana ada televisi yang ditonton
jutaan
nyamuk-nyamuk kecil
penggganggu
kekuasaan istana presiden
Ke
mana puisi ini akan kualamatkan
ke
jalur gaza menjadi bom, ke kampung prostitusi
menjadi
candu
atau
ke dalam hatimu saja
dan
menjadi tanda
ada
jalan mengarah ke timur jauh
di
mana aku dan you erat bergenggaman
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Aku Ngantuk Tapi
Ingin Menulis Biografimu
Aku
ngantuk, tapi tak lantas menjadi tidur
aku
hanya seorang polantas di jalan raya yang macet
tak
bisa apa-apa, selain duduk seperti kesepian
atau
seperti pohon jambu itu, seseorang tak memasang
lagi
buah, tak memasang lagi gambar arakan-arakan
Aku
ngantuk, tapi sebentar lagi pesta rakyat berlangsung
aku
akan bersuara, seperti elang yang lantang
aku
tak bisa bungkam, aku tahu sebuah sejarah
tentang
ia yang dicalonkan dalam kekalahan
hujan
itu bersaing dengan pasangan lain, cahaya
dan
waktu
Hujan
turun dan memenangkan raya pemilu
seluruh
kota tenggelam dalam bandang air yang pilu
selimut
dan ranjang tidurku terbawa arus hanyut
raib
entah ke mana, seperti dirimu dulu
memang
bercokol
dalam
ucangangge mulung muncang kaparangge
Ah,
ini melankolia sendiri saja
tanpa
helat dan kedatangan ratu bah Air
Air
raya kasih sayang dan lagu pedagang es lilin
menjadi
tanda, isyarat apa
Aku
ngantuk dan kubaringkan badan
di
ranjang sejarah kotor
tapi
mataku tak bisa katup
jiwaku
terjaga merasakan dunia
dan
aku tak sendiri lagi, Tan Malaka
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Perasaan-Perasaan
yang Aku Sendiri Tidak Tahu Kenapa Menjadi Ada
Seperti
ada deru Bajay dalam diriku, membawa seseorang tak bernama
mengelelingi
kota tua. Aku hidup dalam pertanyaan di mana jawaban-jawabannya
seringkali
aku pertanyakan ulang untuk kuperbaharui
dalam
tidur dan mimpiku, selalu ada dengung dari jauh lantas mendekat
seperti
seseorang menggedor-gedor pintu
dua
malaikat penjaga di mana tubuhku terkurung
ada
pikiran yang kacau, segala terbawa menjelang sakau
seperti
sebuah negeri dengan banyak timbunan kepalsuan
aku
berhalakan mantera kata, aku percayakan badan ini
menampung
segala juga kekeruhan cinta dan air mata yang berdebu
Seperti
ada deru Jakarta dalam deru Bajay diriku
seperti
ada yang mengajakku menjadi trotoar menghindari
segala
kemacetan yang kau bikin sebagai origami
ada
televisi dalam hidupku, dan aku menontonnya kembali
saat
tak bisa tidur dalam ranjang insomnia
sejarah
selalu terjaga, juga namamu pemilik doa
sayangku,
jangan sakit. Minum obat penenang
atau
catatlah dalam puisi, rasa sakitmu
aku
pun demikian di sini
mengenang
gerhana matahati
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Doa Pendek
Tuhan,
benamkan diriku saat sujud
yakinkan
keyakinanku
doakan
doa-doaku
tambahkan
nyawa hidup
panjangkan
nafas cintaku
tumbuhkan
semangat imanku
jangan
goyahkan rinduku
aku
sekadar batu, menunggu
waktu
memecah-kepingkan badanku
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Catatan-Catatan
1.
Aku
tak memercayai mataku lagi
siapa
memasang mataku di kelopak ini
aku
tak bertatap-tatap dengan mataku
selain
dalam cerminmu
2.
Kontes
betis
betis-betis
yang terbungkus dan yang tidak
turut
dalam perjuangan mengukur perjalanan
ke
medan kerja itulah mereka berperan
melawan
pegal dan kesemutan
mengalir
dalam rel kereta
sedang
betisku istirah di rumah allah
3.
Di
masjid Cut Mutiah
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Burung Enggang
Masih Terus Bersedih
Siang
pun datang
Burung
yang dalam penjara pun
Mendendangkan
sedihnya
Mendendangkan
harapan-harapannya
Hingga
renta. Mustahil ia keluar
Selama
angin dan waktu tak sanggup
Mematahkan
jeruji penjara
Tuan
adalah kebebalan
Alih-alih
cintanya pada dunia
Alih-alih
suara burung itu hiburan
Bagi
hatinya yang beku
Burung
itu pun masih terusterusan bersedih
Sayang,
yang peduli cuma puisi ini
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Selalu Ada yang
Menyeretku untuk Sendiri
Dalam
kesibukan angin, suara burung dalam sangkar,
Deru
di jalan raya, dan hirukpikuk pasar
Nyatanya
aku merasa asing dan sepi
Aku
terhuyunghuyung menjadikan waktu dalam kamar
Adalah
kehidupan yang disendirikan
Di
luar, orangorang siap rusuh lagi
Siap
membakar ban atau menjahit mulut sendiri
Gelinding
roda pemerintahan untuk siapa?
Gajigaji
besar menjadikan buncitbuncit manusia dan besar
Setiap
anggaran bukan lamunan tapi lumbung masa depan
Yang
dijarah, hari ini
Dalam
semua itu
Dalam
cemas dan ambigu itu
Aku
hanya sendiri menuliskan catatancatatan
Tentang
keluhkesahku
Tentang
janjijanji yang kuingkari
Tentang
bulu kaki yang terhambat pertumbuhannya
Aku
hanyalah kalimat panjang tanpa keramaian
Ungkapan,
hidup biasa dan sendiri. Asing
Hanya
ujung jemari tangan tik tak tik tak tak beraturan
Menuliskan
diriku
Sementara
badan ini masih mencintai kipas angin
Melebihi
cintaku kepada siapa pun
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Puan dalam Batu
-Maharani
Dari
ayahku, dari ayahnya ayah
Inilah
batu yang di dalamnya puan berkerudung
Kata
ayah, tengah malam puan suka menangis murung
Ia,
sahabat almarhum ayahnya ayah
Puan
dalam batu
Bukan
si pencemburu
Atau
si pembawa racun
Ia
sahabat malam, sahabat si doa yang kesepian
Kugosok
batu puan dan kujadikan kalung
Demi
kehormatan almarhum ayahnya ayah
Demi
kemuliaan dan cinta kasih
Demi
hidup yang jadi hiasan
Pada
malam penuh doa
Kudengar
ada tangisan
Entah
dari ruang mana
Entah
dari lubuk siapa
Tersedu
seperti terus mengadu
O
ini dunia terbuat dari batu-batu cinta
Kukenang
ia puan cantik
Yang
terkurung dalam batu
Yang
kata ayah suka menangis
Dalam
gigil malam
Dalam
doa-doa menjelang nyata
O
ini dunia terbuat dari hiasan
Dan
wanita
O
batu-batu cinta yang mengukur
Setiap
ketidakbebasan menjadi kebebasan
Adalah
langkah meski dalam doa-doa:
Mahakata
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Burung dalam
Sangkar
Suaraku
kini tangis
pada
malam-malam menjelang tidur
pada
penjara ini
seseorang
merampas tekukurku
yang
ingin bebas
Aku
dengar suara itu
bukan
kegembiraan
tapi
kesedihan pada setiap hembusan
angin
malam
bukan
nyanyian suara itu
kau
salah besar
tapi
keperihan yang kelak kupintakan
tanggung
jawabmu
Lepaskan
ia dari derita
biarkan
ke alam terbuka
belajar
lagi mengeja semesta
sekalipun
dari semula
atau
pada akhirnya tak bisa
apa-apa
kerna
terbiasa kaupenjarakan
kesedihan
jadi menyala
siap-siaplah
kau berdosa, tuan
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Tekukur
Suara
tekukur adalah suara kesedihan yang dalam
Ia
terangguk-angguk dalam ketidakberdayaan
Terali-terali
biang dari segala terpenjara
Juga
sayap yang tak bisa lagi terbang
Aku
tak bisa bernyanyi, kawan
Dan
bulu-buluku berguguran
Sehelai-sehelai
Seperti
kesedihan ini
Pada
ketidakbebasan ini
Yang
kau terka nyanyian
Lepaskan
aku dari kurungan waktu ini
Biar
aku belajar lagi membaca alam
Aku
hampir binasa
Aku
dan kata-kata yang sedih ini
Mengangguk-angguk
pada ketidakberdayaan
Semakin
aku menangis, mengapa
Semakin
kau sebut aku menyanyi bagai artis?
In,
2014
Puisi
Lukman A Salendra
Kipas Angin
Aku
kirimkan angin pada badanmu yang kegerahan
Sekalipun
tak menyentuh jiwamu yang kerontang
Kau
dalam doa membaca diriku yang terus gasing
Angin
dan waktu bersekutu membawa nama
dan
setiap keinginan dari badan
Juga
tentang impian tadi malam
Bahkan
semalam aku kirimkan angin pada rambutmu
Tahukah
kau, aku tak lelah jika kau menginginkan aku
Bercinta
dan bercinta
Hawa
Jakarta memang maut bagi si dingin
Ini
bukan Lembang atau Rancaupas Ciwidey
Ini
Cempaka Putih, katamu sambil terus monyong
Aku
kirimkan angin pada badanmu yang kian lungkrah dan renta
Semoga
tidak masuk angin, hanya di luar saja duduk-duduk
Semoga
tak mendudukimu jadi angin duduk
Yang
membawamu pada kematian
Belum
saatnya, belum tiba aku diberhentikan
Pun
ragamu berhenti di jarum jam ke sekian
Menjadi
kaku
In,
2014
Puisi
Lukman A. Salendra
Menemukan Jalan
Telah
kutemukan jalan
Menuju
kotamu di bawah lembah gemerlap cahaya
Dari
gang ini yang berliku melewati rumah-rumah petak
Yang
tembok-temboknya kusam dan retak-retak
Melewati
jalan ini dulu adalah pohon-pohon nagka
Dan
kiara serta aren yang kerap dinaiki para bajing
Sebelum
aku sampai di kotamu
Aku
menyebrangi trotoar di mana cahaya lampu
Memberi
arti bagi kalbuku yang sendiri saja
Mendialogkan
kehidupan
Aku
telah mendengar suara anak-anak
Bermain
di alun-alun kota
Bermain
perang-perangan seperti mengisyaratkan
Kelak
pun mereka akan menjadi gerilya
Kau
di pekarangan menyaksikan
Betapa
dunia ini masih juga terbuat dari kesedihan
dan
senyuman
Tak
ada lagi rayuan gombal yang dilontarkan
Si
mulut pengelana
Telah
kutemukan jalan
Sekali
pun aku tahu
Kotamu
hanyalah persinggahan sementara
Mungkin
ada jalan lain yang lebih tegas
Menuju
haribaan kematian
Sampai
seseorang membangkitkan
Atau
menyeret-nyeret jasadku
untuk
mendengarkan khotbah Tuhan
di
padang mashar
Telah
kutemukan jalan
Sementara
ini jiwa raga kutempatkan
Mengikuti
alunan tanganmu yang kekasih
In,2014
Puisi
Lukman A Salendra
Acapkali Abdan
Saat
pulang, acapkali aku tergoda
memangku
Abdan
ia
ketawa dan kedua tangannya merentang
menerima
sergapanku yang penuh haru
Seperti
tanah di asal kakekmu numpahkan sejarah,
menerima
anak-anak hujan sembari membiarkan
doa-doa
terus meresap menyuburkan tanaman
seperti
juga kebaikanmu Abdan
kenyamanan
dalam pangku ibumu
Acapkali
Abdan yang aku khayalkan
dalam
mobil-mobilan.
“Mau
ke mana Abdan? Langkahmu masih tertatih!”
Biarkan
segala mainan kehidupan jadi deru
dan
kau asyik menerka-nerkanya sebagai surga
Surga
yang tak luput dari nagari manja
Jangan
merengek Abdan! Ibumu dalam sembahyang
tenang
saja. Asyik saja dalam mainan
Tuh! Ada mobil
beneran lewat cipratkan air hujan
jadi
tempias di mana kau pun ingin jadi hujan
atau
jadi cahaya yang kehujanan
Tapi
ibumu akan cemas bukan main, bila kau ujan-ujanan
Sementara
aku di sini merindukan celoteh kecilmu
dan
ciprat hujan yang berjatuhan dari mulutmu
membasahi
batinku
Kau
memanggil-manggil namaku yang kini jadi bayang
Acapkali
Abdan yang aku wiridkan
In,
2014