Cerpen
Lukman A Sya
MATA YANG TAK PERNAH DIAM
“Semua mata yang hidup tak pernah diam!” Begitulah
perempuan yang telah kunikahi selama hampir 40 tahun itu selalu membela diri
manakala aku katakan bahwa matanya tak pernah diam.
“ Ya, tapi matamu itu selalu bergerak ke sana-ke mari
seolah tak puas dengan apa yang kau dapatkan sekarang!” Aku memberikan
penjelasan. Tapi perempuan yang telah kunikahi hampir 40 tahun itu tak pernah
mengerti dengan penjelasan-penjelasanku. Atau mungkin pura-pura tak mengerti. Ia
selalu mengatakan bahwa aku banyak dalih dan selalu punya argumen untuk
mematahkan yang sebetulnya tak pernah dilakukannya.
Aku mungkin lelaki pencemburu. Tapi baiklah aku ingin
menegaskan mengapa aku menjadi lelaki pencemburu. Bahkan sampai hari ini pun aku
masih menjadi lelaki paling pencemburu. Terutama kecemburuanku tak lain dan tak
bukan hanya untuk dia. Ya dia perempuan yang kini sudah 40 tahun kunikahi,
bersamanya aku arungi lautan duka dan gelombang rasa bahagia. Ya dia perempuan
yang aku kagumi mata indahnya. Ya aku takut mata indahnya itu menjadi milik
orang lain.
“ Kalau begitu, aku akan mencongkel mata ini dari
kelopakku agar aku tak bisa menggerak-gerakan bolamataku ke-sana ke mari. Mau?”
Dengan nada frustasi, perempuan yang selama 40 tahun kunikahi itu berbicara
seolah-olah ia tak lagi membutuhkan kedua bola matanya.
“Sungguh keterlaluan! Bagaimana mungkin aku mesti selamanya
mendiamkan mataku dalam keterpejaman selamanya, Sayang? Aku harus bersyukur
atas penglihatan ini, Sayang!” Ia sambil mengecup pipiku tiba-tiba yang
kecupannya selalu bisa membuatku tak bisa berkutik. Keegoisanku selalu
tiba-tiba hancur lebur manakala dia mendaratkan kecupan hangat di pipiku.
Bibir perempuan yang sudah kunikahi selama 40 tahun
itu juga indah. Dahulu kala dimasa gadisnya, banyak laki-laki yang
mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan bibirnya itu. Ya pada akhirnya aku
yang mendapatkan bibir perempuan itu meski aku katakan sesungguhnya bahwa bibir
itu bekas dikecup lelaki lain. Mantan-mantan pacarnya. termasuk aku yang kini
jadi suaminya. Ya, aku cemburu memang pada masa lalunya yang liar. Banyak
pacarnya ia, sekaligus tentu banyak dustanya. Tapi bagaimanapun harus kuakui
bahwa perempuan yang banyak dustanya adalah perempuan seksi juga. Dan itu
tipeku.
“ Aku sekarang hanya mencintai dirimu seorang.
Percayalah!”Perempuan yang telah kunikahi selama 40 tahun itu selalu meyakinkan
aku bahwa akulah lelaki yang terakhir dia cintai. Tapi aku tidak sepenuhnya
mempercayai ucapan dia. Entah kenapa. Tapi dia seolah kehabisan kata-kata untuk
meyakinkanku. Bahkan memang yang kurasakan sepanjang hayatnya, dia telah begitu
menyerahkan tubuh dan jiwanya untuk kebahagiaan dan keperluan hidupku. Tapi
entah kenapa aku merasa belum puas dan cukup. Rasa cemburuku lebih besar, bahkan
kalau diledakkan ledakannya tentu akan mengalahkan ledakan gunung Merapi yang
telah meluluhlantakan daerah sekitarnya. Perempuan yang telah kunikahi selama
40 tahun, selalu menangis pada akhirnya ketika aku meminta pembuktian bahwa
cuma aku laki-laki yang dia cintai. Tapi aku tak begitu percaya dengan
tangisan-tangisannya. Aku teringat saudara-saudara Yusuf yang datang ke nabi
Ya’kub, bapaknya dengan menangis ketika mereka telah menjerembabkan Yusuf ke sumur,
membunuhnya alatan cemburu. Mereka menangis dan tangisan itu dusta. Merujuk
pada cerita itu maka setiap kali perempuan yang telah kunikahi selama 40 tahun
menangis meyakinkanku, aku tak begitu percaya. Aku punya argumentasi lain
ketika aku dengan begitu tega menyamakan tangisan anak-anak Ya’kub dengan tangisan
perempuan yang telah aku nikahi selama 40 tahun tersebut. Aku kira siapa pun
akan punya rasa cemburu yang sama. Dia perempuan penuh pesona titisan dari dewi
khayangan.
***
Andaikan aku tidak jatuh cinta pada matanya
itu, andaikan aku tidak merebut dia dari laki-laki yang sebenarnya aku kasihan
padanya, andaikan ia pintar menghindar dari godaan dan rayuan gombalku,
andaikan aku tidak punya nyali untuk mengatakan sejujur-jujurnya pada
orangtuanya yang seorang ustadz, tentu aku tak mungkin bisa mendapatkan lima
anak yang kini semuanya sudah berkeluarga. Aku mencintai perempuan yang telah
kunikahi selama 40 tahun, yang telah sekian lama melakoni peran di atas
panggung kehidupan bersamanya, telah memberikanku banyak arti dan makna
termasuk puisi. Aku seringkali teringat masa-masa bagaimana mendapatkan dia.
Bagaimana dengan rajin aku mengunjungi rumah orang tuanya tak peduli ancaman
dan rintangan. Jalan menuju rumah orang tuanya sebenarnya cukup jauh dan medan
jalan yang sebenarnya rumit. Melewati hutan yang katanya angker, bukan hanya
karena banyak kejahatan manusia saja tetapi juga sekali-kali binatang buas
turun ke jalan. Tapi aku tak menghiraukan itu.
Aku tahu ia sebenarnya mencintaiku
hingga ia dengan nekat memutuskan tunangannya itu. Ya, kuakui meskipun di
antara aku dan dia tak sepenuhnya ada kecocokan selalu ada bumbu-bumbu
percekokan. Tapi aku punya alasan bahwa menikah tidak berdasarkan kecocokan,
tetapi komitmen dari dua kepala yang berbeda untuk kemudian membuat perahu
rumah tangga. Bila perlu sekalian dengan lautnya. Begitu pikirku dulu. Maka aku
memutuskan untuk menikahi dia bukan alasan kecocokan, karena pikirku mana mungkin
cocok dari dua kepala yang berbeda. Dua perasaan dan pikiran yang berbeda.
Tapi, barangkali kami merasa sepakat untuk bersatu dalam sebuah ikatan. Justru
dengan komitmenlah hal-hal yang tak ada dariku ia bisa mengisinya dan hal-hal
kekurangan dia, aku bisa mengisinya pula.
Tapi rasa cemburuku selalu saja tak
bisa aku hilangkan. Aku selalu memeliharanya baik-baik dan merawatnya dalam
hati secara diam-diam. Tapi aku mengira itulah yang membuat aku bisa selama 40
tahun bersamanya. Perempuan yang telah memberikan inspirasi bagi sepanjang
hidupku. Bahkan sampai hari ini ketika dia terbaring lemah, aku masih cemburu
pada matanya yang kelopak-kelopaknya sudah keriput. Aku mencintainya.Sungguh.
“ Kek, mamahnya si Mayang sudah
datang belum? Sudah ditelepon belum papahnya si Bayu? Sibuk tidak ya Den Bagus?
Fitri dan suaminya kapan ke sini menjengukku? Sudah dikabari belum Syifa?”
Dengan suara yang perlahan perempuan yang telah selama 40 tahun kunikahi
memberondongku dengan berbagai tanya kepenasaran. Ia entah kenapa belakangan
ini dalam sakitnya suka menyuruhku untuk segera mengumpulkan anak-anak. Ia
seperti merasa kesepian cuma ditemani aku. Ia selalu memintaku untuk segera
menelepon anak-anak.
“ Ya, semuanya sudah dikabari. Aku katakan semua
anak-anak mesti ke rumah dulu meluangkan waktu untuk ngumpul keluarga. Ada hal
yang ingin dikatakan Nek pada kalian, kataku. Tapi ya mungkin mereka masih
sibuk jadi belum satu pun yang sampai di rumah ini.” Aku sebenarnya sudah
mencoba menghubungi anak-anak semua untuk berkumpul. Tapi ya aku memaklumi
mereka. Mereka anak-anak kami semuanya sibuk bekerja. Mamahnya Mayang jadi
sekretaris di sebuah perusahaan. Hendi yang anggota DPRD masih ada urusan dinas
berada di luar kota. Den Bagus yang dosen berada di Yogyakarta bersama
istrinya. Fitri yang guru di SMAN juga masih sibuk pindah rumah beres-beres
rumah barunya. Syifa sudah jelas masih berada di Singapura ikut dinas suaminya
yang seorang diplomat.
“ Ya sabar saja Nek! Mereka juga
tentu pasti datang. Cuma mereka sibuk saja barangkali. nanti juga bakal datang.
Kek sudah menghubungi mereka. Kecuali Syifa mungkin tak bisa dipaksakan kerna
ia masih ada urusan dinas bersama suaminya di Singapura. Tapi tenang saja. Nek
jangan terlalu berpikiran ke mana-mana. Pikirkan sekarang Nek mesti sehat
kembali. ” Aku mencoba meyakinkan bahwa anak-anak dan cucu-cucu pasti datang.
Aku menggenggam jemari tangannya
yang terasa dingin. Aku usap-usap jemarinya seolah membukakan kembali
pintu-pintu masa lalu ketika aku dan dia dalam masa-masa penuh gelora. Kini,
rambutnya separuhnya memutih. Aku tatap matanya. Mata yang membuat aku
terus-menerus cemburu. Sudut kedua bola mata itu basah. Airmata perlahan-lahan
menganak sungai ke pipinya yang keriput. Airmata yang sepertinya ingin
menjelaskan sesuatu yang aku sendiri merasa tak bisa menjelaskan dengan untaian
kata-kata. Airmata yang membuat mataku juga mengeluarkan airmata. Mata
perempuan yang selama 40 tahun membayang-bayangiku kini dalam keterpejamannya
seolah mengisyarahkan sesuatu. Mata itu kini mulai diam. Seolah tak bergerak.
mata itu seakan meresapi segala keindahan yang pernah dilihatnya dengan
keterpejamannya. Entah melihat apa dengan keterpejamannya itu. Mungkin ada
impian-impian sederhana ingin berkumpul bersama anak-anak yang dibesarkannya
dengan penuh cinta dan belaian.
Perlahan-lahan perempuan yang
berbaring lemah di sampingku membukakan kelopak matanya. Tampak bening bola
matanya menghiasi wajahnya yang pias. Sisa-sisa merah bibirnya masih tampak.
Aku mencium bibirnya perlahan. Aku mencium matanya. Aku mendekatkan wajahnya di
wajahku dengan menyangga lehernya. Aku belai-belai rambutnya.
“ Kek, mana anak-anak? Sudah pada
datang belum?” Ia bertanya seolah-olah ingin segera mendapatkan jawaban bahwa
anak-anak sudah berada di ruang tengah.
“Belum Nek. Paling sebentar lagi!”
Dan aku mengecup matanya. Kemudian matanya memejam. kemudian perlahan terbuka
lagi. Ia menatapku lekat-lekat, seolah meyakinkan aku masih dekat di sisinya.
Kedua bolamatanya kembali tak diam. Bergerak mendelik ke atas.
“ Hey, masihkah tidak yakin aku
mencintaimu sungguh-sungguh?” Tiba-tiba ia berkata dan memanggilku “hey” yang
sebenarnya aku tak menduganya ia akan mengatakan demikian.
“ Masihkah akan menuding mataku tak pernah setia
padamu? Masihkah kau akan menuding aku wanita murahan? Masihkah kau akan
memarahiku dan menuding-nuding masa laluku? Aku ingin kau mencium mataku untuk
yang terakhir kali dan berjanji tidak akan menuding-nudingku lagi. Belum
cukupkah 5 anak dari perutku sebagai tanda cinta dan baktiku padamu, Ayo! Ingin
apa lagi dengan mataku ini? Masihkah…”
Aku tak kuasa dan tak menyangka perempuan yang dengan
lemah ia berbaring akan berkata cukup lantang. Sungguh aku tak kuasa
mendengarnya. Lalu meledaklah tangisan. Aku memeluk dia erat-erat. Aku tak bisa
berkata-kata, sementara angin masih sibuk di luar menimbulkan suara riuh di
pohon-pohon.
Hening. Hanya nafas yang terdengar dan jantung
berdegupan. Kami masih erat berpelukan. Sampai kemudian terdengar ketukan di
pintu.
Dokter datang. Pukul 10 pagi. Aku kecup mata istriku.
Aku mempersilahkan dokter masuk. Aku menggeser tempat dudukku. Aku tak beranjak
keluar. masih ada rasa cemburuku. Aku takut dokter berbuat yang tidak-tidak
pada nenek yang berusia 66 tahun yang terbaring sakit. Yang aku sendiri tak boleh menceritakan apa sakitnya
perempuan yang selama bertahun- tahun menyertai hari-hariku.
“Den Bagus?” istriku tiba-tiba membuka matanya.
Menatap lekat-lekat si dokter.
“Den Bagus masih di perjalanan. Tenang saja. ini
dokter.” Dengan senyum ramah kemudian dokter mengeluarkan alat-alat dari
tasnya.
Aku pandangi bolamata istriku. Terus bergerak-gerak
seolah tak mau diam. Menatap lekat-lekat dokter sementara dokter tengah
mengeluarkan alat pengukur tensi darah.
Mata itu semakin tak pernah diam. Begitu liar menatap
si dokter seperti ingin memangsanya. Sungguh aku jadi merasakan sesuatu. Mataku
tak kuasa mengeluarkan air mata. Aku ingin mengahmpiri istriku. Tak tak bisa.
Mata itu memelototi dokter. Dan kemudian memejam. Mata itu ingin menasihati
umurku juga yang sudah 75 tahun mengembara menggunakan mata ini untuk memandang
sesuatu yang penting dan tak penting. mata yang penuh cinta dan rasa cemburu.
Mata yang kadang-kadang menajdi mata-mata. Sementara mata perempuan yang selama
40 tahun tak pernah aku yakini kesetiaannya, kini begitu tulus menjadi mata
yang sejujur-jujurnya menyatakan cinta mengatakan kesetiaannya. Tiba-tiba
dadaku jadi terasa sesak. tapi tidak bisa berkata. Dokter masih sibuk
mengeluarkan apa yang ada lama isi tas. Sementara perempuan yang selama 40
tahun sering akucemburui, kini tengah khusuk dengan sesuatu yang datang tak
disangka-sangka. Mata tak pernah diam itu, ternyata kemudian kini diam
sediam-diamnya. Dua lelaki berparas cantik bergaun putih kusaksikan
menyambutnya memapahnya ke sebuah dunia yang begitu kubayangkan sangat indah.
Mata yang tak pernah diam itu kini sudah berada dalam naungan mata yang satu:
mata Allah kekasih perempuan yang berbakti pada suaminya tak kenal lelah,
mengasuh dan membimbing anak-anak hingga dewasa. Selamat jalan istriku!
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.