Nuansa Kritik Sosial dalam Puisi
Muhammad Zamzam Noor Ilyas
Oleh Lukman Ajis Syalendra
Eksistensi kesastrawanan
Muhammad Zamzam Noor Ilyas atau lebih dikenal dengan nama Acep Zamzam Noor secara
“ekstraestetik” maupun “intraestetik” sangatlah diperhitungkan dalam kancah
sastra Indonesia sebagai bagian dari khazanah sastra dunia. Acep Zamzam Noor
dalam sastra Indonesia tak bisa dipungkiri lagi bahwa kekaryaannya yang khas memunculkan
warna estetik tersendiri dan tak sedikit dari banyak karya-karya yang ditulisnya
menjadi hipogram bagi kepenyairan penulis-penulis yang datang kemudian. Dengan
kata lain, betapa kuatnya daya estetik Acep Zamzam Noor menginspirasi sehingga
menjadi nutrisi bagi penyair generasi kemudian itu untuk beritt’iba atau
berepigon kepadanya, dirasakan maupun tak dirasakan.
Dalam dunia
kesusatraan masalah ke-berittiba-an
atau upaya epigonisme mengikuti mainstream, adalah bukan hal baru. Banyak kasus
yang sudah terjadi dan menjadi wacana sastra yang menarik. Contohnya kasus
Goenawan Mohammad terhadap puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar yang
nyata-nyata Goenawan Mohammad terinspirasi olehnya di dalam mencipta bagaimana
membangun suasana sebuah karya puisi. Secara intertekstual, juga begitu dengan
Iwan Simatupang. Nuansa diksi-diksi puisi Chairil Anwar terasa kuat dalam banyak
puisi-puisi Iwan Simatupang dalam buku “Mawar Hitam”.
Acep Zamzam Noor
adalah sebuah mainstream. Karya-karyanya setuju ataupun tidak banyak diikuti
generasi berikutnya. Warna estetika pengucapan Acep Zamzam Noor sangat kuat,
unsur lirisitasnya dan metaforanya yang bening. Acep Zamzam Noor telah menjelma
sosok yang secara ekstraestetik adalah sastrawan yang telah banyak
menyumbangkan dan mewarnai kesusastraan Indonesia dengan cemerlang. Ada alunan
nada sensual religius pada puisi-puisinya sebagai seorang sastrawan yang
nampaknya ingin selalu bermesra-mesraan dengan banyak hal. Romantis sensual religius
itulah warna lain dari puisi-puisi Acep Zamzam Noor. Berikut contoh puisi Acep
yang bernada sensual religius:
Sajak Nakal
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga
(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga
(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)
Sebagai makhluk
sosial yang kritis dan peduli kemanusiaan, mata batin kesastrawanan Acep tidak
hanya dalam konteks bagaimana menghadirpandangkan suasana si aku lirik dalam
rasa sensual religius yang individual semata. Acep juga terlibat dan melibatkan
diri dalam praktek-praktek kritik sosial sebagai bentuk rasa kepedulian
individu yang tak tertahankan lagi merasakan keadaan dan kenyataan sosial
politik kekuasaan. Sebagai salah satu contoh Acep misalnya pernah menulis puisi
dengan judul “Kasidah Nurul Sembako” atau membuat Partai Nurul Sembako sebagai
sindiran dan kesaksian Acep atas ketimpangan dan kemunafikan yang terjadi di
negeri tercinta ini.
Nuansa kritik
sosial karya Acep Zamzam Noor kali ini saya coba periksa melalui representasi
si aku lirik dalam dua buah puisi yang dimuat lembar Khazanah Pikiran Rakyat, Minggu 21 Agustus 2011. Sebenarnya ada
empat puisi Acep yang dimuat pada edisi tersebut. Namun yang saya jadikan sampel
yaitu pada dua buah puisi Acep yang berjudul “Kau Pun Tahu” dan “Sajak Seorang
Pengungsi”. Sebagai sastrawan, Acep cukup peka dan kritis membaca kondisi
kekinian dalam konteks sosial, politik dan kekuasaan. Acep tidak menampakan
kemarahan secara pamfletis atau anarkis melainkan ia melakukan upaya
intensifikasi melalui puisi-puisi lirik kritiknya sehingga kesan puitikal tetap
terjaga sebagai warna pengucapan yang khas. Begitulah kesan awal saya ketika
membaca dua buah puisi Acep tersebut.
Puisi “Kau Pun
Tahu” terdiri dari enam bait yang tiap baitnya terdiri dari tujuh larik. Termasuk
puisi yang tertib secara bentuk alias terpola dengan bersih. Dan, dibalik semua
itu ada lapis makna yang meresonansikan ‘batin yang awas” untuk kemudian mengafirmasi
pernyataan puitik yang menggugah rasa.
Pada dua bait
berikut: Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/
Juga tak ada lagi kerinduan/ Bintang-bintang yang kuburu/ Semua meninggalkanku/
Lampu-lampu sepanjang jalan/ Padam.Semua rambu seakan/ Menunjuk ke arah jurang//
Kau pun tahu, tak ada lagi lagu/ Juga tak ada lagi nyanyian/ Suara yang masih
terdengar/ Berasal dari kegelapan/ Kata-kata yang kusemburkan/ Menjadi asing
dan mengancam/ Seperti bunyi senapan//...Aku lirik hadir membawakan suasana
“gelap” secara metaforik.Aku dalam gambaran krisis eksistensi akibat keadaan
yang frustatif. Aku tanpa harapan, hilang kendali. Yang tinggal keadaan jiwa
yang nyeri dalam iklim yang tak pasti.
Selanjutnya
dalam ketidakpastian itu yang seolah-olah “jurang gelap” siap menangkap
langkah-langkahnya, sang aku dengan sisa-sisa kesadarannya berjuang
mempersaksikan keadaan yang impase dari segala keruwetan modernitas kehidupan
antara tahayul pemimpin dan kekuasaan yang menawarkan daya mistisnya. Sang aku kemudian
mengalami keterpencilan jiwa bagaimana seharusnya melakoni hidup dan menyikapi
keadaan dan kenyataan sosial. Maka...Kau
pun tahu, tak ada lagi puisi/ Juga tak ada lagi basa-basi/ Kota telah dipenuhi
papan-papan iklan/ Pamplet-pamplet disemprotkan/ Dengan kasar dan tergesa-gesa/
Mereka yang berteriak lantang/ Tak jelas maunya apa// Kau pun tahu, tak ada lagi pemimpin/ Juga tak
ada lagi yang bersedia dipimpin/ Hidup sekedar menunggu jemputan/ Atau sibuk memungut
kotoran dari selokan/ Gunung-gunung sudah diratakan, sawah-sawah/ Dijadikan
perumahan. Tak ada lagi tanaman padi/ Partai-partai politik hanya sarang para
pencuri//
Justifikasi si
aku lirik terhadap kenyataan adalah hal yang dapat dibenarkan oleh rasa peka yang
merasakan keadaan sekarang ini. Berbagai simulasi kekuasaan, akrobat kaum
birokrat, politik citra para pemimpin, kamuflase kata-kata adalah kenyataan
sehari-hari sebagai berita sekaligus sebagai derita bagi sosial-kemanusiaan.Ya,
justifikasi si aku lirik memang tak mungkin dibenarkan oleh pembenaran dan
dalih para mulut yang punya kuasa. Tapi, paling tidak masalah yang diungkapkan
si aku lirik menjadi nyata adanya menggambarkan situasi dan kondisi yang
menyebabkan rasa individual si aku lirik sungguh-sungguh berada dalam suasana
yang apatis, bahkan frustatif. Lebih jauhnya keadaan semacam itu akan menyeret
masyarakat pada sebuah kondisi kerumunan manusia-manusia si aku lirik yang
skizoprenik. Sekali lagi sang aku mempersaksikan: Kau pun tahu, tak ada lagi iman/ Juga tak ada lagi keyakinan/ Aku sembahyang
di atas comberan/ Menghabiskan sisa umur tanpa keyakinan/ Ulama-ulama yang dulu
pernah kupuja/ Seperti juga para pejabat yang brengsek itu-/ Hampir semuanya
tak bisa dipercaya// Kau pun tahu, tak ada lagi kata-kata/ Juga tak ada lagi
yang perlu dinyatakan/ pidato dan kentut sulit dibedakan/ begitu juga
mengangguk dan mengutuk/ Wakil-wakil rakyat yang tidurnya lelap/ Bangunnya
selalu kesiangan/ Padahal ingin disebut pahlawan/
Begitu pun dalam
puisi “Sajak Seorang Pengungsi Buat Frans Nadjira”, rasa apatis dan ungkapan frustasi
si aku lirik itu bergema. Sang aku malah seperti manusia pengungsi di negeri
sendiri yang tak memiliki ransum apa-apa baik untuk kini maupun untuk masa
depan karena telah dikorup para pemimpin, cuma borok-borok. Napasku yang mengandung api selalu ingin
membakar apapun/ Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan/ Sedang
sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku/ Dengan lahap aku
mengucup borok-borok peradaban yang berlalat/ Untuk kumuntahkan kembali lewat
sajak-sajakku. Sepanjang hari/ Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan
darah negeri ini/ Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus/ Kemudian
melempari gambar pemimpinnya yang nampang/ Di papan iklan. Menyanyikan lagu
dangdut di bawah tiang bendera//
Rasa frustasi si
aku lirik akibat keadaan sosial yang memaksa yang barangkali hanya bisa dijawab
dengan kegilaan, keliaran dan hiperbola laku tanpa aturan, terasa menohok batin
kemanusiaan di dalam bait terakhir puisi “Sajak Seorang Pengungsi” berikut: Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi
siapapun/ Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan/ Sedang
kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku/ Menjadi bajingan. Kembali
aku mengembara dalam kasmaran/ Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan
rambu-rambu/ Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak/ Gedung
parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:/ Sambil berjoget aku
terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh/ Karena bumi sudah tak mampu
memahami ungkapanku lagi//
Dua buah puisi
Acep zamzam Noor itu dalam konteks kritik sosial mengamanatkan betapa perilaku
para pemimpin, para ulama dan para birokrat serta para pemegang kendali hukum
dan kebijakan bukannya membimbing masyarakat kemanusiaan yang direpresentasikan
melalui sosok sang aku lirik puisi (dalam terminologi pars pro toto) ke alam
pencerahan berkeadilan sejahtera dan keadilan hukum. Justru sebaliknya hanya
menawarkan sengkarut keruwetan politik-kekuasaan. Yang pada akhirnya menjadikan
si aku lirik-si aku lirik marjinal sebagai manusia sosial terfrustasikan oleh
keadaan; kehilangan acuan dan panutan tata laku moral kemanusiaan.
Maka, sadarlah
wahai para pemimpin! Jangan cuma pandai bermain “citra”, kami butuh bukti
nyata!
***
*)penulis adalah peneliti sastra Indonesia