Penjabat
= Penjahat?
Oleh
Lukman Ajis Salendra*
Penulis tergelitik
oleh sebuah kata yang sering diucapkan khalayak banyak atau dituliskan wartawan,
yaitu nomina pejabat. Mengapa tidak
memakai nomina penjabat? Kita memang
sudah terbiasa mencecap nomina pejabat
daripada nomina penjabat. Bagaimana
dengan nomina penjahat? Mengapa tidak
dipakai nomina pejahat? Apakah karena
faktor ke-manasuka-an (arbitrer) para pemakai bahasa yang sudah telanjur
menggunakan nomina pejabat maupun nomina
penjahat sebagai acuan pemasyarakatan?
Baiklah supaya
kita tidak tersesat di istana, kita buka buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
yang ditulis para ahli bahasa Indonesia, supaya jelas “perkara duduknya”
bagaimana pembentukan nomina turunan penjabat
baik pun pejabat itu sebagai suatu
proses morfofonemik.
Nomina atau sering
disebut kata benda dapat dilihat di antaranya dari segi bentuknya. Dilihat dari
segi bentuk morfologisnya, nomina terdiri atas dua macam yakni nomina yang
berbentuk kata dasar dan nomina turunan.
Penurunan nomina dilakukan dengan afiksasi, perulangan atau pemajemukan. Contoh
nomina dasar seperti adik, gambar, pisau,
tongkat, dll. Sedangkan contoh nomina turunan seperti penjabat dan penjahat itu. Nomina dapat diturunkan melalui afiksasi,
perulangan atau pemajemukan. Afiksasi nomina adalah suatu proses pembentukan
nomina dengan menambahkan afiks tertentu
pada kata dasar. Yang perlu diketahui dalam penurunan nomina dengan afiksasi
adalah bahwa nomina tersebut memiliki sumber penurunan dan sumber tersebut belum
tentu berupa kata dasar. Nomina turunan seperti kebesaran memang diturunkan dari kata dasar besar sebagai sumbernya, tetapi pembesaran
tidak diturunkan dari kata dasar yang sama, besar,
tetapi dari verba membesarkan. Sumber
sebagai dasar penurunan nomina ditentukan oleh keterkaitan makna antara sumber
tersebut dengan turunannya. Kebesaran
bermakna keadaan besar, karena itu kebesaran diturunkan dari adjektiva besar. Akan tetapi makna pembesaran berkaitan dengan perbuatan membesarkan, bukan dengan keadaan besar. Karena itu pembesaran diturunkan bukan dari
adjektiva besar, tetapi dari verba membesarkan.
Lebih lanjut dicontohkan,
menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia itu bahwa keterkaitan makna merupakan
dasar untuk menentukan sumber. Maka dalam kebanyakan hal tiap nomina turunan
mempunyai sumbernya sendiri-sendiri. Nomina turunan seperti pertemuan dan penemuan, misalnya tidak diturunkan dari sumber yang sama, yakni, temu tetapi dari dua verba yang berbeda.
Pertemuan diturunkan dari verba bertemu, sedangkan penemuan dari verba menemukan.
Penemuan juga tidak diturunkan dari
verba menemui karena antara menemui dengan penemuan tidak ada keterkaitan makna.
Nah, Penjabat
adalah nomina turunan dari verba jabat.
Verba Jabat artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online ( Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2008): 1) memegang; 2) melakukan
pekerjaan (pangkat dsb); 3) memegang jabatan (pekerjaan). Dalam kamus tersebut
dijelaskan nomina penjabat yang
berarti: 1) pemegang jabatan; 2)
orang yg memangku jabatan orang
lain untuk sementara. Sedangkan dalam kamus tersebut tidak dijelaskan mengenai nomina
pejabat yang faktanya dalam kamus
tersebut yang banyak dipakai adalah nomin pejabat
dari pada penjabat dalam setiap pemerian
pengertian terhadap kata tertentu sebagai
penjelas. Contoh: frasa pejabat
pemerintah yang berwenang, korupsi
pejabat, oknum pejabat, pejabat tinggi, dll. Kiranya, nomina penjabat hanya sekali muncul ada dalam
kalimat penjelas dalam kamus tersebut. Kiranya, nomina penjabat terbentuk melalui proses afiksasi nomina dengan prefiks peng-. Prefiks peng- mempunyai enam alomorf: pem-,
pen-, peng-, penge-, dan pe-.
Dari manakah asal-usul nomina pejabat? Mungkin, seperti di Indonesia ini tiba-tiba seseorang disebut pejabat karena kecenderungannya adalah warisan turun-temurun dari kekuasaan oligarki. Masih bisa dihitung pejabat yang dari hasil perjuangan jerih payahnya meniti karier dari mulai terlunta-lunta sampai menjadi berjaya. Pembentukan nomina pejabat bisa jadi turunan dari berjabat atau perjabatan yang didasarkan analogi bentuk yang ada sebelumnya yaitu nomina pejuang. Pejuang diturunkan dari verba berjuang, perjuangan sebagai hasil proses morfofonemik prefiks per- yang alomorfnya pe-, bukan peng- seperti untuk nomina penjabat itu. Jadi dua-duanya baku hanya proses morfofonemiknya yang berbeda, dibentuk secara teratur maupun secara tak teratur.
Baiklah,
konon bahwa bahasa Indonesia kontemporer menunjukan adanya kecenderungan untuk
memunculkan bentukan-bentukan baru dan pemaknaan-pemaknaan baru secara
metaforik sesuai dengan kebutuhan. Jarang dipakainya nomina penjabat, apakah karena konotasi makna penjabat hanya digunakan untuk menandai
“orang yang memangku jabatan orang lain
untuk sementara”, sedangkan nomina pejabat
dimaknai sebagai “orang yang memegang jabatan”? Jadi kesan dan konotasinya pejabat yaitu “seseorang yang ingin
langgeng menduduki jabatan” dan penjabat
dimaknai ”sementara saja memegang jabatan atau pengganti jabatan sementara”. Secara
sosio-politik, maknanya sama sebenarnya toh
jabatan itu sifatnya sementara. Persoalannya adalah ada ditingkat para pemakai
bahasa yang manasuka atau arbitrer
itu. Dua-duanya sah secara kaidah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Cuma, penulis
dalam konteks hari ini lebih menyarankan menggunakan nomina penjabat untuk merujuk pada “orang yang
sedang menduduki jabatan tertentu, baik yang memahami bahwa jabatan itu
sementara maupun yang ingin mengekalkannya”, daripada memakai nomina pejabat. Pejabat secara bentuk beranalogi dengan nomina pejuang. Sementara nomina penjabat
beranalogi bentuk dengan nomina penjahat,
penjudi, penjagal, penjarah, penjegal, penjepit, penjambret, dll. Menarik! (tulisan ini pernah dipublikasikan koran Tribun Jabar)
*)
penulis adalah sastrawan dan staf redaksi majalah Internal Progres