Kisah Kasih, Mengolah
Sawah Mengolah Harapan
Teks
Lukman Ajis Salendra
Sawah. Termasuk kata yang paling populer. Paling tidak
menurut si genius Google. Cobalah Anda lakukan penelusuran! Hasilnya cukup
mencengangkan. Sekitar 4.960.000 (Empat Juta Sembilan Ratus Enam Puluh Ribu)
kata “sawah” dihasilkan Google dalam waktu 0.13 detik. Sebagai perbandingan,
yang lebih mencengangkan lagi kata yang masih bersaudara dengan kata sawah
yakni kata “padi” misalnya si Google
mencatat sekitar
12.600.000 (Dua Belas Juta Enam Ratus Ribu) masih dalam waktu yang sama yakni
0.13 detik. Kata petani lebih populer lagi, sekitar 28.000.000 ( Dua Puluh
Delapan Juta) kata yang dihasilkan, tapi dalam waktu 0.19 detik, selisih 0.06
detik dengan waktu saat mencari kata sawah dan kata padi. Kata “pangan”
lebih mencengangkan lagi, sekitar 8.660.000.000 (Delapan Milyar Enam ratus Enam
Puluh Ribu) yang dihasilkan mesin pencari kata tersebut dalam waktu 0.43 detik,
selisih waktu 30 detik dibandingkan dengan waktu pencarian terhadap kata sawah.
Penelusuran
Google terhadap kata “sawah” itu tentu akan bertambah dari detik ke detik. Hal
itu paling tidak dapat dijadikan ukuran keberterimaan betapa kata “sawah”
begitu familiar di jagat internet sekalipun. Bahkan yang namanya sawah sudah
dikenal sejak jaman baheula. Hal itu
ditunjukan dengan kebiasaan nenek moyang manusia yang suka mengolah lahan
pertanian alias bercocok tanam. Sawah sejatinya berhubungan dengan aktivitas
sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu bangsa. Membicarakan ketahanan pangan
pun niscaya akan terkait dengan membicarakan bagaimana mengolah lahan
persawahan.
Merujuk pada Wikipedia, sawah adalah lahan usaha pertanian yang
secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami
padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya. Kebanyakan sawah digunakan untuk
bercocok tanam padi. Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan
air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata air, sungai
atau air hujan. Sawah yang mengandalkan curah air hujan dikenal sebagai sawah
tadah hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di
sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).
Mengolah Sawah
Mengolah
lahan sawah tentunya perlu perlakuan secara baik. Sawah juga ingin dicinta dan
dimanja, seperti kekasih. Sawah merupakan “kekasihnya” para petani. Para petani
tidak pernah semena-mena memperlakukan sawah. Ada aturan yang dianut atau
semacam “tata krama” para petani bagaimana merawat dan mengolah sawah. Bahkan
ada acara ritual atau ruwat sebelum memulai menggarap sawah. Hal itu menunjukan
para petani sungguh-sungguh mengolah sawah di mana sawah telah memberikan
penghidupan bagi keluarga.
Secara
tradisional ada istilah-istilah ketika akan memulai menggarap sawah yang
mungkin anak muda jaman sekarang merasa asing dengan istilah-istilah tersebut. Yaitu
istilah Babad damen,artinya kegiatan untuk memangkas seluruh jerami yang ada di sawah. Nembok yaitu membersihkan pematang sawah
dan menambal kembali dengan tanah/lumpur sawah yang baru. Ngaluku, membajak tahap pertama yaitu membajak sawah dengan
menggunakan satu set alat bajak dengan memanfaatkan tenaga kerbau atau sapi.
Dengan ngaluku ini bertujuan untuk
membalik permukaan tanah dari seluruh permukaan tanah sawah. Setelah diluku, sawah dibiarkan dahulu agar rumput-rumput
yang tertimbun (setelah dari proses pembalikan tanah) membusuk. Biasanya dalam
satu minggu. Kemudian ada istilah Ngagaru
yaitu membajak tahap kedua, jika ngaluku
adalah membalik tanah, maka ngagaru
adalah meratakan tanah dan menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah dan menyapu
sisa-sisa rerumputan yang tidak membusuk hidup lagi. Setelah seluruh permukaan
tanah cukup rata dan gembur, maka siap untuk ditanami bibit padi. Selanjutnya
adalah Tandur yaitu kegiatan menanam
padi.
Untuk
menanam padi dibutuhkan pengolahan tanah yang bagus sebelum masa tanam. Salah
satunya adalah dengan menggemburkan tanah dengan cara dibajak. Kegiatan
mengolah lahan sawah juga bagi para petani, otomatis membuka peluang usaha.
Contohnya usaha jasa bajak sawah, baik menggunakan tenaga kerbau atau sapi,
maupun menggunakan alat yang lebih canggih seperti traktor. Bahkan ada yang
masih menggunakan tenaga manusia.
Dulu, orang
membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi atau kerbau, sekarang sudah
banyak yang menggunakan traktor. Menggunakan sapi dan kerbau dianggap kecepatan
menyelesaikan pekerjaannya sangat lambat, maka banyak petani berpaling membajak
sawah menggunakan mesin. Mesinisasi pertanian juga mulai dilakukan di Indonesia. Traktor tangan sudah banyak
digunakan di banyak tempat. Penggilingan padi menggantikan peran lesung dan alu. Tapi ada juga yang mempertahankan
tradisi membajak sawah mengandalkan kerbau atau sapi itu. Alasannya bisa
macam-macam. Hal itu tergantung pada tradisi dan kepercayaan atau terkait
dengan budaya setempat sebagai kearifan lokal. Kalau memakai traktor, memang
lebih praktis dan hasil bajakannya lebih padat. Tapi mereka harus mengeluarkan
biaya untuk membeli bahan bakar bensin atau solar untuk mesin traktor.
Di Indonesia pada umumnya, alat-alat pertanian tradisional, baik alat berat maupun ringan masih digunakan oleh para petani. Luku yang ditarik kerbau atau sapi misalnya, masih banyak digunakan sekalipun traktor mesin juga mulai merambah tanah-tanah pertanian. Para petani banyak yang beralasan, luku yang ditarik binatang ternyata mata bajaknya lebih dalam menghunjam tanah sehingga kegemburan tanah pertanian bisa lebih dalam dibandingkan dengan hasil kinerja traktor mesin.
Alasan petani tidak menggunakan mesin tangan masalahnya mungkin karena perawatannya tidak sederhana dan tidak murah. Mesin yang sudah rusak di pasaran akan jatuh harga jualnya sementara alat pertanian tradisional relatif lebih murah dan mudah perawatannya. Boleh jadi kecintaan atau hubungan emosional antara petani-binatang-tanaman-dan tanah nampaknya juga turut memengaruhi keengganan petani menggunakan alat pertanian bermesin.
Ada lagi yang unik seperti dilansir media masa, di Yogyakarta ada tradisi
membajak sawah dengan tenaga manusia. Kalau lazimnya di jaman modern ini membajak sawah
dengan traktor, atau setidaknya hewan, sapi atau kerbau yang dikendalikan oleh
manusia. Warga yang tinggal tepatnya di Dusun Salam Desa Tewuwuh Kecamatan
Dlingo Bantul, selatan Yogyakarta itu justru masih menggunakan tiga hingga
empat orang untuk melakukan kegiatan membajak. Mereka memikul dan menarik alat
bajak seperti layaknya sapi atau kerbau. Cara membajak sawah dengan menggunakan
tenaga manusia tersebut merupakan warisan nenek moyang yang mereka lestarikan.
Panen

Panen pada
masa kini dapat dilakukan dengan mesin pemanen seperti cobine harvester. Dalam budidaya yang masih tradisional atau
setengah trandisional para petani masih menggunakan sabit atau bahkan ani-ani.
Alat pemanen lain yang tidak dikenal di Indonesia adalah scythe dan reaper. Panen tanpa mesin merupakan salah satu
pekerjaan dalam budidaya yang paling memakan banyak tenaga kerja. Kegiatan ini
dapat langsung diikuti dengan proses pascapanen atau pengeringan terlebih
dahulu.
Untuk cara
panen ini, banyak cara yang bisa petani lakukan. Tetapi yang terbaik adalah
kelompok tani mempunyai mesin perontok padi. Keuntungan dengan cara ini adalah
menghindari banyaknya butir gabah yang jatuh dan hilang. Selanjutnya kadar air
dalam panen harus mendapat perhatian. Hasil panen dinyatakan dalam Gabah
Kering panen (GKP). Biasanya kadar air dalam GKP sekitar 22-25 persen.
Setelah dilakukan penjemuran kadar air menjadi 14-15 persen. Dan dalam kondisi
gabah seperti ini dinamakan Gabah Kering Giling (GKG). Kemudian yang
berhubungan dengan panen itu bagaimana menghitung perkiraan hasil panen.
Romantisme Sawah
Memahami
sawah sebagai warisan nenek moyang, maka tak akan lepas dari hal-ihwal tradisi
perdesaan yang “ramah” lingkungan dan sejatinya menyimpan banyak harapan. Sawah
merupakan harapan bagi masyarakat perdesaan. Sawah merupakan warisan yang mengandungi
tradisi budaya dan falsafah ekonomi dalam menuai rezeki. Bukan isapan jempol
belaka, rezeki dari kegiatan bertani seorang petani bisa sanggup ia menyekolahkan
anaknya sampai menjadi insinyur atau dokter. Sudah banyak cerita sukses petani
yang telaten menggarap sawah. Banyak kisah, sepetak tanah bisa mengantarkan
anak menjadi seorang begawan atau profesor.
Coba juga
sekali-sekali Anda belajar berjalan di pematang sawah, bagi yang belum pernah
menginjakan kakinya di sawah. Berjalanlah sambil menggandeng istri atau anak tercinta,
sekadar menghilangkan rasa kecut dan kepenatan rutinitas kerja di kota. Panorama
pemandangan persawahan yang indah mengajak seseorang untuk berefleksi ke masa silam. Sawah pun menjadi tempat rekreasi
“cuci mata”. Mata dihibur oleh para petani
yang tekun mencangkul; bajak yang ditarik kerbau; atau ibu petani yang menyemai
dan menanam bibit. Seiring rembang waktu, padi-padi itu tumbuh, menghijau, dan lalu
menguning. Bahkan acapkali ada burung-burung pipit bercanda di tangkai-tangkai
padi mematuki bulir-bulir sebelum diusir petani. Sawah dari kejauhan bagaikan permadani. Ingatan
melayang ke alam persawahan mendatangkan kesegaran bagi pikiran dan perasaan. Ketika
padi sudah menguning, buruh-buruh tani pun siap memanen. Terlukis gambaran padi keemasan
menghampar seluas mata memandang. Pepadi melambai disapa angin seolah
mengisyaratkan harapan kesejahteraan.
Sayang,
lahan persawahan kini sudah banyak yang berganti fungsi menjadi perumahan,
gedung perkantoran atau pabrik industri. Bahkan di ibu kota, sawah hanyalah
tingggal nama. “Sawah Besar” nama sebuah kecamatan di ibukota Jakarta. Jangan
harap Anda akan menjumpai sawah besar yang menghampar luas di kecamatan
tersebut, selain riuh lalu lintas kendaraan di jalan raya.###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.