Senin, 22 Oktober 2012

Penjabat = Penjahat?
Oleh Lukman Ajis Salendra*

 Penulis tergelitik oleh sebuah kata yang sering diucapkan khalayak banyak atau dituliskan wartawan, yaitu nomina pejabat. Mengapa tidak memakai nomina penjabat? Kita memang sudah terbiasa mencecap nomina pejabat daripada nomina penjabat. Bagaimana dengan nomina penjahat? Mengapa tidak dipakai nomina pejahat? Apakah karena faktor ke-manasuka-an (arbitrer) para pemakai bahasa yang sudah telanjur menggunakan nomina pejabat maupun nomina penjahat sebagai acuan pemasyarakatan?

 Baiklah supaya kita tidak tersesat di istana, kita buka buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang ditulis para ahli bahasa Indonesia, supaya jelas “perkara duduknya” bagaimana pembentukan nomina turunan penjabat baik pun pejabat itu sebagai suatu proses morfofonemik.

Nomina atau sering disebut kata benda dapat dilihat di antaranya dari segi bentuknya. Dilihat dari segi bentuk morfologisnya, nomina terdiri atas dua macam yakni nomina yang berbentuk kata dasar dan  nomina turunan. Penurunan nomina dilakukan dengan afiksasi, perulangan atau pemajemukan. Contoh nomina dasar seperti adik, gambar, pisau, tongkat, dll. Sedangkan contoh nomina turunan seperti penjabat dan penjahat  itu. Nomina dapat diturunkan melalui afiksasi, perulangan atau pemajemukan. Afiksasi nomina adalah suatu proses pembentukan nomina  dengan menambahkan afiks tertentu pada kata dasar. Yang perlu diketahui dalam penurunan nomina dengan afiksasi adalah bahwa nomina tersebut memiliki sumber penurunan dan sumber tersebut belum tentu berupa kata dasar. Nomina turunan seperti kebesaran memang diturunkan dari kata dasar besar sebagai sumbernya, tetapi pembesaran tidak diturunkan dari kata dasar yang sama, besar, tetapi dari verba membesarkan. Sumber sebagai dasar penurunan nomina ditentukan oleh keterkaitan makna antara sumber tersebut dengan turunannya. Kebesaran bermakna keadaan besar, karena itu kebesaran diturunkan dari adjektiva besar. Akan tetapi makna pembesaran berkaitan dengan perbuatan membesarkan, bukan dengan keadaan besar. Karena itu pembesaran diturunkan bukan dari adjektiva besar, tetapi dari verba membesarkan.

 Lebih lanjut dicontohkan, menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia itu bahwa keterkaitan makna merupakan dasar untuk menentukan sumber. Maka dalam kebanyakan hal tiap nomina turunan mempunyai sumbernya sendiri-sendiri. Nomina turunan seperti pertemuan dan penemuan, misalnya tidak diturunkan dari sumber yang sama, yakni, temu tetapi dari dua verba yang berbeda. Pertemuan diturunkan dari verba bertemu, sedangkan penemuan dari verba menemukan. Penemuan juga tidak diturunkan dari verba menemui karena antara menemui dengan penemuan tidak ada keterkaitan makna.

 Nah, Penjabat adalah nomina turunan dari verba jabat. Verba Jabat  artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online ( Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008): 1) memegang; 2) melakukan pekerjaan (pangkat dsb); 3) memegang jabatan (pekerjaan). Dalam kamus tersebut dijelaskan nomina penjabat yang berarti: 1) pemegang jabatan; 2) orang yg memangku  jabatan orang lain untuk sementara. Sedangkan dalam kamus tersebut tidak dijelaskan mengenai nomina pejabat yang faktanya dalam kamus tersebut yang banyak dipakai adalah nomin pejabat dari pada penjabat dalam setiap pemerian  pengertian terhadap kata tertentu sebagai penjelas. Contoh: frasa pejabat pemerintah yang berwenang, korupsi pejabat, oknum pejabat, pejabat tinggi, dll. Kiranya, nomina penjabat hanya sekali muncul ada dalam kalimat penjelas dalam kamus tersebut. Kiranya, nomina penjabat terbentuk melalui proses afiksasi nomina dengan prefiks peng-. Prefiks peng- mempunyai enam alomorf: pem-, pen-, peng-, penge-, dan pe-.

Dari manakah asal-usul nomina pejabat? Mungkin, seperti di Indonesia ini tiba-tiba seseorang disebut pejabat karena kecenderungannya adalah warisan turun-temurun dari kekuasaan oligarki. Masih bisa dihitung pejabat yang dari hasil perjuangan jerih payahnya meniti karier dari mulai terlunta-lunta sampai menjadi berjaya. Pembentukan nomina pejabat bisa jadi turunan dari berjabat atau perjabatan yang didasarkan analogi bentuk yang ada sebelumnya yaitu nomina pejuang. Pejuang diturunkan dari verba berjuang, perjuangan sebagai hasil proses morfofonemik prefiks per- yang alomorfnya pe-, bukan peng- seperti untuk nomina penjabat itu. Jadi dua-duanya baku hanya proses morfofonemiknya yang berbeda, dibentuk secara teratur maupun secara tak teratur.

Baiklah, konon bahwa bahasa Indonesia kontemporer menunjukan adanya kecenderungan untuk memunculkan bentukan-bentukan baru dan pemaknaan-pemaknaan baru secara metaforik sesuai dengan kebutuhan. Jarang dipakainya nomina penjabat, apakah karena konotasi makna penjabat hanya digunakan untuk menandai “orang yang memangku  jabatan orang lain untuk sementara”, sedangkan nomina pejabat dimaknai sebagai “orang yang memegang jabatan”? Jadi kesan dan konotasinya pejabat yaitu “seseorang yang ingin langgeng menduduki jabatan” dan penjabat dimaknai ”sementara saja memegang jabatan atau pengganti jabatan sementara”. Secara sosio-politik, maknanya sama sebenarnya toh jabatan itu sifatnya sementara. Persoalannya adalah ada ditingkat para pemakai bahasa yang manasuka atau arbitrer itu. Dua-duanya sah secara kaidah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Cuma, penulis dalam konteks hari ini lebih menyarankan menggunakan nomina penjabat untuk merujuk pada “orang yang sedang menduduki jabatan tertentu, baik yang memahami bahwa jabatan itu sementara maupun yang ingin mengekalkannya”, daripada memakai nomina pejabat. Pejabat secara bentuk beranalogi dengan nomina pejuang. Sementara nomina penjabat beranalogi bentuk dengan nomina penjahat, penjudi, penjagal, penjarah, penjegal, penjepit, penjambret, dll. Menarik! (tulisan ini pernah dipublikasikan koran Tribun Jabar)
 

*) penulis adalah sastrawan dan staf redaksi majalah Internal Progres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.