Kamis, 09 Februari 2012

Apresiasi



Nuansa Kritik Sosial dalam Puisi Muhammad Zamzam Noor Ilyas
Oleh Lukman Ajis Syalendra

Eksistensi kesastrawanan Muhammad Zamzam Noor Ilyas atau lebih dikenal dengan nama Acep Zamzam Noor secara “ekstraestetik” maupun “intraestetik” sangatlah diperhitungkan dalam kancah sastra Indonesia sebagai bagian dari khazanah sastra dunia. Acep Zamzam Noor dalam sastra Indonesia tak bisa dipungkiri lagi bahwa kekaryaannya yang khas memunculkan warna estetik tersendiri dan tak sedikit dari banyak karya-karya yang ditulisnya menjadi hipogram bagi kepenyairan penulis-penulis yang datang kemudian. Dengan kata lain, betapa kuatnya daya estetik Acep Zamzam Noor menginspirasi sehingga menjadi nutrisi bagi penyair generasi kemudian itu untuk beritt’iba atau berepigon kepadanya, dirasakan maupun tak dirasakan.
Dalam dunia kesusatraan masalah ke-berittiba-an atau upaya epigonisme mengikuti mainstream, adalah bukan hal baru. Banyak kasus yang sudah terjadi dan menjadi wacana sastra yang menarik. Contohnya kasus Goenawan Mohammad terhadap puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar yang nyata-nyata Goenawan Mohammad terinspirasi olehnya di dalam mencipta bagaimana membangun suasana sebuah karya puisi. Secara intertekstual, juga begitu dengan Iwan Simatupang. Nuansa diksi-diksi puisi Chairil Anwar terasa kuat dalam banyak puisi-puisi Iwan Simatupang dalam buku “Mawar Hitam”.
Acep Zamzam Noor adalah sebuah mainstream. Karya-karyanya setuju ataupun tidak banyak diikuti generasi berikutnya. Warna estetika pengucapan Acep Zamzam Noor sangat kuat, unsur lirisitasnya dan metaforanya yang bening. Acep Zamzam Noor telah menjelma sosok yang secara ekstraestetik adalah sastrawan yang telah banyak menyumbangkan dan mewarnai kesusastraan Indonesia dengan cemerlang. Ada alunan nada sensual religius pada puisi-puisinya sebagai seorang sastrawan yang nampaknya ingin selalu bermesra-mesraan dengan banyak hal. Romantis sensual religius itulah warna lain dari puisi-puisi Acep Zamzam Noor. Berikut contoh puisi Acep yang bernada sensual religius:

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan

Tanganku
Nakal
Seperti doa

Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

           
Sebagai makhluk sosial yang kritis dan peduli kemanusiaan, mata batin kesastrawanan Acep tidak hanya dalam konteks bagaimana menghadirpandangkan suasana si aku lirik dalam rasa sensual religius yang individual semata. Acep juga terlibat dan melibatkan diri dalam praktek-praktek kritik sosial sebagai bentuk rasa kepedulian individu yang tak tertahankan lagi merasakan keadaan dan kenyataan sosial politik kekuasaan. Sebagai salah satu contoh Acep misalnya pernah menulis puisi dengan judul “Kasidah Nurul Sembako” atau membuat Partai Nurul Sembako sebagai sindiran dan kesaksian Acep atas ketimpangan dan kemunafikan yang terjadi di negeri tercinta ini.
Nuansa kritik sosial karya Acep Zamzam Noor kali ini saya coba periksa melalui representasi si aku lirik dalam dua buah puisi yang dimuat lembar Khazanah Pikiran Rakyat, Minggu 21 Agustus 2011. Sebenarnya ada empat puisi Acep yang dimuat pada edisi tersebut. Namun yang saya jadikan sampel yaitu pada dua buah puisi Acep yang berjudul “Kau Pun Tahu” dan “Sajak Seorang Pengungsi”. Sebagai sastrawan, Acep cukup peka dan kritis membaca kondisi kekinian dalam konteks sosial, politik dan kekuasaan. Acep tidak menampakan kemarahan secara pamfletis atau anarkis melainkan ia melakukan upaya intensifikasi melalui puisi-puisi lirik kritiknya sehingga kesan puitikal tetap terjaga sebagai warna pengucapan yang khas. Begitulah kesan awal saya ketika membaca dua buah puisi Acep tersebut.
Puisi “Kau Pun Tahu” terdiri dari enam bait yang tiap baitnya terdiri dari tujuh larik. Termasuk puisi yang tertib secara bentuk alias terpola dengan bersih. Dan, dibalik semua itu ada lapis makna yang meresonansikan ‘batin yang awas” untuk kemudian mengafirmasi pernyataan puitik yang menggugah rasa.
Pada dua bait berikut: Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Juga tak ada lagi kerinduan/ Bintang-bintang yang kuburu/ Semua meninggalkanku/ Lampu-lampu sepanjang jalan/ Padam.Semua rambu seakan/ Menunjuk ke arah jurang// Kau pun tahu, tak ada lagi lagu/ Juga tak ada lagi nyanyian/ Suara yang masih terdengar/ Berasal dari kegelapan/ Kata-kata yang kusemburkan/ Menjadi asing dan mengancam/ Seperti bunyi senapan//...Aku lirik hadir membawakan suasana “gelap” secara metaforik.Aku dalam gambaran krisis eksistensi akibat keadaan yang frustatif. Aku tanpa harapan, hilang kendali. Yang tinggal keadaan jiwa yang nyeri dalam iklim yang tak pasti.
Selanjutnya dalam ketidakpastian itu yang seolah-olah “jurang gelap” siap menangkap langkah-langkahnya, sang aku dengan sisa-sisa kesadarannya berjuang mempersaksikan keadaan yang impase dari segala keruwetan modernitas kehidupan antara tahayul pemimpin dan kekuasaan yang menawarkan daya mistisnya. Sang aku kemudian mengalami keterpencilan jiwa bagaimana seharusnya melakoni hidup dan menyikapi keadaan dan kenyataan sosial. Maka...Kau pun tahu, tak ada lagi puisi/ Juga tak ada lagi basa-basi/ Kota telah dipenuhi papan-papan iklan/ Pamplet-pamplet disemprotkan/ Dengan kasar dan tergesa-gesa/ Mereka yang berteriak lantang/ Tak jelas maunya apa//  Kau pun tahu, tak ada lagi pemimpin/ Juga tak ada lagi yang bersedia dipimpin/ Hidup sekedar menunggu jemputan/ Atau sibuk memungut kotoran dari selokan/ Gunung-gunung sudah diratakan, sawah-sawah/ Dijadikan perumahan. Tak ada lagi tanaman padi/ Partai-partai politik hanya sarang para pencuri//
Justifikasi si aku lirik terhadap kenyataan adalah hal yang dapat dibenarkan oleh rasa peka yang merasakan keadaan sekarang ini. Berbagai simulasi kekuasaan, akrobat kaum birokrat, politik citra para pemimpin, kamuflase kata-kata adalah kenyataan sehari-hari sebagai berita sekaligus sebagai derita bagi sosial-kemanusiaan.Ya, justifikasi si aku lirik memang tak mungkin dibenarkan oleh pembenaran dan dalih para mulut yang punya kuasa. Tapi, paling tidak masalah yang diungkapkan si aku lirik menjadi nyata adanya menggambarkan situasi dan kondisi yang menyebabkan rasa individual si aku lirik sungguh-sungguh berada dalam suasana yang apatis, bahkan frustatif. Lebih jauhnya keadaan semacam itu akan menyeret masyarakat pada sebuah kondisi kerumunan manusia-manusia si aku lirik yang skizoprenik. Sekali lagi sang aku mempersaksikan: Kau pun tahu, tak ada lagi iman/ Juga tak ada lagi keyakinan/ Aku sembahyang di atas comberan/ Menghabiskan sisa umur tanpa keyakinan/ Ulama-ulama yang dulu pernah kupuja/ Seperti juga para pejabat yang brengsek itu-/ Hampir semuanya tak bisa dipercaya// Kau pun tahu, tak ada lagi kata-kata/ Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan/ pidato dan kentut sulit dibedakan/ begitu juga mengangguk dan mengutuk/ Wakil-wakil rakyat yang tidurnya lelap/ Bangunnya selalu kesiangan/ Padahal ingin disebut pahlawan/
Begitu pun dalam puisi “Sajak Seorang Pengungsi Buat Frans Nadjira”, rasa apatis dan ungkapan frustasi si aku lirik itu bergema. Sang aku malah seperti manusia pengungsi di negeri sendiri yang tak memiliki ransum apa-apa baik untuk kini maupun untuk masa depan karena telah dikorup para pemimpin, cuma borok-borok. Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun/ Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan/ Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku/ Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat/ Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari/ Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini/ Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus/ Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang/ Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera//
Rasa frustasi si aku lirik akibat keadaan sosial yang memaksa yang barangkali hanya bisa dijawab dengan kegilaan, keliaran dan hiperbola laku tanpa aturan, terasa menohok batin kemanusiaan di dalam bait terakhir puisi “Sajak Seorang Pengungsi” berikut: Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun/ Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan/ Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku/ Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kasmaran/ Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu/ Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak/ Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:/ Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh/ Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi//
Dua buah puisi Acep zamzam Noor itu dalam konteks kritik sosial mengamanatkan betapa perilaku para pemimpin, para ulama dan para birokrat serta para pemegang kendali hukum dan kebijakan bukannya membimbing masyarakat kemanusiaan yang direpresentasikan melalui sosok sang aku lirik puisi (dalam terminologi pars pro toto) ke alam pencerahan berkeadilan sejahtera dan keadilan hukum. Justru sebaliknya hanya menawarkan sengkarut keruwetan politik-kekuasaan. Yang pada akhirnya menjadikan si aku lirik-si aku lirik marjinal sebagai manusia sosial terfrustasikan oleh keadaan; kehilangan acuan dan panutan tata laku moral kemanusiaan.
Maka, sadarlah wahai para pemimpin! Jangan cuma pandai bermain “citra”, kami butuh bukti nyata!
***
*)penulis adalah peneliti sastra Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.