Puisi,
Kritik untuk Para Politisi
Oleh Lukman Asya*
Sejatinya kita hari ini
membutuhkan puisi-puisi yang mengkritisi kelakuan para politisi atau para
pejabat. Cenderung langka memang. Oleh karena itu kita mencoba melakukan
pembacaan terhadap puisi Acep Zamzam Noor paling tidak untuk mengobati rasa
rindu kita terhadap puisi-puisi yang sarat kritik sosial yang belakangan ini
kita sulit menjumpainya.
Sebagai makhluk sosial yang
kritis dan peduli kemanusiaan, mata batin kesastrawanan Acep tidak hanya dalam
konteks bagaimana menghadirpandangkan suasana si aku lirik dalam rasa sensual
religius yang individual semata. Acep juga terlibat dan melibatkan diri dalam
praktek-praktek kritik sosial sebagai bentuk rasa kepedulian individu yang tak
tertahankan lagi merasakan keadaan dan kenyataan sosial politik kekuasaan. Sebagai
salah satu contoh Acep misalnya pernah menulis puisi dengan judul “Kasidah
Nurul Sembako” atau membuat Partai Nurul Sembako sebagai sindiran dan kesaksian
Acep atas ketimpangan dan kemunafikan yang terjadi di negeri tercinta ini.
Nuansa kritik sosial karya
Acep Zamzam Noor kali ini saya coba periksa melalui representasi si aku lirik
dalam dua buah puisi yang berjudul “Kau Pun Tahu”
(www.selukbeluksastra.blogspot.com) dan
“Sajak Seorang Pengungsi” (www.jendelasastra.com). Sebagai sastrawan, Acep
cukup peka dan kritis membaca kondisi kekinian dalam konteks sosial, politik
dan kekuasaan. Acep tidak menampakan kemarahan secara pamfletis atau anarkis
melainkan ia melakukan upaya intensifikasi melalui puisi-puisi lirik kritiknya
sehingga kesan puitikal tetap terjaga sebagai warna pengucapan yang khas.
Begitulah kesan awal saya ketika membaca dua buah puisi Acep tersebut.
Puisi “Kau Pun Tahu” terdiri
dari enam bait yang tiap baitnya terdiri dari tujuh larik. Termasuk puisi yang
tertib secara bentuk alias terpola dengan bersih. Dan, dibalik semua itu ada
lapis makna yang meresonansikan ‘batin yang awas” untuk kemudian mengafirmasi
pernyataan puitik yang menggugah rasa.
Pada dua bait berikut: Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Juga tak
ada lagi kerinduan/ Bintang-bintang yang kuburu/ Semua meninggalkanku/
Lampu-lampu sepanjang jalan/ Padam.Semua rambu seakan/ Menunjuk ke arah
jurang// Kau pun tahu, tak ada lagi lagu/ Juga tak ada lagi nyanyian/ Suara
yang masih terdengar/ Berasal dari kegelapan/ Kata-kata yang kusemburkan/
Menjadi asing dan mengancam/ Seperti bunyi senapan//...Aku lirik hadir
membawakan suasana “gelap” secara metaforik.Aku dalam gambaran krisis
eksistensi akibat keadaan yang frustatif. Aku tanpa harapan, hilang kendali.
Yang tinggal keadaan jiwa yang nyeri dalam iklim yang tak pasti.
Selanjutnya dalam
ketidakpastian itu yang seolah-olah “jurang gelap” siap menangkap langkah-langkahnya,
sang aku dengan sisa-sisa kesadarannya berjuang mempersaksikan keadaan yang
impase dari segala keruwetan modernitas kehidupan antara tahayul pemimpin dan
kekuasaan yang menawarkan daya mistisnya. Sang aku kemudian mengalami
keterpencilan jiwa bagaimana seharusnya melakoni hidup dan menyikapi keadaan
dan kenyataan sosial. Maka...Kau pun
tahu, tak ada lagi puisi/ Juga tak ada lagi basa-basi/ Kota telah dipenuhi
papan-papan iklan/ Pamplet-pamplet disemprotkan/ Dengan kasar dan tergesa-gesa/
Mereka yang berteriak lantang/ Tak jelas maunya apa// Kau pun tahu, tak ada lagi pemimpin/ Juga tak
ada lagi yang bersedia dipimpin/ Hidup sekedar menunggu jemputan/ Atau sibuk
memungut kotoran dari selokan/ Gunung-gunung sudah diratakan, sawah-sawah/
Dijadikan perumahan. Tak ada lagi tanaman padi/ Partai-partai politik hanya
sarang para pencuri//
Justifikasi si aku lirik
terhadap kenyataan adalah hal yang dapat dibenarkan oleh rasa peka yang
merasakan keadaan sekarang ini. Berbagai simulasi kekuasaan, akrobat kaum
birokrat, politik citra para pemimpin, kamuflase kata-kata adalah kenyataan
sehari-hari sebagai berita sekaligus sebagai derita bagi sosial-kemanusiaan.Ya,
justifikasi si aku lirik memang tak mungkin dibenarkan oleh pembenaran dan
dalih para mulut yang punya kuasa. Tapi, paling tidak masalah yang diungkapkan
si aku lirik menjadi nyata adanya menggambarkan situasi dan kondisi yang
menyebabkan rasa individual si aku lirik sungguh-sungguh berada dalam suasana
yang apatis, bahkan frustatif. Lebih jauhnya keadaan semacam itu akan menyeret
masyarakat pada sebuah kondisi kerumunan manusia-manusia si aku lirik yang
skizoprenik. Sekali lagi sang aku mempersaksikan: Kau pun tahu, tak ada lagi iman/ Juga tak ada lagi keyakinan/ Aku
sembahyang di atas comberan/ Menghabiskan sisa umur tanpa keyakinan/
Ulama-ulama yang dulu pernah kupuja/ Seperti juga para pejabat yang brengsek
itu-/ Hampir semuanya tak bisa dipercaya// Kau pun tahu, tak ada lagi
kata-kata/ Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan/ pidato dan kentut sulit
dibedakan/ begitu juga mengangguk dan mengutuk/ Wakil-wakil rakyat yang
tidurnya lelap/ Bangunnya selalu kesiangan/ Padahal ingin disebut pahlawan/
Begitu pun dalam puisi “Sajak
Seorang Pengungsi Buat Frans Nadjira”, rasa apatis dan ungkapan frustasi si aku
lirik itu bergema. Sang aku malah seperti manusia pengungsi di negeri sendiri
yang tak memiliki ransum apa-apa baik untuk kini maupun untuk masa depan karena
telah dikorup para pemimpin, cuma borok-borok. Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun/ Di jantungku
gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan/ Sedang sungai-sungai yang kotor
kubiarkan menggenangi mataku/ Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban
yang berlalat/ Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari/
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini/ Menyusuri lekuk
tubuhnya yang molek dengan belati terhunus/ Kemudian melempari gambar
pemimpinnya yang nampang/ Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah
tiang bendera//
Rasa frustasi si aku lirik
akibat keadaan sosial yang memaksa yang barangkali hanya bisa dijawab dengan
kegilaan, keliaran dan hiperbola laku tanpa aturan, terasa menohok batin
kemanusiaan di dalam bait terakhir puisi “Sajak Seorang Pengungsi” berikut: Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi
siapapun/ Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan/ Sedang
kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku/ Menjadi bajingan. Kembali
aku mengembara dalam kasmaran/ Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu/
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak/ Gedung parlemen.
Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:/ Sambil berjoget aku terbangkan
sajak-sajakku ke planet terjauh/ Karena bumi sudah tak mampu memahami
ungkapanku lagi//
Dua buah puisi Acep zamzam
Noor itu dalam konteks kritik sosial mengamanatkan betapa perilaku para
pemimpin, para ulama dan para birokrat serta para pemegang kendali hukum dan
kebijakan bukannya membimbing masyarakat kemanusiaan yang direpresentasikan
melalui sosok sang aku lirik puisi (dalam terminologi pars pro toto) ke alam
pencerahan berkeadilan sejahtera dan keadilan hukum. Justru sebaliknya hanya
menawarkan sengkarut keruwetan politik-kekuasaan. Yang pada akhirnya menjadikan
si aku lirik-si aku lirik marjinal sebagai manusia sosial terfrustasikan oleh
keadaan; kehilangan acuan dan panutan tata laku moral kemanusiaan.
***
*)penulis
adalah penghayat sastra dan pelaksana sastra masuk desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.