Senin, 15 April 2013

Puisi Lukman A Salendra


Epigram Guru.1
Ajarkan aku tentang bermain cinta
seperti hujan menyapa halaman buku di hatiku
Basah. Basahlah rinduku
sampai di lautmu, mengikuti alun ombak.
Guru, tapi apakah ini buih pesona atau berahi kata-kata?

Indonesia, 2013
Epigram Guru.2

Misalpun aku ini murid yang putus asa
karena cinta. Guru, jadikan hidupku tanpa dekap kuasamu
aku ingin tenggelam dalam kemewahan air mata
jangan sergap tubuh dan jiwaku
bebaskan aku menjadi kelelawar mencari buah keadilan
tidak dalam gelap matamu

Indonesia, 2013
Epigram Guru.3

Tapi ya jika tanganmu yang cuaca tiba di rambut dan pipiku,
sebagai murid sekaligus sahabat hatimu
Duhai guru, amboi panutanku, tak akan aku salahkan
jemarimu menjadi hujan dikala aku memang dahaga
gombal langitmu bukan laknat penuh siasat
Engkau guruku, guru dalam pelajaran berahi hidupku.
Telah kupahami kini pelajaran hakekat cinta darimu
hingga aku khusuk menulis gurindam pengabdian

Indonesia, 2013

Epigram Guru.4
Sejatinya sungguh tak kuasa menjalankan ilmu darimu
sebab aku lupa rumus dan teorinya (bercinta)
dalam agama, dalam matematika
dua kali dua memang empat
selalu rakaat dalam shalat
Tapi jika kau mendekap saatku panas suhu
aku boleh mengelak, memilih ekor hujan
bukan yang kemudian badailah kata-kata badan
di pangkuan

Indonesia, 2013


Epigram Murid

1.
Camkan apabila ajaran ajakanku tak kau pahami
biarkan janji keadilan menjadi bintang di langit
dan kau akan butuhkan cahayanya
di saat-saat malam sendiri tanpa guru yang pasti
2.
Kau telah belajar dari kesalahanku
saat aku mengajarimu tentang cinta
aku tak menganjurkanmu menolak
sedikit mengelak, ya?
untuk terus berdansa dalam susah-bahagia

3.
Sampailah aku mengajarimu ilmu pamungkas
aku buka kitab depan jiwamu
tak ada rumus lagi. Cuma sepi bersiutan
bagai angin di ubun-ubun:
Masuklah ke alam dirimu! Di sana ada raga cahaya
telah aku keluarkan jiwamu dari dekap berahiku
yang nyeri: lalu carilah kata!

Indonesia, 2013

Menyeruput Kopi Pagi Hari

Menyeruput kopi pagi hari, menghisap sebatang rokok
sambil menulis sajak usai demonstrasi di ranjang mimpi
barangkali kau tahu, itulah hal-hal yang menyenangkan
bahkan sesaat sebelum kau menembak mati diriku

Di hadapan ada perawan, ia bukan luwak
ia yang menyeduhkan secangkir kopi buatku
“ini secangkir kedukaan,” katanya dengan senyum sungguh manis
Aroma kopi robusta-bukan romusha- diolah sejak belanda
jadi petani di sini, di negeri tempat segala dusta diinvestasikan

Aku teguk kedukaan, lalu aku pasang kecup dan cium
di bibir puan perawan. Ia gelagapan
aroma kopi begitu dahsyatnya mengalahkan penderitaan

Secangkir kopi itu pun tahu, aku tengah berduka
kehilangan sebuah negara yang kudamba
Puan perawan itu pun mafhum, aku butuh hiburan
aku butuh semacam yang dapat mengalahkan kesepian

Diam-diam tanganku menumpahkan secangkir kopi
pada gambar lelaki jangkung yang suka pidato
di halaman bekas istana itu
Secangkir kopi bukan puan gratifikasi!
Ini intimidasi!

Indonesia, 2013

Petani Kopi

Seseorang tergopoh-gopoh menanyakan harga
Seseorang itu mungkin si luwak kehilangan harapan

Indonesia, 2013

Perempuan dalam Secangkir Kopi Pagi Hari

Panas yang nikmat, birahi yang tumbuh laknat
ia fana seiring waktu mendinginkan semesta
Dan tangan ini sempat bergetar mereguk amboi badanmu
luluh sudah ditampar harum sebatas dunia wanoja

Indonesia, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.