Kemiskinan dan Kemerdekaan
Oleh Lukman Asya*
Penduduk miskin di Jawa Barat berjumlah 5,45 juta jiwa yang meningkat 317.000 orang dibandingkan dengan tahun 2006 (Laporan Badan Pusat Statistik Tahun 2007, Kompas Jabar, Kamis 02 Agustus 2007) tentu saja menginginkan kemerdekaan yang sejatinya membebaskan mereka dari telikung kemiskinannya.
Dalam pada itu penulis ingin mengajukan dua frasa sebagai renungan atau tafakur di bulan kemerdekaan ini, yakni ”kemerdekaan yang memiskinkan” dan ”kemiskinan yang memerdekakan”. Secara resiprokal dua frasa tersebut dapat kita maknai dalam konteks bagaimana menjadikan bangsa ini benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, juga ”penjajahan” kemiskinan.
Kemerdekaan yang Memiskinkan
Kemerdekaan yang memiskinkan dapat kita ’aktualisasikan” ketika kita membaca fakta keberbangsaan hari ini di mana sang kemerdekaan secara personifikatif hanya merepresentasikan kemiskinan rakyat yang terus meningkat. Memang bukan salah sang kemerdekaan, tetapi stigma imej ’kemerdekaan yang memiskinkan” itu tercipta utamanya karena faktor pemerintah (penguasa) yang mengabaikan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi kaum miskin di mana alat-alat produksi dan lahan-lahan masih dikuasai para pemodal kapitalis sementara kaum miskin masih ”menganga luka” dalam ketidakpastian hari depan.
Pemerintah baik itu pada tingkatan legislatif, yudikatif maupun eksekutif patut kita pertanyakan. Apakah mereka benar-benar menyayangi rakyatnya yang miskin? Apakah mereka tidak sekedar menjadikan si miskin sebagai proyek utang belaka untuk alasan meminjam uang ke luar negeri? Apakah kebijakan-kebijakan dan keputusan mereka tidak justru menjadi keputusasaan dan jeritan bagi si miskin karena kebijakan-kebijakan itu hanya menguntungkan kaum kapitalisme saja? Masihkah mereka selamanya haus harta dan jabatan dan mimpi kuasanya selalu keserakahan dan ketamakan?
Kita paham bahwa sejak Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945—secara historis—adalah penanda dimulainya babak baru tanah air ini sebagai nation-state yang telah merdeka. Bangsa pribumi tidak sudi tergantung pada pola dan standar ganda kerja-kerja para penjajah yang sebagai penghisapan dan penindasan semata. Maka dari itu para pendiri bangsa ini, cerdik-pandai kaum pribumi bersepakat untuk segera mengupayakan langkah dan kerja revolusi dengan berlandaskan pada cita-cita untuk kemakmuran, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Namun setelah kemerdekaan itu diraih kita merasakan pola dan kerja penguasa rezim Orde Baru misalnya telah mendustai dan mengingkari amanat dan cita-cita para pendiri bangsa ini selama 32 tahun dengan mengedepankan kepentingan sekedar melanggengkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang tentu saja memantik antipati kaum miskin yang semestinya dilayani secara adil dan diutamakan bagaimana terbebas dari kemiskinannya. Maka apatisme kaum miskin pada penguasa atau pemegang tampuk kekuasaan berikutnya pun seringkali tak terhindarkan karena ternyata pemerintah (penguasa) hanya obral janji semata.
Kemiskinan yang Memerdekakan dan Wirausaha Sosial
Kemiskinan yang memerdekakan dapat dimaknai sebagai kemiskinan---dijadikan tolak ukur alasan dan landasan-- yang membebaskan kita (bangsa) dari penjajahan sang kemiskinan itu menuju pencerahan kesejahteraan dan kemakmuran di mana dapat diraih secara bersama-sama. Artinya, kemiskinan adalah ’modal” bangsa ini untuk kemudian bisa melecut diri dalam usaha dan kerja-kerja melepaskan jerat kemiskinan yang membahayakan tatanan sosial kebangsaan kita.
Dalam konteks Jawa Barat misalnya dengan data kemiskinan yang penulis sebutkan di awal tulisan ini, bagaimana alasan kemiskinan itu kemudian pemerintah daerah berusaha keras membebaskan penduduk miskin dari kemiskinannya jangan malah membiarkan kemiskinan itu terus meningkat.
Dalam konteks ”kemiskinan yang memerdekakan” patut kiranya pemerintah kita meneladani kerja-kerja yang dilakukan Mohammad Yunus, seorang pekerja dan intelektual dari Bangladesh yang telah memenangkan Nobel Perdamaian tahun 2006 yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Mohammad Yunus menawarkan konsep yang brilian dalam upaya dan usaha bagaimana memerdekakan rakyat miskin Bangladesh dari yang asalnya tak punya akses hingga kemudian terbuka peluang untuk sukses. Mohammad Yunus dengan Garmeen Bank (bank desa) yang didirikannya menawarkan konsep kewirausahaan sosial (Kompas, 12 Agustus 2007). Misalnya ia berani memberikan pinjaman tanpa agunan kepada kaum miskin dengan modal kepercayaan yakni pinjaman untuk usaha, perumahan dan biaya pendidikan.
Dalam Kompas tersebut dipaparkan bagaimana konsep kewirausahaan sosial Mohammad Yunus terbukti membawa perubahan multidimensi bagi kaum miskin khususnya perempuan. Mohammad Yunus adalah seorang besar yang mau belajar dan peduli kepada kaum miskin yang patut kita teladani dalam konteks Indonesia.
Wirausaha sosial atau social busness enterpreneurship (SBE) ala Mohammad Yunus dasarnya adalah kesadaran sosial bukan maksimalisasi laba. Kalau ruang untuk kesadaran sosial itu dibuka, banyak persoalan sosial bisa diatasi dan kehidupan bisa dirahkan ke taraf perdamaian, kesetaraan, keadilan serta kreativitas yang tinggi. Maka dengan banknya itu Mohammad Yunus membuktikan ada sistem keuangan untuk orang miskin yang berkelanjutan. ”Kita butuh uang untuk mendapat uang, tetapi tidak ada sistem untuk mendapatkan uang pertama. Jadi, orang tetap bergantung pada yang lain. Itu sebab utama mengapa orang tetap miskin. mereka tak dapat menggunakan tenaga dan kapasitasnya. Yang dibutuhkan hanya btuan supaya kemampuan itu muncul... Sistem sekarang didasarkan pada ketidakpercayaan. Kita dilatih untuk tidak percaya kepada orang lain. Kalau kita ingin dapat pinjaman akan dilihat dulu berapa kakayaan Anda. Lalu ada perjanjian-perjanjian, hukum-hukum. Asumsinya penerima kredit tidak mengembalikan pinjamannya” kata Mohammad Yunus dalam wawancaranya itu.
Dalam konteks ’kemerdekaan” bangsa ini--di mana semestinya bangsa ini sudah harus merdeka dari kemiskinan apabila melihat kenyataan kekayaan alam negeri ini yang subur dan makmur—penting kiranya khususnya pemerintah (penguasa+pengusaha) meneladani kerja Mohammad Yunus itu yang kemudian coba diterapkan di Indonesia dengan tentu saja mempertimbangkan kultur dan sosial masyarakat Indonesia. Semoga bangsa ini segera merdeka dari kemiskinan!
*) penulis adalah penyair pemerhati masalah sosial, budaya dan pendiri Unit Kegiatan Studi
Kemasyarakatan Universitas Pendidikan Indonesia (UKSK-UPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.