Ode Jakarta
melewati jalan jakarta seorang diri
membayangkan masa silam :rambutmu yang sebahu
betapa hari-hari kulewati, cahaya kumakani
tanpa hadirmu, mata yang memandang jauh
jadi sebuah lagu menyilang di nisan itu
seseorang menuliskan namamu. memahat cinta kita
dalam jakarta ini aku masih merindukanmu
antara senang dan bahagia :pohon dan cahaya
mekar di ujung pesta
aku sunyi dari sebuah jakarta tanpa namamu
kulewati tahun-tahun nelangsa di rumah ini
betapa telah kutinggalkan segala puja
betapa sampai kata-kata ditwan senyummu
dan kita bersilangan
meski untuk jakarta ini segala maha nyeri
terbubuh dalam laju segala puji
buat nyeri elok yang tampan, selamat jakarta!
semoga terus berkembang
pengharapan ini
dimana gubernur yang punya harga
Indonesia, 2007
Ode untuk Heri Djuhaeri
di suatu masa angin ‘kan memahat namamu di batu-batu
bagai sebuah cerita, ia lantunkan kemaruk kata
yang berlrepasan dari batin rinduku: terus menuliskan ingatan
tentang peristiwa, apayang mungkin kau gariskan hari ini
sebagai takdir bumi. cuaca menggamit bagai tangan kasih ibu
di batu-batu huruf itu terpana. Adalah menjadi jejak
kerajaan sunda, kerajaan seorang lelkai tanpa tahaa
yakni sebuah tualang tak henti-henti bagai musim
menyapu hari-hari, bgai hujan menyapu rumah ini
dan kemedian mengalir bagai nafas, bagai sungai
bagai langkah yang tersusun dari ribuan gairah
dimana nyawa waktu tak ‘kan kalah, sebuah pulau menyerah
pada tiap petuah yang batu itu pun lantas dada
yang diperhitungkan semesta – waktu
terpujilah malam dan siang dalam dirimu
kau kenang bulan dan matahari sebagai hukum suci
dimana kau menulis pasti, bagai sebuah sabda
bagi seluruh nadi-nadimu. Dan kau pemilik segala waktu
terang dan rahasia. Penuh segala pesona keanehan-keanehan
sebagai keajaiban yang ayat-Nya jua sebelum dibodohi kubur cahaya
kau masih bergairah, bukan? Pada setiap tantangan
betapa tanganmu mabuk meminum doa di kebun lampung,
harapan kembang kopi yang harum, sambut inggit yang berahi,
sebutir kacang yang singgah di selangkang, mungkin batu itu
dimana namamu adlah huruf-huruf yang bernyanyi sebgai anak lelaki
‘kan setia mendekap bayang-bayang hiasan, hangat pipi
yang jauh bagai tabik yang dikiriman menjelang senggama
sebuah kata, makna hidup ini yang menolak pilu, menolak lagu nelangsa
di suatu masa kau bukan lagi ki sunda, segala istiadat menjadi sirna
bagai angin membawa gelora, bagai ingin dalam sebuah rasa
terus berbeda, terus melaksanakan cinta
tapi di batu-batu itu pun anak cucu ‘kan bersamamu
mengkhayalkan seorang moyang terkutuk sehabis mabuk
menuliskan kata-kata. Isyarah langit suaramu
kemudian mereka berlarian menyelamatkan diri dari ancaman
khayalan sepenuh nyeri dalam kitab jumanji.
Dan kau akar yang liar itu menjalar ke inti paling khayal
dari sebuah pohon yang dicipta tuhan sebgai peneduh bagi
anak-anak yang berlari menolak hujan dari airmata.
Ah, betapa berbeda hari ini dan esok seperti sebuah pernyataan
dari penyanyi sunyi di tanah singgasana para dewa
antara kutuk dan rayuan antara doa dan godaan
terus kau tunaikan sebagai puisi, sebgai peristiwa
dari pengetahuan semesta nama-nama yang berbeda
Dan kau ‘kan cepat berlalu menejlang ajal itu
Sementara apa yang di batu-batu, tinggal sebuah kenang
tentang hidupmu yang terpahat di sajak-sajak
bagai sebuah kekalahan yang sawah, kemurungan yang terang
Tak terkecuali kemurungan yang kusampaikan ini
sekadar sebuah segara sungai yang berlarut-larut
dirahasiakan batu-batu. Ke mana mengaliri
mungkin ke menara tuhan yang keramat
di mana ke akhirat pun sekadar larik yang tengik, ajaib
meronta menjelang musim kiamat datang
di mana segala kehidupan adalah perantara
kepada hidup abadi. Dan puisi-puisimu
apakah sanggup menjadi saksi yang memebela segala kemabukan
dari judi di persidangan tuhan yang maha menghayal
Indonesia, 2007
Silhuet Waktu, Panorama Diri
Waktu terus berlalu, pergi ke sebuah rumput dengan rahasia
diam-diam nyawa kita mengendap mengintip kerentaan segala
ia barangkali telah mengumpulkan segala kata
janji dan dusta juga cinta sama saja
dan sementara kita masih begini-begini saja
menunggu seseorang yang ‘kan tiba, mimpi itu,
rindu itu
Kemudian pabila cermin itu dipasangkan
dan kita membaca, menghitung luka-luka diri
bekas semalaman tercekah bulan
bahwa keretakan ini, bisa jadi sebuah isyarat
memang waktu membiarkan kita karatan
tak ‘kan pernah memperbaiki bentuk hidup kita
kitalah tuan yang selalu terlena untuk menghadap-Nya
Indonesia, 2007
Dongeng Setelah Tidur I
- buat Sapardi
Seseorang akan menidurkanmu berabad-abad
semogalah panjang angan ini bukanlah dosa –
sampai kemudian ia membangkitkanmu
kemudian ia akan mendongeng panjang sekali
ia akan bertanya sehabis bercinta
Benarkah?
Dan kau ‘kan mengiyakannya meski pun
jawabanmu ‘kan menyebabkanmu ke dalam api
mungkin kau asap. Sebab jelas kau melupakan
tanah sendiri. Di mana tak satu pun pohon
kau tanam sepenuh cinta.
Begitulah, ia akan terus
menceritakan kembali dongeng-dongeng hidupmu
sebelum kemudian ia menghukummu
Indonesia, 2007
Natal, Hujan, Siang
sebuah jalan menujumu
dari sisi yang lain
sebuah natal
bagai hujan menggenang
diam-diam mengenang cinta
seorang lelaki agung
mama, di suatu siang
jangan bersedih aku belum bisa pulang
bahkan aku jadi pohon itu
sementara waktu
menunggu dan mengangguk
membaca peta kembara yang sesat
akan menunjukkan jalan menujumu
Indonesia, 2007
Sajak Pendek
Sampai suatu ketika aku menemukanmu
maka aku akan terus mencari
akar-akar hujan di dadamu
Indonesia, 2007
Rajah Lampung
ke kampung akankah kau tepikan salam dan cinta
sementara sebuah perkampungan tempat dulu kau dilahirkan
telah menjelma. Telah menjelma segala rajah kekuasaan
sebuah pabrik yang dibakar, tinggal puingnya menghitam
kemisikinan dan kemarahan adalah budaya
ketika penindasan dilagukan. Cerobong asap besar itu
telah memaksa ribuan nyawa terusir dan getir
samapi suatu ketika marah bersama gajah-gajah
ke kampung tempat air mata dan do’a
kau aruskan, sekadar anjangsana
ke akar-akar bahasa, ke pohon-pohon cinta
kau temukan jejak hampa: seorang puan telah-lah mengembara
“datanglah perempuan, empu hujan!”
sebab pada suatu ketika mungkin aku bayang
dan sebuah layang-layang kehujanan
pulang. Seseorang mengulur benang
tapi kemudian sesat di puing yang menghitam
menghormati keadilan yang kini tumbuh liar
Indonesia, 2007
Di Tanah Ayah
segala pohon pun tumbuh
segala keluh pun tambah
dalam jiwaku, soalnya angkasa
dan cuaca sama-sama ayah
sama-sama tanah ayah
“tuan, izinkan aku menebang pohon-pohon itu
agar segala yang kelabu ‘kan tumbang berakhir
tak ada yang rindang, tak ada yang berteduh sebentar
tak ada yang memanjat kuasa kura-kura”
segala pohon pun terus tumbuh
cabang-cabang yang liar tumbuh menggemaskan
semut-semut bersarang tak sungkan-sungkan
“tuan, tebanglah pohon-pohonku, sebab tanah
ini bukan milikku, Ia milik-Nya
aku ingin sekarat dari kegilaan ini
menjaga dan menanam kesombongan.”
Segala tunggul pohon-pohon itu pun
bersedih: ‘kan dijadikan apa kami
sekadar busuk, sekedar menghitam?
Indonesia, 2007
Suatu Hari Sajak Pun Liris
Suatu hari aku pun akan tiba kehabisan cerita
dan tinggallah tugu memandang cerita-cerita itu
yang datang menjelma sajak-sajakku, anak-anakku
kuamati satu persat, sebuah luka kian menganga
“permisi, boleh aku membakar-Nya.”
seseorang datang dengan senyum aneh menawarkan api
suatu hari aku pun akan tiba kehilangan doa
cuma diam, bagai kekeringan
menghayati yang pernah kulakukan bukanlah dosa
tapi belajar menakar amarah
untuk kemudian aku buang harapan jauh-jauh
sampai aku menjelma sungai
sampai Kau melambai dari sebuah landai
suatu hari sajak pun liris
dan siapa pun tak sanggup menggubris
mengapa kau kehabisan cerita
cuaca menunggu si Juru Dongeng itu datang
menakar perkara.
Dan kau tak bisa mengelak, dan kau tak bisa
bersajak. Ia pemilik sajak kemahasajakan.
Indonesia, 2007
Aku Sayang Padamu, Sayang
Buatmu yang berlari dalam senja
membawa hujan: basah-basahan
mengenang silam bercintaan
betapa aku sayang, sayang
mencari ingatan yang menjadi segala doa
doa yang bagai ibu memanggilmu
kembali kanak, riang merekah hidup ini
mengapa kau belum pulang, sayng
apa kau kian berumah dalam hujan
mencintai sungai dan hutan yang kutahan
bebas dari gemuruh matahari yang terik
apa kau marah pada yang mungkin sebagai rasa bosan
luka-luka bertahta
dari sebuah kemiskinan yang berjalan menunduk
Buatmu yang berhari-hari dalam ingatanku
antara cahaya dan kegagalan
yang menciptakan telaga sayang
yang riak-riaknya adalah impian
yang ikan-ikannya adalah kerinduan
betapa aku ingin menjadi hujan
yang membawamu penuh kenangan
betapa aku pun senja yang mendekapmu
sebelum kibiarkan sebuah malam
menjadi hutan yang rahasia
menidurkan sunyimu dalam kabut-kabut
dalam selimut cinta-Nya
Indonesia, 2007
Bayang-bayang Berlintasan
Cahaya berkelebat, bagai kesedihanmu
dan seperti ada seseorang yang lewat
di balik tiang itu. Menggodaku
seperti mengucapkan: hallo!
Bayang-bayang berlintasan
mencipta sebuah ruang menjalar belukar kematian
sang maut itu tersenyum:
maukah kamu hari ini?
Kemudian ia menghilang di balik tirai itu
sesuatu bergoyang ditiup angin
bersicepat aku meninggalkan lamunan
sayang, andaikan aku masih bisa hidup
kan kuremukkan segala yang menggoda
tidurku. Aku ingin tetap bersamamu
Indonesia, 2007
Sepanjang Syair Kesedihan
Siapa yang berpiutang kepadaku?
datanglah tepat di hari valentineku
mari kita bersulang
mari kita jadi bayang
lupakan hutang-hutang
Negeri ini syair kesedihan
sepanjang nyeri
seharusnya kita mabuk syiah
melupakan-Nya
Indonesia, 2007
Panorama Alam Senja
I
Siapa yang menyapukan kuas di langit hatiku
hingga segala memutih. Cinta dan cahaya
tambah rahasia dicabik-Nya
Siapa yang menyapukan kuas di langit hatiku
hingga segala dendam jadi malam. Warna dan dosa
tapi betapa pikiranku masih mengembara
di ruang sia-sia, mimpi-mimpi yang tak pasti
II
Maghrib tiba membawa azan dan sisa-sisa lamunan
cahaya lampu dari satu titik berpendar
memandang jiwaku yang hawar-hawar
dalam sebuah ruang yang benar-benar gila sasar
tak beranjak dari sajak,
seseorang kemudian menyapukan kuasnya
sampai segala daya tiada
bentukku hilang tiada
tinggal nyawa yang sedih di pintu surau tua
Indonesia, 2006
Sebuah Keheningan, Alam dan Hujan
Sebuah kenyataan memang aku tak sanggup beranjak
sesekali sajak menyapaku
juga suara hujan itu untuk kemudian hilang
kau telah renta bagi musim, bukan
tapi masih sempoyongan mengejar-ngejar lalat-lalat itu
yang sempat mengganggu tidur siangmu
di jendela lalat itu pun tersesat, sebuah kaca di mana
aku pernah membayangkanmu, kau bunga itu semerbak
merangkak remaja.
Sebuah keheningan baru saja menutup jendela
dalam sebuah ruang hanya aku sendiri. Apa?
Ya, berdua. Aku tak sanggup melupakanmu
sebab aku pun menari dengan selaksa cintanya
Hujan. Lalu keheningan menggenang
serupa doa
Tuhan, siapa yang berdiri di ujung jalan itu
dengan payung di tangan, menunggu bagai batu
terkutuk. Siapa?
Jawab segera, sebelum cintaku benar-benar beku
Indonesia, 2006
Sudah Pulangkah Mereka
sudah pulangkah mereka ketika awan-awan bergerak
dan setiap lamunan beranjak ke kekosongan, serupa sajak
sudah pulangkah mereka ke haribaan untuk berpinak
akan menanak segala yang mereka inginkan
gelap mengira orang-orang pulang membawa rahasianya
masing-masig tanpa tengkar dan curiga
ah itu bulan datang dari perempuan yang sedih
“kemarilah kataku.
Maaf ini bukan waktu untukmu, katanya
Dan aku pun ragu iktu mereka pulang
atauu dia memahami gerak-gerak doa,
kekupu itu yang tersesat di jendela
Indonesia, 2006
Apakah Kau Dalam Gelap Masih Menulis Sajak
Dua gumpalan awan masih nampak ingin bertemu
Dua keraguan masih ingin dipertemukan cahaya
Dan aku rindu. Kau membuaiku
meski dalam gelap dan kegelapan
tanganku kehilangan bulan.
Aku belajar jadi semut.
kakiku kesemutan –
Apakah kau dalam gelap masih menulis sajak
sedang nasibku tambah rahasia saja
ke mana sedih dan gembiraku.
Mana batu kutukan itu?
Indonesia, 2006
Tuhan, Ada Seniman di Surau-Mu
Tuhan, ada seorang seniman di surau-Mu
tiduran. Mungkin ia kepayahan
sehabis bercinta dengan malam
Tuhan, mungkin ia minta pensiunnan darimu
ia ingin memilih tidur sepanjang abadi
kemudian hujan mengabarinya
tentang gigil dan sakit hati
bulan itu telah lama mati di hatinya
dan ia benar-benar minta pensiun dari hidup
sebagai kelelawar
ia ingin menjadi manusia, ia ingin cahaya
Indonesia, 2006
Candi 3
Sampai hujan tiba, sebelum air matamu bercucuran
sebelum langit mengucurkan bencana. Kau masih duduk-duduk saja termangu
sebuah prambanan sarat kenangan, di mana si puncak stupa putingmu
pernah kutitipkan kesepian. Harapan sebagai burung yang kapan-kapan pulang
bertengger mematuki tubuhmu di mana cinta-cinta adalah luka
Seseorang mungkin akan lewat menegurmu, membayangkan matamu yang sempurna
pernah hidup, mengharapkan sebuah sejarah terulang dimana lelaki-lelaki bersanggul itu
kekal berpesta di sebuah surga yang menawarkan kerajaan ditahtakan.
Mungkin sekadar tamasya aku mengunjungimu. Duduk-duduk di sampingmu
sesekali memandang tegalan di mana burung gereja asyik bercinta
kemudian seseorang turis lewat dan mengira aku ini juga patung yang menunggu rindu
ia menginjak sepatuku tanpa perasaan berdosa. Aku menggerutu
mungkin kau juga menggerutu saat kuusap-usap patungmu, dan kutulis
namaku didadamu.
“Sialan, seandainya aku ini bukan patung! “Akan kuhajar kau”
Kau telah menghina martabatku sebagai sejarah, wasiat yang kuwariskan
sebagai ingatan, kelak kau pun ingin dikenang. Lalu orang-orang datang
ingin menghancurkanmu. Sebab ini kekufuran.” Kau berkata begitu.
Sebelum hujan tiba, samapai air mataku bercucuran
aku tetap ingin kekal menungguimu sambil menulis sajak
tentang lelaki yang putus cinta kemudian memilih patung mengutuknya.
Indonesia, 2006
Dari Sebuah Lapangan, Tangkuban Perahu Memandangku
- buat segala huruf yang menyusunkan cintaku
Sebuah pertandingan tak akan pernah berakhir
sampai musim benar-benar kalahkan waktu di getarku
dan masih kuserahkan dosa-dosa dan cerita-cerita
angin yang pergi, juga kemurungan-kemurunganku kata
Di bawah mistar gawang itu seseorang menjaga
bola yang liar, cintamu barangkali yang sempat ditendang-tendang
keangkuhan, sementara cakrawala menghitungnya
setiap seribu langkah sebagai kecemasa
mungkin ketololan seperti tak semestiny kabut datang
sesiang ini, seterik berahi ini.
Sebab aku pun milih berkeringat di tubuhmu
membikin sebuah permainan dari perjudian.
Sebuah permainan belum berakhir, sayangku
mengapa harus itba-tiba pulang membawa keraguan
kalah dan menang cuma hitungan dari mimpi kita
pun apabila aku diam memandang wajahmu: bukan
lantaran aku kehilangan segala daya, doa
aku cuma gunung yang luka ditampar peradaban
mabuk. Mabuk kekuasaan. Mabuk pesona rembulan
Sebuah pertandingan belum usai
seperti kegaduhan di atas ranjangmu,
seseorang masih bercokol, telanjang
dan dari balik jendela, Tangkuban Perahu memamndang bagai dewa
sesekali bergetar, berdebar lalu kian berahi sang hyang Sumbi
mtahari menjadi hukum di mana hidup
terang-menerang bercanda dengan cahaya
Indonesia, 2006
Tuhan di Balik Awan
maha cahaya itu menunggang kuda-kuda
melesat ke kegaiban, sebelum akhirnya
tersaput ke ketiadaan
masih ada bekas-bekas, luka-luka
aku memandangku, ke mana
dan dari mana
benarkah aku tiba di kemahacahayaanmu.
Lalu benar-benar hilang.
Indonesia, 2006
Tasawuf
Jangan kau malu-malu burung apabila kau hendak masuk
ke sebuah ruang di mana aku pun rindu
jangan bertengger di jendela seperti itu, nanti ada badai
nanti seseorang melempar bokongmu
Jangan kau malu-malu memperdengarkan suaramu di ruangku
sebelum kerang yang di langit-langit hatiku
kenapa diam, sayangku. Ia bukan jam tidur
dari mana kamu tadi siang? Di mana kau cecerkan dosa
itu dua saudaramu datang juga malu-malu. Atau kalian
memang benar-benar takut aku akan menangkapmu, memenjarakanmu
di dalam sajak-sajak. Tidak sayangku, kau nyanyian
mengkubur perihku sebab lam aku tak menjumpai-Nya
terkadang di sini berabad-abad lamanya jadi syareat
indonesia,2007
Menghantarmu ke sebuah Negeri Sunyi
Namamu tinggal sunyi
Namaku tinggal nyeri
Aku berharap pulau itu dekat di hatiku
Lekat-lekat sebuah peta kubuka
Dan nyata kau masih berdiri
Ah, bumi ini memang akhirnya
Menjadi janda tua dan aku berharap begitu
Kemudian. Sampai aku kirim musim hujan
Ke negerimu. Bunga-bunga harapan
Tumbuh di tubuhmu
Harapan yang dulu pernah kita bina
Tapi memang takdir hidupku
Sekedar menghantarkan
Kau ke sebuah negeri sunyi
Meski namaku jadi paling nyeri
In, 2006/2007
Sesungguhnya
Sesungguhnya, karena kita berbeda
Setiap legenda tak ingin berakhir duka
Tapi kenapa awal hidup kita yang bahagia berakhir duka
Mungin karena duka kita berbeda
Duka yang sunyi. Dimana kita belajar berbeda
Berharap pada cerita berikutnya
Kitalah sebuah legenda yang menerima
Duka yang paling abadi
In, 2006/2007
Dukamu Tak Pernah Nyeri
-ka
Sebuah cerita singkat
Yang mungkin riwayat tahun-tahun
Membisu
Kehilangan segala yang pernah kusebut rindu
Kau berlalu
Begitu cepat ingatan berpindah-pindah
Bagai musim dari sebuah taman koran sebuah harian
Aku tak pernah bermimpi di tempat yang dulu sunyi
Wajahmu sebuah cahaya yang berlintasan bagai tv cantik
Mengisahkan segala keluh:kenapa kita tak jadi berangkat berdua
Sebuah cerita berikutnya
Malah menawarkan keputusan
indonesia, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.