Oleh Lukman Asya*
Membaca sajak salah seorang penyair Indonesia yang juga guru SMAN 10 Bandung, Erwan Juhara yang berjudul “Kemerdekaan Bla-bla-bla” yang saya kutip dari sajak-sajak Tanah Air (www.geocities.com) saya jadi merenungi apa makna kemerdekaan sejatinya bagi kita di mana pemandangan kemiskinan dan kesenjangan sosial masih dapat kita temukan di mana-mana. Mengapa bangsa ini yang telah melewati 62 kali ulang tahun hari kemerdekaannya belum juga sanggup terbebas dari kemiskinan? Semestinyalah kita menjadikan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus sebagai momentum untuk tafakur dan mengoreksi kerja dan laku diri.
Maka dalam pada ini saya menghadirkan sajak yang ditulis penyair Erwan Juhara, penyair yang juga pendiri Yayasan Jendela Seni bandung dalam konteks memaknai kemerdekaan dan sejauh mana mengaktualisasikan kemerdekaan sebagai spirit untuk membangun jiwa sosial dan kerakyatan kita sebagai bangsa. Sajak yang ditulis penyair Erwan Juhara menjadi menarik karena latar penciptaannya adalah representasi bandung ini sebagai kota yang mendedah berbagai masalahnya seperti masalah para pengemis yang turut mewarnai kehidupan dan hiruk-pikuk kota bekas danau purba ini.
Pada bait pertama: ''Kemerdekaan adalah pekik parau / suara darah semburat / di ujung bayonet kayu!'' riuh sejarah / dari tepi celluloid //. Si aku lirik di dalam bait pertama ini ingin mengingatkan kita pada bagaimana kemerdekaan Indonesia itu diperoleh. Sebuah reminisensi akan nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme yang perlu dibangkitkan dan menjadi spirit dalam menatap hari depan bangsa ini. bahwa kemerdekaan bukan hadiah yang diwariskan para penjajah itu kepada kita, melainkan kita merebutnya dengan darah dan semangat revolusioner.
Pada bait ke-dua: ''Kemerdekaan adalah sebungkus / nasi berlauk asin!'' harap / sepasang pengemis / di tepi protokol Asia-Afrika //. Pada bait ke-dua ini bagaimana puisi ini menyuguhkan bagaimana ironi hidup terjadi di mana rakyat bangsa ini yang sepantasnya mencecap kemerdekaan lewat kesejahteraan dan kemakmuran pada kenyataannya masih jauh dari harapan merdeka. Merdeka dari segala belenggu. Bukankah dimerdekakannya tanah air ini dari cengkraman tangan penjajah, karena kaum pribumi paham dan telah merasakan bagaimana menderitanya menjadi kaum terjajah yang tertindas, hari-hari dilewati dengan penuh ketakutan, ancaman dan kemiskinan. Tapi mengapa kenyataannya masih banyak para pengemis berkeliaran di mana-mana. Apakah kemiskinan ini memang tercipta secara struktural, karena pengelola negara (penguasa) pikirannya masih diliputi hasrat kekuasaan dan keserakahan sehingga mengabaikan segi keadilan dan pemerataan hasil kekayaan?
Bandung sebagai kota terus “dijayakan’ sebagai kota jasa oleh pak Dada di mana mall-mall terus dibangun asal megah, infestasi-infestasi didatangkan, jalan layang dibentangkan, jalan raya dilebarkan, tetapi mengapa masih banyak pula mengundang lara di sana-sini misalnya lara para pengemis yang harus berjuang mempertahankan kehidupannya. inikah hasil daripada kemerdekaan itu? Apa kabar tujuh program prioritas Bandung bermartabat? Apakah masih berniat menyelesaikan kaum miskin kota selain terus menata fisik kota, hey Pak Wali?
Pada bait ke-tiga: Di seberang Gedung Merdeka /seorang pengusaha tambun /menuruni Palaguna sambil bersiul, /''Kemerdekaan adalah memerah susu beruang, /sumber daya manusia bersuara himar!'' //. Pada bait ini, si aku lirik mengkonkretkan bagaimana kesenjangan kehidupan sosial itu tergambarkan dengan nyata. Para pengusaha memang selalu tertarik membuka usaha di kota Bandung ini, sebab memang kota Bandung ini dicita-citakan sebagai kota yang ‘menerima”, kota tempat liburan si kaya, kota jasa apa saja, seks juga bisa, kota tempat orang berduit berbelanja baik belanja ilmu, agama ataupun gaya hidup ala Amerika lengkap di kota ini.
Pada bait ke-empat: Di depan Palaguna seorang penyair / mengumpat Limousine yang hampir menabraknya / Seorang wartawan segera mengabadikan / kisang sang penyair / Pengusaha tambun keluar Limo berkacak pinggang orang-orang berkerumun / tapi segera menyingkir / ketika seorang bocah gembel /menerobos bersama pameo / ''meldeka! meldeka! tuan kasihani saya, / saya belon makan...'' / tangannya yang kecil dan kotor / tengadah di bawah pengusaha tambun yang nyinyir / imajinasi sang penyair tiba-tiba dihujani beribu onak / kamera wartawan tiba-tiba telah terjatuh / Kemerdekaan adalah bla-bla-bla! /
Bait terakhir sajak Erwan Juhara menarasikan bahwa para penyair di kota ini pun sama saja seperti para pengemis, nasibnya kecuali penyair Juniarso Ridwan yang kaya karena dia juga seorang pejabat kepala dinas tata kota yang belakangan ini menulis buku antologi puisi juga “ Semua Telah Berubah, Tuan”.
Makna kemerdekaan apa dan bagaimana yang dapat kita tangkap dari sajak Erwan Juhara itu selain menghadirkan ironi kehidupan, kenyinyiran dan kegetiran hidup yang terus saja dirayakan kaum miskin kota. Apakah makna kemerdekaan yang bla-bla-bla, yang nonsens yang omong-kosong semata?
Makna kemerdekaan yang dapat kita tangkap dari sajak itu adalah sebuah renungan, tafakur dan koreksi diri betapa kehidupan berbangsa pasca kemerdekaan diraih ternyata masih menghadirkan dan menumbuhkan luka-luka sosial di mana-mana. Penguasa kita masih asyik mengobral janji semata. Sementara kebijakan-kebijakannya seringkali “menjajah”, menindas kaum jelata, selalu menguntungkan kapitalisme dan seolah menutup akses si miskin untuk sukses. Si miskin mestilah niscaya salawasna bergelimang derita dan air mata. Ironis memang di negeri yang makmur dan kaya raya ini di mana alamnya begitu luas tak diberdayakan semestinya dengan berlandaskan cita-cita kesatuan meraih kesejahtreaan secara adil dan menentramkan bagi kini dan hari yang akan datang.
Apa jadinya bangsa ini kalau penguasanya sendiri tak pernah peduli pada nasib jutaan kaum miskin. Marilah dalam konteks memaknai kemerdekaan kita semua merenung dan menginsyafi diri bahwa hidup ini sementara maka janganlah serakah. Kemerdekaan akan bermakna besar bagi kita apabila kita dapat mengambil hikmah dan teladan daripada para pejuang yang telah mempersembahkan kemerdekaan buat kita sebagai bangsa yang berguna bagi sosial dan individual. Bahwa segala usaha untuk mencapai kesuksesan (kesatuan) hidup bersama secara sejahtera, tentram, adil damai dan berprikemanusiaan harus diperjuangkan dengan total dan ‘berdarah-darah.”
*) penulis adalah mantan ketua Arena Studi Apresiasi Sastra dan pendiri Unit Kegiatan Studi
Kemasyarakatan UPI
Lukman A Sya (Lukman A Salendra), Sukabumi 01 November 1976. Alumni UPI Bandung. Namanya tercatat dalam buku ENSIKLOPEDI SASTRA INDONESIA (Angkasa,2004), BUKU PINTAR SASTRA INDONESIA (Penerbit Kompas, 2001), LEKSIKON SUSASTRA INDONESIA (Balai Pustaka,2000). Mengikuti KUALA LUMPUR INTERNATIONAL POETRY GATHERING 2009 di Kuala Lumpur Malaysia.Mengikuti Jakarta International Literary Festival 2011. Buku Antologi Tunggalnya KENDURI WAKTU (Penerbit Buruan,2019).
sebuah kajian yang bagus dan tepat
BalasHapus