Sabtu, 08 September 2007

sajak

¾ jam di bawah pohon waru

pulanglah aku dari tanah kota

dari tempat jejak sajak dan nafasku
melagukan sedih

di bawah pohon waru
aku hitung daun-daun gugur
yang berlayar di atas muka sungai

sungai menuju jantung lautmu

ada para semut gembira
“paduka, ayo bermain lagi dengan kami!”


aku teringat mengail ikan
lumayan sebagai mata pencaharian

mengikuti arus sungai sampai batas rindu ibu

ibu bukan mimpi celaka bukan dansa
ibu ialah cahaya terang memanggil
hidupku kembali sebelum gelap bertahta

aku duduk di tepi di bawah rimbun waru
hati seakan dilindung teduh pandang indung

ada cengkir busuk di lumpur cubluk

tempat gelepar ikan-ikan kecil

ada batu cadas cemas lumutan
diganggu riak air yang ke hilir

di mana dadamu tabah menerima

setiap arus rindu: air mata turun

“paduka, apa kau mau menyelam di sungai dangkal
atau berenang lagi ke girang?”
teriak para semut itu

terus mengayuh perahu daun ke pinggir hilir


akh, aku tak sudi lagi menentang arus waktu

aku menunggu dalam lubuk hingga tua

sungai terus ngalir menuju jantung lautmu

membawa perasaanku; tapi rindu dan tangisan

membuatku ingin berpaling dari nadir air

tak sanggup aku jadi batu di bawah rimbun waru
aku angkat kaki

lalu rebah dekat kandang si jantan
khianati kata-kata sendiri: pulangku ini

sampai tiba ibu dengan wajah kuyu memelukku
“kapan kau datang? ibu lama menanti

popokmu lama tak kau kencingi lagi, anak!”

(indonesia)


7.7.7

aku takut: sungguh aku tidak takut

setiap angin berhembus dari mana pun

bukanlah rasa salah. tapi tangan terasa terikat

aku sempoyongan karena batuk dan sajak

sementara waktu adalah seekor kijang berlari

memburu nyeri ujung kaki langitku

kau memacunya? aku tergadai rasa

segala sesal

aku takut: sungguh aku tidak takut

tetap kucari tubuh purnamu

antara sungai dan hembus angin

antara zaman dan tangan kuasa

perkasa membawa segala maut, nasib tiba

tapi kenapa jejak-jejak sajak

membuatku takut dalam mabuk-mu

dalam hari-harimu

dalam kutuk kiamatmu

aku ingin doa saja hidupku tak busuk

(sementara akan, tahtaku ini)

(indonesia)


aceh, quand le pleuvoir est deja arrete

kau mengasuh laut mengasuh gunung

menjaga anak-anak di barak pengungsi

mengaji perih di bebukitan

menolak sial di akar pohonan

sebab kau lelaki tua dalam si tukang khaba

pergi ke surau tuhan tanpa naga

kau menari

di hamparan kota, menghimpun duka

rumah-rumah dayang

syahbandar dan hulubalang

ngubur sedih di tanah dendam

puing dan hukum memang membayang

di atas kampung tinggal tunggul-tunggul

kau putri kabut

ajari kami

hutan bukan ibu tiri

laut bukan maut bagi ombak lepas

hidup memang akan tuntas seperti pagi

tapi cahaya siap bebas kembali

hujan duka reda. aceh cukup cakap lagi

lalu kau ketuk pintu meminta sorga pasti

(indonesia)


adalah cikal bakal sebuah puisi

dalam angan-angan pulau dan angkasa, dirimu yang jauh
adalah cikal-bakal sebuah puisi yang mengharap kekal. tentang negeri ini
setiap orang mengingatnya sebagai kecemasan:
kegembiraan telah dicuri cakar-cakar asing si burung besi

yang angkuh, yang maha kuasa dalam sistem hidup. nyawa kita

tanpa permisi bertempur dengan malaikat yang siap mencabuti rambut kemiskinan di setiap butir kepala penuh sengsara
aku ingin melintasi lautan luka. tapi mesti bagaimana
sandal dan kakiku yang sering berfilsafat kini kehilangan muslihat
untuk menipu laut jadi jalan bentang penuh dendam: mata kekuasaan
di akherat nanti, kubayangkan adalah sebuah negeri bangsa yang nyeri
kehilangan seribusatu kasih di mana seluruh penghuninya

adalah para gembala yang keras kepala

dibutakan mata para pemimpinnya ingin menyebrang ke sorga

tapi sorga tak berpintu baginya serempak berteriak: kembalikan kami

ke bumi untuk mengambil kitab lupa! ialah kitab puisi yang diukir
para penyair yang menyihir nama-nama jerit sebagai sholatku
dalam keraguanku untuk bisa hidup bertahan, batu-batu masih shahadat
dan kuburan para pahlawan disalami kabut tebal dari negeri sulawesi
tak mungkin aku sumerah menegaskan neraka lebih dekat
di keningku ketimbang harga sorga sebuah bangsa yang terkurung jawa
akan aku lekatkan nirwana sekalipun sebagai mimpi pulau sumatera

sebab diriku adalah kota yang dibangun di atas ketertindasan ibu
dan jikalah ibu merasa tertindas, sungguh ia akan serius meminta
pertolongan allah dan imajiku jadilah sajadah tangga azzahra

memanjang ke langit hakekat

adalah cikal bakal sebuah puisi, juga darahku ini!

(indonesia)


adalah mengenang masa

merindukan sawah dan lautan
adalah mengenang masa bercinta
hijau harap dan riak-riak nasib
seperti nyanyian tak putus-putusnya
abadi angin mengasihi diriku


merindukan sawah dan lautan
adalah mengenang masa kita
mengurai lamunan jadi sajian cimata

(doa) kita:kita pasti ke mana?

(indonesia)


ada sebaris hujan gerimis

malam terasa tiris (tak) kugubris;

sebaris hujan gerimis

penuh angin dan ingin

mungkin ada pula jejak si betina

membuat hidup

jadi penuh rasa harap

benar. aku pulang

membawa nung

anak yang kubuat di ranjang basah

airmata yang mewah

nung adalah boneka luka

dari belahan sejarah ibunda

cinta di malam pertama

adalah sebaris jejak juga

yang kini sajak di jalan-jalan

kebebasan, anak kita

(indonesia)
ada yang menderita bersama langit

ada yang menderita bersama langit. suara-suara

dalam batinku menuju fana. sungai mulai menggeliat

dalam pandangan kabutku menjadi mimpi tentang suatu jalan

ada yang hidup bersama derita. sukmaku dalam suara-suaramu

betapa nikmat derita ketika burung cahaya

hinggap di ubun-ubunku. apakah derita?

derita adalah dua bukit kekasih yang dijaga ratu sunyi

ada yang terus nafas dalam derita

segenap kata meronta mengigau tentang gelap memaksa

nadiku jadi khusuk mengikuti berahimu lembut menyapa

puncak keagungan yang seolah kepuasaan yang angkuh

dalam metamorfosa sebatas awan menjadi isyarah

gelisah berpencar.

e, ratu sunyi

kesendirianmu menjadi angin menangkap pohon hasratku

untuk berbuah, berbenah seperti kemerdekaan bagi sang cucu

yang kelak memetiknya sebagai dosa

ada yang menderita bersama langit

tapi ia tak sesakit rinduku yang tak sampai di purna tubuhmu

derita jadi punggung puan disergap aorta zaman

ada yang terbahak-bahak bersama derita

adalah jantungku yang terus berdetak menerima

seperti hidup memasrahkan deritanya padaku

(indonesia)
afternoon park: partere

sepasang burung murung

bersaksi di bangku panjang menanti hujan:

sebuah kolam tempat kuliah para ikan

penuh hidup riak-riak jenaka

apakah para malaikat cahaya di sini

adalah pegawai bhmn juga, jadi hamba tuan kuasa

yang terbebas dari kutuk kemiskinan angin kota

kenistaan hari depan?

tuan kuasa pemilik segala kebijakan, perjamuan

selalu memimpin sidang dengan penuh dusta

tuan bareti ingin ikut kuliah katanya

apabila cinta tak mengutuknya jadi patung menunggu tuan

sepasang burung murung

meninggalkan jiwa kita yang mendung

terbang ke dahan pohon ki hujan rindang

dan badan kita asyik bergesekkan

(indonesia)


air mata di dalam sunyi

-ka

aku telah kembali: dari musim kabar keriangan di jauh hati cahaya

ke dalam kuasa tangis. aku menjelma butiran air mata

menumpahkan diri di ayat suci dan seni sucimu

aku mengembara sebagai air akan menguap menyalami langit

mengerti hambalan dan kekuasaan milik sang takdir

ketahuilah, hidup manusia bersama kecemasan dan kecemasan itu

adik kandung air mata. adakalanya juga keriangan terindukan

berkelebat seolah memastikan senyummu abadi. benarkah

aku hanya sekedar air mata hanya akan membanjiri gerak-gerik

sendiri? tak layak duri-duri cemas menusuk mimpiku yang cinta

sebab wajah kekasih berkelebat ketika ibu kemanusiaan berkata:

anakku, kamu tidak akan sanggup menggantikan bintang dengan matamu. maka tataplah apa pun sebagaimana ketika kamu di rahimku!

aku adalah butiran air mata

dalam kuasa sunyi yang tak menampakan diri

aku adalah bayang-bayang rasa sedih

(indonesia)


akan kuletakan

-ka

masa lalu adalah matahari yang membenam

berkerudung kata-kata mendung yang hadir

tiap hari di ranah negeri pustaka ini.

maka kita tumbuh bersama huruf-huruf

kutuk suara bapak yang serak

maka aku rindu kalimat cinta yang ditulis ibu

di daun-daun padi diwiridkan cakrawala

masa lalu itu!
kecupannya akan kulekatkan di mataku

menjemput bayang-bayang ibu

(indonesia)


aku

aku khawatir sungai meluapkan air matanya berulangkali

membangunkan lumpur. sri pohaci kehilangan harapan lagi

tanam-tanaman hidup murung dalam genangan

bencana. semut-semut terlempar. rumah bibi eka nyeri

tinggal kenang terendam rasa sakit hati

aku pernah berguru pada pematang sawah tentram itu

yang membiarkan bapa jadi sebagai belut

juga antanan kesukaan ibu nanan; bertasbih merayakan udara

kini, sungguh aku jauh meninggalkan kampung indung

dihuni canda anak lisung. aku tenggelam dalam bau kekuasaan

kenyataan hutan-hutan tuhan menjelma kota-kota

memangsa anak-anak lapar gemetar tapi liar

(indonesia)


aku akan terus

aku tak mengingkari bahwa musim

sanggup membekukan urat cintaku

baru aku sebagai anjing salju menyusuri

pedalaman eksimo mencari kau

yang sembunyi sebagai barang bernilai

kau pun membeku tiada hasrat

bersetubuh dengan siapapun

bahkan dengan hidupku. kau hanya

menjelajahi rangkaku

aku tak mengingkari bahwa musim

dapat mengacaukan rencana-rencanaku

untuk tualang mencari sepotong tubuhmu

(indonesia)


aku belum kunjung merdeka

desember bersedekap menutup kisah
bagai kelelawar pasrah menggantung
menunggu ibu yang tangan cahaya malam

membangunkan

dalam gamang siang seribu cerita
telah kutuliskan, telah kausampaikan
kemurungan dan kehormatan sama-sama pahlawan
bagi sang hidup bagi sang pejalan. rindu dan luka
sama-sama doa bagi si sujud yang hamba

tangan-tangan januari memberi senyum
memberi arti bagi seribu rumah nyeri sunyi
di mana seorang lelaki musyafir di sajadah puisi

pada dahan-dahan harap itu, bulan nitip cahaya
dan remang jalan bagai kitab kuning yang terbuka
penuh isyarah. pasrahkan seribu tangan rabi’ah

kampung tahun baru. bilik-bilik yang memar
ditabuh hingar: cengkrik merayakan pekik:
aku belum kunjung merdeka!

(indonesia)

aku berlayar

aku berlayar di atas sajadah menujumu
laut adalah cintaku dan gelombang laut
adalah perasaanku yang luas tapi sederhana
aku memujamu dikala pasang dan surut
gairahku. perahu adalah ibu. nahkoda adalah bapa
ikan dan kerang serta lumut adalah sahabat
yang bercanda, bercerita tentang hujan
dan rindu yang dalam

aku berlayar di atas sajadah
memuas-muaskan doa. biar segalanya
tetap melaju. angin dan langit karib selalu
mengajakku bersyukur

(indonesia)


aku bertanya

aku bertanya kepadamu mengapa mentertawakan bulan tadi malam

yang bercinta dengan sunyi

sementara aku terus bercerita dan berkiblat kepada apa

yang menjadi cahaya sumber paling sejati

tidakkah kita bersama menyatu memakai topi yang sama

memasang benteng badan dan menyiapkan perasaan kita yang agung

untuk sebuah baptis dan pelaminan?

bulan tadi malam itu

belumlah melupakan awan yang berdesakkan di kerongkongan angkasa kehidupan kita itu. dan masih ingatkah engkau pada pertanyaanku

yang paling mungkin dijawab tanpa mesti mengundang sakit hati

marilah kita membakar kebosanan masa silam yang naas

marilah kita impikan hari depan yang beringas

memangsa menyatukan jalan kita yang cadas

dan adakah kau masih sebagai perempuan waras

ketika susuk kaumasukkan di sembarang kawasan landas

tempat mampus berahiku tumpas

aku bertanya padamu, mengapa engkau tidak mungkin mencintaiku

dengan segenap kecantikkanmu padahal aku butuh jiwa kecantikan

yang kehadirannya di tubuhku lebih cakar ketimbang kuku serigala liar

kalau begitu, bagaimana mungkin aku mengabdikan ragaku sepenuhnya

sementara cantiknya hidup sebatas bayang kepalsuan yang tak terjangkau sanggama. dan tinggalah mimpi sebagai cuaca buruk di ranjang jantung jiwaku

(indonesia)


aku bisa

bisa. siapa bilang aku tak bisa

itu hal mudah

coba saja kamu bayangkan

apabila segala sesuatu tak bisa dihentikan

seperti ombak laut

ya aku bisa membuatmu jadi gunung

yang terus menungguku

maka belajarlah aku meninggalkanmu

cinta tak bisa diukur dengan ada dan tiadanya

sang denai ini di sampingmu

nyatanya merah cintaku masih hidup di dadamu

sengaja aku ketikkan nafas huruf rinduku di sana

bahwa kelak aku kembali menangkap maknanya

dan mengucap ‘sayang” , tak lupa minta sekedar maaf

karena telah membiarkan tubuhmu ragu

(indonesia)
aku dan bunga-bunga itu

kusampaikan hasrat dan gelagat pada bunga-bunga tumbuh sunyi merindukan musim damai; cakrawala damai; tanah bumi

dalam mimpi damai. tapi angin sungguh tak bersahabat, bosan

pada kata cinta yang diucapkan dalam pengap. ternyata yang hidup

di taman-taman adalah kejengkelan rumput pada jiwa kemanusiaan

yang sengsara yakni ketika gemuruh dan ledakan-ledakan rasa benci menggetarkan sungai yang mengalir tenang membagi-bagikan cintanya

ke sawah-sawah yang tak pernah mengeluh. hasrat dan gelagatku

pada akhirnya sunyi seperti nabi melihat bunga

bunga kini menangis dalam gigil hidup yang terasa sia-sia ternyata

masih belum juga harum sukma-sukma itu dapat menjelaskan

keberadaan yang tentram, di mana orang-orang tak berebut nafkah

dalam tengkar. tapi apakah perlu kehidupan seutuhnya dalam tentram? pertanyaan yang sungguh membuat penghuni taman doa memekikkan tangisnya sebab merekalah yang menginginkan siapa pun menuju

tentram laut meski ada gelisah dan cemas; ombak dan batu karang

serta pantai adalah tempat maut berbagi rasa dan bertukar cerita.

o. apakah inti kehidupan ada di dalam bunga. bunga yang tumbuh di hatiku ketika langit telah sembab oleh duka. jalan-jalan menyimpangkan hasrat karena tahu di depan ada dewa. dewa kecil yang lebih ganas

ketimbang fira’un membuat kerusuhan sebagai ungkapan kekuasaan

yang pengecut. bunga-bunga dan syarafku tegang setelah seharian mengkhayalkan taman-taman bebas dari sulutan-sulutan dendam

justru aku menginginkan doa-doa adalah keikhlasan dan kepasrahan

menolak bencana. maka aku dan bunga-bunga mengharap musim mengajariku kesetiaan langit dan bumi sebagai hasrat yang tak dusta

bahwa ia, musim itu, ingin dalam damai. tak ada murka lagi

yang dilepaskan jiwa-jiwa manusia yang pecah karena gelagat

menjadi tabiat dosa. aku menjadi doa tatkala hidup yang bergemuruh

menyediakan kata-kata. sebagaimana malam tetap menyimpan cahaya bulan. aku pun terus bermain di bawah cahaya bulan menyaksikan bunga-bunga yang mulai tersenyum sebab masih ada harap yang setia bermimpi

dan mencintai segala kemekaran sebagai isyarat rasa damai telah tiba

sebagaimana dalam ayat-ayat yang tertera di istana cinta. bunga-bunga itu pun menyapa hatiku yang sendiri saja mengolah kata-kata, jadi huruf baik pada segala. bunga-bunga pun karib dengan perasaanku yang hampir beku dalam kebisuan tak bisa menyampaikan wirid-wirid rindu

hanyalah mencangkungi nasib kemanusiaanku menolak kebengisan

yang rakus dan kerakusan yang bengis. taman-taman di muka bumi harapku tak akan bisa ditaklukkan oleh dendam dan ancaman. mereka serempak menghimpun diri dalam doa: tuhanlah yang kuat dan perkasa membentuk kutuk jadi manusia hidup yang membawa setiap hasrat dan gelagat ke asal bayangan. amsal ada yang menjembatani hidup resah ke hidup damai

maka aku dan bunga-bunga itu bersepakat bertegur sapa

dalam duka dan cinta menolak amukan dan dendam. memahami hidup sebagaimana nafas hidup memahami jiwa. maka aku

dan bunga-bunga itu cukup mengeluh dalam dzikir untuk kemudian tumbuh di diam semesta yang mengetahui keberadaan

aku belajar teguh pada kemanusiaan milik illahi yang diisyaratkan bunga

pasrah pada kehendak cahaya. sambil mengukur jalan dengan nafas sendiri membagi-bagikan cinta sebagaimana sungai mengalir tak letih-letih

(indonesia)


aku datang ke kota ini bukan untuk bersaksi

-sukabumi: ka

aku datang ke kota ini bukan untuk bersaksi

atas air matamu yang menjadi monumen sakit

datangku, karena aku limbung di alam pusaran

angin puyuh peradaban. aku menolak kesibukan

sekaligus menolak mencintai tangis puisi

yang menyeretku berduka dengan masa lalumu

bukan karena kepergianmu aku hidup jadi seorang sunyi

tapi karena telah aku pahami:aku asyik mengaji

suara desismu

bergegas juga kau perempuan seperti mimpi

setelah mencuri sebait kata-kataku yang bernilai

sebagai sebaris jalan teduh yang tak mungkin khianat

pada segala makna ada

tapi mungkin aku harus menatap langit

sambil mendenguskan kedunguan. mengapa?

dan mengapa bangku panjang itu seolah mengharap

kita berdua lagi

(indonesia)
aku ingin berbaring

jangan. waktumu belum habis

usiamu masih panjang

apa yang kau sesalkan

semua sudah beres dan baik-baik saja

tinggal menunggu babak berikutnya

ya kau harus sedikit sabar memahami

hari hari. mungkin ada masalah

coba teliti, koreksi lagi doa-doamu

sudahkah menjadi gerak?

(indonesia)
aku ingin memperbaiki hidup

suami-istri

apabila belum juga paham, duhai perempuan luka

tentang impian-impianku yang cahaya

maka inilah saat kita baikan:

sebenarnya kapan awal kita salaman

bagai februari dengan november

sungguh kuasa waktu mengingatkan rindu kita

dan mencairkan soal-soal pelik hidup di negeri ini

dengan penuh kepayahan, ingatan hari-hari buruk

sementara nafas terus dalam cobaan dan godaan musim

baiklah akan aku jelaskan kepadamu, duhai perempuan luka

tentang kiblat yang mesti kita tuju

tentang arah yang mesti kita tundukkan

tentang cinta yang harus kita tunaikan

tentang ikatan bahasa yang tak perlu kita soalkan

baiklah sebuah rumah mesti kita bina tidak cukup dengan kata-kata

baiklah kita tak berdebat lagi tentang bagaimana hidup di negeri ini

tak perlu berpanjang kalam tentang kesedihan-kesedihan

mari kita tutup pintu dan segala jendela. kita sanggama menyatukan niat

segala tujuan. tidak cukup aku jadi bayang dan kau sekedar ranjang!

(indonesia)
aku jatuh cinta pada puisi

mengingat kunang-kunang di siang hari

tersesat di kaca jendela yang sunyi

lantas aku bertanya: mengapa engkau

belum pulang ke kuburan, sayang?

anak-anak berdiri dan mematung

menanti hujan sambil berangan

jadi nuh yang pandai bikin perahu

dari daun dan akar-akar

menolak menjadi mati sia-sia

apabila aku sudah pasrah pada segenap kisah

yang berseliweran di tubuhku. ilusi-ilusi

tampak berkah. kata-kata merekah

menawarkan senyum

aku kian jatuh cinta pada puisi

menanti hening yang tersusun dari mimpi-mimpi

betapa ini nyeri terus saja berdesir

padahal aku ini cuma daging basah oleh darah

maka aku buat puisi lagi

seperti aku buat perempuan dari kaleng-kaleng mineral

aku letakkan di mulutku dan lantas aku berteriak

sekeras-kerasnya, meskipun aku tahu suaraku

tak cukup cakap sampai pada penerimaanmu

aduhai, bibi eka yang masih ranum

aku benar-benar jatuh cinta pada puisi

juga pada pipimu di mana tanganku

pernah menitipkan huruf-huruf cahaya

bibirku dan hati yang penuh berahi

sekali saja aku sangsi pada kedatanganmu

puisi kian berjuntaian, jumpalitan minta dikekalkan

puisi-puisi berjalan dan bangkit menghadangku

menyergap bawah sadarku. aku sempat bimbang

mana puisi mana arah tuhan

maka aku dekap segala cerita dengan airmata tubuhku

bercucuran menciptakan sebuah puisi pertobatan

mengalir dan mengalir membawa kenangan

catatan dan buku-buku kemalangan

aku jatuh cinta pada puisi

aku jatuh cinta pada masa-masa penuh cahaya

di mana kau menulis namaku

mengecup mataku yang sedih. dan kau bilang:

aku juga jatuh cinta pada puisimu

yang memerah di dada daraku

(indonesia)


aku kenang wajahmu, aku kenang harapanmu

-neng saidah

neng, tahukah siapakah lelaki tukang syair

yang dalam kitab kuningmu itu

yang berkisah tentang sebuah sejarah ibu-bapaknya

aku melihat sebuah gunung dan lautan

aku melihat sebuah pucuk

dan harapan kerudungmu yang basah

dan langkahmu yang indah

aku kenang namamu. mungkin kau kenang namaku

seperti dua ingatan yang tertulis di batu-batu

kita sama-sama efitaf, berhadapan

sementara langit tak sungkan-sungkannya

membacakan sebuah kisah tentang kita

antara huruf-huruf sunyi dan impian cahaya

seribu makna yang dinarasikan semesta

neng, aku kenang harapanmu

dan aku akan pulang ke masa depan

seperti seorang peladang sudah tiba

di musim pesta panen dan sebuah pedati

mengantar senyummu. kau seorang bidadari

turun dari lengan tuhan, tahta yang kudus itu

neng, aku kenang bahasamu

sampai suaraku jadi doa

(indonesia)


aku lebih baik bersedih daripada tak sanggup

menyanyikan puisi

aku lebih baik bersedih daripada tak sanggup menyanyikan puisi

sebagai takdirku. takdir adalah dari kekuatan milik tuan tuhan

satu-satunya yang lebih angkuh sekaligus penuh kasih sekudus ibu

kekal

maka aku ingin menari bersama tuhan dalam rasa berdosa;

ibadah-ibadah seperti gelombang laut menemukan gairah

di tepi pantai. tapi tuhan di mana? seperti telunjuk di kegelapan?

kurasakan titah dan petuahnya yang panjang di jejak nabi

(indonesia)


aku masih mencintai tubuhmu

aku masih mencintai tubuhmu

sekalipun bencana terus bertahta

akh, derita bencana cuma cuka

penawar bagi kekuasaan liar

yang kerap menangkap gunung

hutan dan lautan

kekuasaan merampas kekayaan

memeras kemerdekaan

kemerdekaan untuk setia sunyi

di alam semestamu

aku masih asyik bercinta

saat malam-malam datang

membiarkan kutang itu

menggigil di pojok lembang

kita tak lupa dan selalu siaga

jangan-jangan gempa memaksa

kita semakin telanjang: mati menjelang

akh, derita bencana cuma cuka

pokoknya aku cinta alam hangat

yang jadi nafas indung bagi gunungmu

dan saat-saat terpaksa aku senggama

akulah shaklaton sang penakluk kabut

maka. mari kita bersulang sampai menghilang

segala derita menjelma surga di tubuh kita

(indonesia)
aku melihat dirimu

-ka

alkisah, ketika angin terasa sunyi

aku melihat dirimu sebagai kapas diterbangkan angin

dilarikan angan-angan dalam keluasan langit sakit

memayungi perempuan-perempuan durhaka

yang meninggalkan lelaki sepenuh puja

alkisah, ketika angin mendesir menutupkan pintu

aku melihat dirimu sebagai kapas tersesat

di kolam tinta yang hitam. ”celupkan ujung telunjukmu

agar kau sanggup mengangkat ia dari duka carita!”

teriak ibu ketika semut masih mengembara di kertasku

alkisah, ketika angin membukakan pintu

aku pernah bersama dirimu melangkah

ke halaman sebuah ruas buku

menyapukan huruf-huruf yang berserakan

(indonesia)
aku membayangkan lengkung langit


malam bertempur dengan rasa sepi dalam diriku
aku membayangkan lengkung langit senyummu
yang berayun penuh duka awan. arak-arakan semut
mengantarkan jenazah sang korban
berkelebat di keningmu. dan aku kian tersaruk
ke hutan masa silam yang lebat dan mencekam
ada serigala, ada juga gerak-gerakmu

sebagai jejak ular betina dengan ekor liar
malam bertempur dengan diriku ketika langit
yang tabah mengingatkanku pada kitab perjanjian
cinta yang kutulis sebagai puisi di nisan ibu
oi... anak-anakku kemarilah! lihatlah mata ayah

yang lama kemarau. hujan di mata ibu telah fana
dari segala sumber rindu yang ngalir
juga fana, tangisan seorang terkasih
ketika malam tiba: sungguh menakutkan rasa

aku membayangkan lengkung langit

adalah mata sepi mata beku mata kekal
ada bau perawan sampai di ubun-ubunku

(indonesia)


aku mendengar suara-suara

aku mendengar suara-suara di dalam batin;

gerak ruhani seperti kupu-kupu melintasi mimpi

malam-malamku. namun yang nampak

sayap-sayap penderitaan membawa dingin

aku pertanyakan taubat-taubatku

apakah telah sampai atau hanya harum

sajadah cinta yang kau terima. sementara

rinduku masih berlutut di dalam keluasan doa

ruhaniku telah menciptakan barikade kecemasan

yang membentengi setiap jalan ke akherat khianat

di mana tidak hanya aku luka-gembira. tapi kekasih

yang berdusta bahwa ia tidak lagi di sorga

malam pun menjadi begitu bangka

seperti nenek menyihir bulan jadi perawan tua

sedang cahaya tetap merupakan keintiman

memeluk dada ibunda

(indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Siapa pun boleh mengomentari karya-karya saya. Terima kasih.